Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kedepankan Kekerasan

DPR Wacanakan Polri di Bawah Kemendagri atau Kejagung
Oleh : Surya
Senin | 26-12-2011 | 17:28 WIB

JAKARTA, batamtoday-Maraknya aksi kekerasan yang dilakukan Polri dalam menyelesaikan setiap masalah, munculkan wacana untuk menempatkan Polri dibawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Kejaksaan Agung. Penempatan itu diharapkan dapat mereformasi tugas Polri sebagai pengayom dan penegak hukum, serta tidak lagi bertanggungjawab langsung ke Presiden.

Hal itu disampaikan dua politisi DPR Malik Haramain (F-PKB) dan Eva Kusuman Sundari (F-PDIP) yang dihubungi secara terpisah, Senin (26/12/11).

Menurut Malik,  Polri sebaiknya berada dibawah Kemendagri dan tidak bertanggungjawab langsung ke Presiden. "Ke depan, Polri harus di bawah koordinasi Kemendagri dan tidak lagi bertanggungjawab langsung ke Presiden. Reformasi pokok itu untuk memperkuat tugas Polri sebagai pengayom masyarakat dan penegak hukum," kata Malik

Kasus kekerasan terakhir yang dilakukan Polri di Bima beberapa waktu lalu membuktikan reformasi Polri yang gagal total.

"Paradigma Polri masih militeristik yang mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Karena itu, reformasi Polri tidak hanya merubah paradigma (shifting paradigm) dari milter ke civilian, namun harus ada perubahan posisi kelembagaan Polri," kata Anggota Komisi II DPR ini.  

Sedangkan Eva berpendapat penempatan Polri dibawah koordinasi Kejaksaan Agung, akibat Polri selama ini tidak terkontrol dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengayom dan penjaga keamanan. "Berkaitan dengan kurangnya kontrol terhadap Polri, perlu dipikirkan untuk menempatkan Polri di bawah Kejaksaan Agung sebagai bagian dari penegak hukum," kata Eva.

Anggota Komisi III DPR ini menilai wewenang yang luas oleh Polri sebagai satu-satunya pengendali keamanan masyarakat yang boleh menggunakan kekerasan, faktanya minim akuntabilitas. Akibatnya, kata Eva, prosedur tetap (Protap) yang digunakan oleh Polri sering dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh pemodal dan juga oknum Polri sendiri untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

"Bukan saja protap Polri yang bersifat ambigu yang dalam prakteknya sering mirip operasi militer, protap juga rawan diperalat pemodal dan oknum pejabat polisi untuk memperkaya diri," katanya.