Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ahok dan Polah Transaksional Parpol

18-09-2016 | 12:58 WIB

Oleh Edy Mulyadi)*

RASANYA semua orang sepakat, kalau dikatakan Cagub Petahana DKI Jakarta, Basuki “Ahok” Tjahja Purnama adalah tokoh kuat. Sebagai Gubernur, dia punya kekuasaan yang besar. Dengan kekuasaan yang besar itu, lelaki yang telengas kepada rakyat kecil dan mesra kepada pengusaha besar tersebut, bisa mengerahkan Satpol PP untuk menggusur paksa permukiman rakyat kecil di ratusan titik.

Belajar dari Polemik Mahasiswa Papua dengan Polisi

17-09-2016 | 09:26 WIB

Oleh Suparlan

AKHIR-AKHIR ini masalah Papua kembali menjadi isu sensitive di Indonesia. Hal ini dikarenakan pola pikir masyarakat Indonesia tertuju pada kasus kerusuhan yang terjadi di Papua. Permasalahan yang terjadi di wilayah Papua merupakan suatu masalah yang sangat sensitif, berbagai isu berkembang, mulai dari isu HAM sampai isu SARA.

Membangun Rumah Aman Bagi Anak

16-09-2016 | 15:12 WIB

Oleh Sri Sayekti

APAKAH rumah itu? Bagaimana sebaiknya dalam membangun dan menjaga rumah agar tetap aman dan nyaman untuk dihuni? Negara itu rumah atau bukan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya sedikit menggambarkan keresahan masyarakat saat ini karena rumah yang ditinggali belum membuat aman dan nyaman orang didalamnya.

Agenda Setting Teroris Menipu Dunia

15-09-2016 | 15:23 WIB

Oleh Alga Prasmarant

PERISTIWA bom bunuh diri di kota Madinah, Arab Saudi Senin (4/7) merupakan salah satu momen yang dimanfaatkan oleh kelompok teroris guna mendongkrak eksistensi kelompok mereka di mata dunia. Sudah menjadi rahasia umum, pada bulan suci Ramadhan masjid Nabawi selalu dipenuhi jutaan jama’ah dari seluruh pelosok dunia untuk menunaikan ibadah umrah. Momen tersebut selanjutnya dimanfaatkan kelompok teroris untuk melakukan aksi pengeboman.

Ayo, Lupakan Sejarah Kelam Bangsa Indonesia

13-09-2016 | 11:02 WIB

Oleh Suparlan

PELANGGARAN HAM di Indonesia pada tahun 1965 yang selama ini digembar gemborkan oleh kelompok komunis atau keluarga eks PKI semakin memanas. Hal ini dikarenakan kelompok tersebut telah berhasil membawa kasus tersebut pada sidang HAM Internasional di Den Haag. Sebuah kisah lalu yang dibahas kembali dan menimbulkan memori tersendiri bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Jokowi, Sri Mulyani, dan Patung Perunggu

12-09-2016 | 11:38 WIB

Oleh  M Fajar Marta

 Di kawasan Lapangan Banteng Jakarta Pusat, ada sebuah patung yang dikenal sebagai Monumen Pembebasan Irian Barat. Sesuai namanya,  monumen ini dibuat untuk mengingatkan perjuangan bangsa Indonesia dalam membebaskan wilayah Irian Barat pada tahun 1962.

Patung ini menggambarkan orang yang berhasil memutus rantai yang membelenggu tangan dan kakinya, sebagai simbol lepasnya Irian Barat dari belenggu penjajahan Belanda. Namun, patung yang terbuat dari perunggu itu ternyata juga bisa menyimbolkan hal lain.

Dengan kedua tangan terangkat tinggi-tinggi ke atas, patung itu seolah menjerit, ”Uang sudah habis...!” Menurut anekdot, patung itu menyuarakan jeritan hati Menteri Keuangan yang berkantor persis di belakang patung itu.

Kepada siapa suara itu diarahkan? Banyak versi. Namun, melihat kondisi anggaran pemerintah sekarang, suara itu seolah ditujukan ke Istana Merdeka yang kebetulan berada di hadapan patung itu sejauh 1,5 km.

Menteri Keuangan, sebagai pencari uang sekaligus pengelola dana pembangunan seolah ingin mengatakan kepada Presiden agar mengerem belanja negara karena kantong pemerintah sedang cekak alias tak ada uang.

Tidak lagi sama
Saat ditunjuk sebagai Menteri Keuangan (menkeu) untuk kedua kalinya pada 27 Juli 2016, Sri Mulyani tentu telah menyadari bahwa kondisi anggaran negara saat ini tak lagi sama dengan saat dirinya menjabat Menkeu periode 2005 – 2010 dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Salah satu perbedaan yang menonjol adalah pemerintah saat ini senantiasa berkantong cekak. Dengan kata lain, kas pemerintah selalu defisit karena belanja negara lebih besar dari penerimaannya sepanjang tahun berjalan.

