Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemerintah Didesak Kritisi Gencatan Senjata Palestina-Israel yang Dinilai Taktik Pengusiran Warga Gaza
Oleh : Irawan
Jum\'at | 31-01-2025 | 11:04 WIB
Gelora-Talks2.jpg Honda-Batam
Gelora Talks bertajuk 'Gencatan Senjata, Pembebasan Sandera & Apa Tantangannya?' pada Rabu (29/1/2025). (Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana, mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengkritisi gencatan senjata antara Palestina dan Israel.

Ia menilai, gencatan senjata ini berpotensi menjadi taktik Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk secara halus mengusir warga Gaza dan memperluas kendali Israel atas wilayah Palestina.

Dalam diskusi Gelora Talks bertajuk 'Gencatan Senjata, Pembebasan Sandera & Apa Tantangannya?' pada Rabu (29/1/2025), Hikmahanto menegaskan konflik Palestina-Israel adalah masalah okupasi lahan. "Tanah yang seharusnya milik rakyat Palestina telah diduduki Israel. Gencatan senjata ini justru dapat menjadi alat bagi Israel untuk memuluskan langkah mereka dalam menguasai Gaza," ujarnya.

Ia juga mencermati adanya skenario relokasi warga Gaza ke luar wilayah Palestina, seperti ke Indonesia, Yordania, dan Mesir, selama proses rekonstruksi pascaperang berlangsung. "Ada yang mendasari kritik ini. Mediatornya adalah Qatar, Mesir, dan AS, tetapi AS sendiri terpecah antara kubu Joe Biden dan Donald Trump," jelasnya.

Menurutnya, kubu Donald Trump yang didukung Partai Republik cenderung lebih menyukai konflik dibandingkan perdamaian. "Jadi, agak janggal jika AS tiba-tiba meminta Israel menyetujui gencatan senjata, sementara Netanyahu sendiri sebelumnya menolak," tambahnya.

Hikmahanto menduga, ada kesepakatan terselubung antara Trump dan Netanyahu untuk menghabisi Hamas setelah pembebasan sandera, serta mengambil alih Gaza dengan merelokasi warganya. "Ini bisa menjadi alasan Israel untuk kembali masuk ke Gaza setelah gagal memerangi Hamas secara langsung," tegasnya.

Peran Indonesia dalam Diplomasi Palestina

Dalam situasi ini, Hikmahanto menilai bahwa Indonesia memiliki kesempatan besar untuk memainkan peran strategis dalam mendukung kemerdekaan Palestina. "Indonesia harus lebih proaktif, seperti mengirim pasukan medis tambahan, mendapatkan mandat PBB untuk pasukan penjaga perdamaian, mengajak negara lain membantu rekonstruksi Gaza, serta mendorong solusi two-state solution," paparnya.

Senada dengan itu, Ketua Pusat Solidaritas Palestina DPP Partai Gelora Indonesia, Tengku Zulkifli Usman, menyoroti perlunya perubahan strategi dalam memperjuangkan Palestina. "Selama ini, perjuangan hanya terfokus pada bantuan kemanusiaan atau donasi. Perlu ada pendekatan geopolitik yang lebih kuat," katanya.

Zulkifli juga menilai bahwa Presiden Prabowo Subianto harus memperkuat narasi politik luar negeri Indonesia terkait Palestina, terutama saat berhadapan dengan Donald Trump. "Pak Prabowo akan berinteraksi dengan Trump dalam empat tahun ke depan, sehingga strategi komunikasi dan diplomasi harus diperkuat," ungkapnya.

Menurutnya, selama ini isu Palestina kerap menjadi komoditas politik, tetapi tidak menyentuh substansi penyelesaian konflik. "Sudah hampir 100 tahun Palestina tidak merdeka meskipun mendapat banyak bantuan. Jika tidak ada pendekatan geopolitik yang konkret, maka situasi ini tidak akan berubah," tambahnya.

Kekhawatiran Normalisasi Hubungan dengan Israel

Sementara itu, aktivis Palestina, Muhammad Husein Gaza, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi normalisasi hubungan antara negara-negara Arab dan Israel setelah gencatan senjata.

"Saya khawatir ini adalah bagian dari strategi untuk mendorong negara-negara Arab membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Kita berharap Indonesia tetap teguh dalam mendukung Palestina dan tidak mengikuti langkah normalisasi," ujarnya.

Hingga saat ini, Indonesia terus berkomitmen mendukung kemerdekaan Palestina dan menolak segala bentuk penjajahan. Pemerintah diharapkan semakin aktif menyuarakan isu ini di berbagai forum internasional.

Editor: Surya