Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mahalnya Pemilukada

Parpol Pengusung Kepala Daerah yang Terlibat Korupsi Diusulkan Diberi Sanksi
Oleh : surya
Senin | 16-04-2012 | 16:06 WIB
hamdi_muluk.jpg Honda-Batam

Pakar Psikologi Politik Prof Hamdi Muluk

JAKARTA, batamtoday - Pakar psikologi politik Universitas Indonesia Prof Hamdi Muluk mengatakan, pelaksanaan Pemilukada yang membutuhkan dana yang cukup besar tak jarang membuat partai politik (parpol) penyokong calon kepala daerah banyak salah pilih. Akibatnya, ketika terpilih kepala daerah tersebut terjerat kasus korupsi dana APBD untuk mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan.

"Jika yang bersangkutan terpilih sebagai kepala daerah, dan kemudian terbukti melakukan korupsi (APBD) dan atau melakukan perbuatan asusila, maka partai bersangkutan harus mendapatkan sanksi. Sanksi tersebut adalah partai pengaju tersebut tidak boleh lagi terlibat dalam Pilkada selama dua periode," kata Hamdi Muluk di Jakarta, Senin (16/4/2012).

Menurut Hamdi, Pemilukada yang membutuhkan dana besar telah membutakan mata partai politik, sehingga mereka merekut kader berkantong tebal atau calon dari luar partai asal memiliki logistik yang besar, bukan mengedepankan figur atau massa mereka di akar rumput.  

“Jadi, partai politik yang seharusnya diberi sanksi. Sebab, secara konstitusi pelaksanaan Pilkada ini tidak ada yang salah, dan tidak ada peluang dalam UU bagi calon kepala daerah untuk tidak melalui partai politik,” katanya.  

Indonesia, kata Hamdi, adalah satu-satunya negara di dunia yang palimng sibuk melaksanakan pemili secara demokratis dari tingkat kepala desa, kabupaten/kota, provinsi hingga presiden.  

“Sejak diundangkannya Otda itu, hampir dalam dua minggu dilakukan 2 kali Pilkada. Sejak 1998-2010 sudah 161 kali dilakukan pemekaran daerah. Konsekuensinya menambah APBD, pegawai dan meningkatkan Pilkada. Semua itu butuh dana yang besar,” katanya. 

Namun dana yang besar telah dikeluarkan, lanjut Hamdi, tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan terutama untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, hampir 50 persen kepala daerah yang terpilih baik itu gubernur, bupati/walikota justru terlibat kasus korupsi di daerahnya masing-masing. 

“Tujuh belas dari 33 gubernur, dan 138 dari 280-an bupati/wali kota yang terpilih tersangkut hukum atau korupsi. Lalu, salahnya dimana?” katanya mempertanyakan.

Dipilih DPRD

Guna mendorong peran serta masyarakat dalam mengawasi figur calon kepala daerah dalam Pemilukada dan mengurangi ongkos politik, Hamdi mengusulkan agar Pemilukada secara langsung hanya digelar di kabupaten/kota. Sementara untuk tingkat provinsi bisa ditunjuk pemerintah pusat karena merupakan wakil pemerintah di daerah, atau dipilih DPRD.

Hal itu dilakukan agar figur atau tokoh masyarakat lokal yang dekat dan diterima oleh mereka, sehingga tidak ada lagi pejabat di daerah melakukan korupsi dan perekrutan yang dilakukan partai politik tidak akan gagal.  

“Bagi saya sebaiknya gubernur dipilih DPRD untuk mengurangi ongkos politik yang mahal, sedangkan bupati/wali kota tetap dipilih langsung agar dia dekat dengan rakyatnya,” tambah Hamdi Muluk.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR Ahmad Farhan Hamid menegaskan, perlunya adanya evaluasi pelaksanaan Pemilukada, namun tidak langsung dengan mencabut hak-hak politik rakyat yang telah diberikan tersebut langsung dicabut. 

“Mungkin dalam Pilkada itu tidak bisa disamakan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Semacam ada asimetris, di mana daerah tertentu sistemnya berbeda. Apakah diserahkan kepada semacam ahlul hally wal aqadhi (tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap mampu dan layak mewakili rakyat). Baik di Jawa maupun luar Jawa,” kata Farhan. 

Farhan mengakui, pelaksanaan Pemilukada membutuhkan dana yang besar sehingga kerap berujung pada gugatan di Mahkamah Konsitusi (MK) yang diajukan calon kepala daerah yang kalah.   

"Memang, semuanya berangkat dari partai dan penyelenggara Pilkada atau pemilu sendiri. Untuk itu, kalau kader yang diajukan tersebut nanti terbukti secara hukum melakukan korupsi, maka parpol bersangkutan harus diberi sanksi. Aturannya menjadi tugas pemerintah dan DPR yang akan merusmukan,” katanya.