Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Segera Revisi UU Perkebunan, Kriminalisasi Petani Sawit Terus Berlanjut
Oleh : Tunggul Naibaho
Jum'at | 22-04-2011 | 16:55 WIB
korban petani.JPG Honda-Batam

Warga petani Desa Senyerang, Kec Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, tampak sedang melakukan unjuk rasa atas tewasnya rekan mereka, Ahmad (45), karena kepalanya tertembus peluru yang dilepaskan oknum Brimob saat aksi atas penyerobotan lahan warga oleh PT WKS dan PT LPPI ( milik Sinarmas group), yang menyatakan telah mendapat hak konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) di lima kabupaten di Batang Hari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Tebo.

Batam, batamtoday - Bentrok berdarah antara petani sawit dengan satpam PT Sumber Wangi Alam (SWA), di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan, Kamis 21 April 2011, yang menewaskan tujuh orang, adalah bukti paling anyar bahwa kriminalisasi atas petani sawit akan terus berlanjut jika tidak dilakukan revisi atas UU No 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.

Demikian disampaikan Presiden Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Manseutus Darto, dan Abetnego Tarigan dari Sawit Watch, kepada batamtoday per telepon Jumat 22 April 2011, terkait judicial review atas UU No 8 thun 2004 tentang Perkebunan dan juga kasus bentrok berdarah di OKI.

"Penyebab bentrokan itu kan klasik, karena konflik lahan. Dan petani dalam setiap kasus perkebunan, selalu berada dalam posisi "kriminal" karena rumusan pasal-pasal tertentu dalam UU tersebut, sangat sumir dan bisa diterjemahkan sesuai situasi dan kehendak pihak-pihak tertentu," kata Manseutus Darto

Pasal dimaksud Darto adalah pasal 21 dan pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No 8  Tahun 2004.

Pasal 21 menyebutkan "Setiap orang dilarang melakukan pengamanan usaha kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usah perkebunan".

Darto lalu menunjuk satu kasus yang dapat dijadikan contoh bahwa pasal-pasal tersebut telah ditafsirkan seenaknya oleh pihak tertentu demi kepentinganya, yaitu kasus seorang petani di Sanggau, Kalimantan Barat, yang tidak secara sengaja menginjak pot bunga ketika sedang memperjuangkan haknya di sebuah kantor perkebunan, kasusnya dilaporkan ke polisi hingga diseret ke meja hijau.

"Petani tersebut, walau hanya menginjak pot bunga, dan itu pun tidak disengaja, tetapi dinilai telah melanggar pasal 21 sehingga dipidana berdasar pasal 47 UU tersebut juga," kata Darto.

Adapun Pasal 47 berbunyi:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kabun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Sawit Watch menyatakan, salah satu cara menghentikan berbagai persoalan kriminalisasi terhadap masyarakat di sekitar perkebunan adalah dengan meninjau kembali Pasal 21 dan Pasal 47 UU tentang Perkebunan.

"Pasal-pasal tersebut tidak jelas dan berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang. Perumusanya
sangat sumir karena mendasarkan pada penafsiran atas kegiatan yang dianggap “merintangi dan menggangu jalannya usaha perkebunan", jelas Tarigan.

Dan menurutnya, hal ini menimbulkan ketidakpastian norma, sehingga sangat tergantung pihak mana yang menafsirkan. Dan kecenderungannya, pihak yang mempunyai relasi dengan kekuasaan akan memiliki kewenangan lebih menentukan penafsiran yang pada gilirannya mendiskriminasi pihak lainnya.


Kriminalisasi Petani Sawit

Meski demikian, Darto maupun Tarigan tetap melihat positip keberadaa UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan sebagai landasan hukum untuk mengembangkan perkebunan dan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Ada kesesuaian dengan amanat dan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sayangnya,niat baik pemerintah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi ini tidak diikuti dengan pengawasan memadai terhadap praktik perusahaan perkebunan dalam mengelola usaha perkebunannya yang seringkali melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan hak asasi manusia, khususnya masyarakat di sekitar wilayah perkebunan. 

Sementara aparat penegak hukum juga seringkali tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat Adat, Masyarakat Lokal dan Petani di sekitar wilayah perkebunan. Konflik pertanahan antara masyarakat Adat/lokal/petani dengan perusahaan perkebunan seringkali ditindaklanjuti dengan penangkapan dan penahanan, bahkan pengajuan masyarakat/petani ke pengadilan, tanpa melihat latar belakang permasalahan yang muncul, yaitu ketimpangan dalam hal pemilikan, penguasaan, pengelolaan sumber daya alam.   

"UU Perkebunan tersebut baik, tetapi dengan catatan, pasal 21 dan pasal 47 harus dicopot dan dinyatakan tidak berlaku dengan segala kosekuensi hukumnya. Dan kami telah ajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas kedua pasal tersebut," terang Darto.

Karena dengan tetap bercokolnya kedua pasal tersebut, kata Darto, telah terbukti kriminalisasi atas rakyat, khususnya petani kelapa sawit, terus saja terjadi di berbagai wilayah Indonesia, dan paling terakhir adalah bentrok antara petani dengan pihak perusahaan perkebunan di OKI, Sumatera Selatan.

Dalam catatan SPKS dan SW, pada tahun 2007 terdapat 514 kasus, tahun 2008 terdapat 576 kasus, tahun 2009 terdapat 604 kasus dan tahun 2010 terdapat 663 kasus.

Selain itu, Sawit Watch juga mencatat sepanjang tahun 2010 terjadi lebih dari 106 orang masyarakat dikriminalisasikan di Perkebunan Kelapa sawit ketika masyarakat memperjuangkan haknya. Salah satu kasus konflik yang terbaru adalah penembakan enam masyarakat Karang Mendapo, Jambi oleh aparat keamanan, dan kasus OKI.


Judicial Review

Darto dan Tarigan mengatakan, saat ini perkara judicial review atas UU No 8 Tahun 2004 tentang Perkebunan, sedang diperiksa di Mahkamah Konsitusi, dan telah masuk pada tahap pemeriksaan ahli.

SPKS dan SW, sebagai bagaian dari pihak-pihak yang mengajukan judicial review mengatakan optimis permintaan mereka akan dikabulkan Mahkamah Konstitusi.

Hal yang sama diyakini pengacara para pemohonan dari PIL-Net, bahwa Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa perkara ini akan mengabulkan permohonan para pemohonan yaitu agar pasal 21 dan pasal 47 dicopot atau dinyatakan tidak berlaku.

Wahyu Wagiman, Koordinator PIL-Net mengungkapkan, ketentuan dalam Pasal 21 dan Pasal 47 ayat
(1) dan (2) UU Perkebunan, Pasal-pasal a quo yang tidak jelas dan sumir tersebut merupakan bentuk pelanggaran atas konsep negara hukum, dimana “a legal system in which rules are clear, wellunderstood, and fairly enforced”, dengan unsur kepastian hukum di dalamnya, dan sekaligus mengandung asas
legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.”

Untuk itu, Wahyu dan PIL-Net berkeyakinan permohonan yang diajukan oleh Pemohon akan diterima Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah akan menyatakan ketentuan Pasal 21 jo. Pasal 47 ayat (1) dan (2)  UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.