Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tak Sesuai Perintah MK

Mahfud Minta Pengadilan Tipikor di Daerah Dibubarkan
Oleh : Surya
Jum'at | 04-11-2011 | 16:25 WIB

JAKARTA, batamtoday - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mendukung penuh permintaan Ketua KPK Busro Mugoddas untuk mengevaluasi keberadaan Pengadilan Tipikor di daerah karena telah membebaskan banyak koruptor. Selain itu, dalam sistem hukum yang ada tidak Pengadilan Tipikor di daerah sehingga layak untuk dibubarkan.

 

Menurut Mahfud, keberadaan Pengadilan Tipikor di daerah mengacaukan sistem hukum yang ada, disamping kinerja Pengadilan Tipikor di daerah ternyata lebih buruk daripada Pengadilan Umum dengan banyaknya vonis bebas terhadap koruptor.

"Sekarang ini kita kan kecewa, Pengadilan Tipikor di tingkat daerah kecenderungannya membebaskan para koruptor dan justru lebih jelek dari pengadilan umum. Oleh sebab itu, menurut saya, sesudah melihat perjalanan ini justru semakin mengacaukan sistem hukum," kata Mahfud MD di Jakarta, Jumat (4/11/2011).

Mahfud menegaskan, Pengadilan Tipikor harus dibentuk berdasarkan UU tersendiri, bukan berdasarkan pasal 53 UU Pemberantasan Korupsi. Dimana pembentukannya dilakukan secara tiba-tiba dari pengembangan putusan MK tentang KPK pada 19 Desember 2006, dimana ketika itu MK membuat putusan Pengadilan Tipikor Jakarta inskonstitusional karena dibentuk hanya berdasar pasal 53 UU Pemberantasan Korupsi.

"Menurut MK, Pengadilan Tipikor itu harus dibentuk berdasarkan UU tersendiri. Jadi yang diperintahkan MK waktu itu adalah memberi bentuk hukum kepada Pengadilan Tipikor Jakarta yang sekarang agar menjadi konstitusional dalam waktu tiga tahun. MK tidak memerintahkan membentuk (Pengadilan Tipikor) di daerah," katanya.

Pemerintah dan DPR, kata Mahfud, harus membuat payung hukum UU Pengadilan Tipikor dalam waktu tiga tahun. Namun hingga tenggat waktu itu berakhir, UU Pengadilan Tipikor tidak dibuat, malahan justru membuat Pengadilan Tipikor di daerah.  

"Padahal itu bukan perintah MK. DPR dan pemerintah justru berkreasi dibentuk saja Pengadilan Tipikor di setiap daerah. Nah, malah kacau, seperti sekarang. Menurut saya sesudah melihat perjalanan ini justru semakin mengacaukan sistem hukum," katanya.

Ketua MK juga menyoroti masalah sistem rekrutment hakim ad hoc Pengadilan Tipikor, yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) secara cepat dan asal-asalan. Terbukti, para  hakim ad hoc Pengadilan Tipikor yang di tempatkan di daerah tidak memahami pengalaman di bidang hukum dan tidak memahami hukum substantif.

"Jadinya, Pengadilan Tipikor di daerah yang banyak membebaskan koruptor daripada pengadilan biasa. Pengawasan lemah, kolusi di daerah lebih mudah, sistem seleksinya juga abal-abal," katanya. 

Agar tidak ada pembebasan koruptor lagi, menurut Mahfud, ia meminta Pengadilan Tipikor di daerah dibubarkan. Setiap perkara korupsi tindak pidana korupsi, lanjutnya, ditangani saja oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, dan bila tidak tertangani dialihkan ke Pengadilan Umum.

"Pengadilan Tipikor di daerah itu dibubarkan saja, perkara dialihkan saja ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, dan bila tidak tertangani dialihkan ke Pengadilan Umum," katanya. 

Sedangkan peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz berharap pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah dihentikan terlebih dulu, untuk dilakukan evaluasi. ICW membutuhkan data penanganan kasus tindak pidana korupsi yang ditangani oleh seluruh Pengadilan Tipikor di Indonesia yang berjumlah 33 pengadilan, dari MA.

"Kita mau minta informasi terkait kasus korupsi yang ditangani oleh Pengadilan Tipikor, jumlah kasus dan jumlah vonis bebas," kata Donald.

Dijelaskan Donald, data tersebut menjadi bahan kajian untuk melihat sejauh mana efektifitas pembentukan Pengadilan Tipikor, terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pada prinsipnya, ICW menilai keberadaan Pengadilan Tipikor di daerah akibat lemahnya pengawasan dan buruknya kualitas rekruitmen hakim ad hoc Tipikor.