Ibaratnya, begitu ada uang masuk dari pajak atau penerimaan lainnya, dipastikan akan langsung habis untuk membayar kontraktor proyek-proyek infrastruktur. Dampaknya, pemerintah selalu berjaga-jaga mencari utang guna menutup defisit anggaran.

Sebab, jika tak dapat utang, anggaran negara benar-benar terancam, bisa-bisa anggaran rutin tak terbayar tepat waktu.

Per Juni 2016 misalnya, realisasi belanja negara sudah mencapai Rp 865,4 triliun, sementara realisasi penerimaan negara baru sebesar Rp 634,7 triliun. Terjadi defisit sebesar Rp 230,7 triliun.

Untuk menutup defisit tersebut, selama semester I 2016, pemerintah menambah utang baru sebanyak Rp 197,61 triliun. Sisa defisit ditutup dari utang yang diambil pada tahun sebelumnya.

Jadi, jika tak ada uang dari utang, kas pemerintah saat ini benar-benar kosong.

Situasi ini berbeda sekali dengan periode pertama Sri Mulyani menjadi menkeu.

Pada semester I tahun 2006 misalnya, realisasi penerimaan negara mencapai Rp 229,11 triliun sedangkan belanjanya sebesar Rp 215,27 triliun. Artinya, ada uang kas sebesar Rp 13,84 triliun di laci meja menkeu yang bukan uang utang.

Begitu pula dengan semester I tahun 2007, saat realisasi penerimaan sebesar Rp 260,65 triliun dan belanja Rp 237,02 triliun, yang berarti ada surplus Rp 23,63 triliun.

Kondisi tahun 2008 dan 2009 pun sama, selalu ada uang kas yang bukan berasal dari utang di laci meja pemerintah.

Tahun 2009 merupakan tahun penuh terakhir Sri Mulyani menjabat menkeu periode pertama. Tahun 2010 tidak dilaluinya secara penuh karena huru hara politik kasus Bank Century mendorongnya hijrah ke Amerika Serikat untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia (World Bank).

Mengapa pemerintahan Presiden Jokowi selalu kehabisan uang?

Presiden Jokowi terlalu ambisius membangun infrastruktur, padahal uangnya tak cukup. Dampaknya, pemerintah harus berutang lebih banyak dan memangkas pos-pos anggaran lain agar tersedia dana yang cukup untuk membangun infrastruktur.

Dalam dua tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi, anggaran infrastruktur memang dinaikkan “gila-gilaan”. Pada tahun 2015, anggaran infrastruktur mencapai Rp 290 triliun, sedangkan pada 2016, angkanya ditinggikan lagi menjadi Rp 313 triliun.

Sebagai perbandingan, anggaran  infrastruktur pemerintahan Presiden SBY rata-rata hanya Rp 150 triliun per tahun.

Indonesia memang sangat membutuhkan infrastruktur untuk mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia tidak akan pernah bisa naik kelas menjadi negara maju.

Namun, terlalu ambisius membangun infrastruktur dengan mengorbankan kepentingan masyarakat jangka pendek juga tidak elok.

Apalagi, jika pemerintah mengandalkan utang untuk membangun infrastruktur. Itu sama saja membebani masa depan anak-cucu kita.

Selain itu, penerimaan negara agak seret dalam dua tahun terakhir. Ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi global yang melemah yang kemudian berimbas pada perekonomian domestik.

Harga komoditas dan perdagangan dunia anjlok, menyebabkan kinerja ekspor Indonesia jatuh ke titik nadir. Begitu pula investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).

Di dalam negeri, lesunya perekonomian ditandai dengan melambatnya penyaluran kredit perbankan, yang per Juni 2016, hanya tumbuh 9 persen setahun. Padahal normalnya, pertumbuhan kredit mencapai 20 – 25 persen per tahun.

Daya beli masyarakat juga sangat lemah terindikasi dari inflasi inti yang terus menurun, per Agustus 2016 hanya 3,32 persen, terendah dalam tujuh tahun terakhir.

Lesunya perekonomian tentu berdampak pada kinerja perusahaan di berbagai sektor. Pendapatan perusahaan yang menurun akhirnya memengaruhi pajak yang mereka bayar.

Buktinya, realisasi pendapatan negara pada tahun 2015 hanya sebesar Rp 1.504,5 triliun. Nilai tersebut turun dibandingkan realisasi pendapatan negara tahun 2014 yang sebesar Rp 1.550,1.

Pada tahun-tahun sebelumnya, tidak pernah pendapatan negara menurun, kecuali tahun 2009 saat dunia dilanda krisis finansial.

Adapun realisasi penerimaan pajak pada 2015 sebesar Rp 1.240,4 triliun, tumbuh 8,22 persen dibandingkan realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1.146,84. Pertumbuhan penerimaan pajak tersebut tergolong melambat karena biasanya pertumbuhan penerimaan pajak berkisar 12 – 15 persen, bahkan bisa mencapai 30 persen saat periode pertama Sri Mulyani menjadi menkeu.

Namun, penyebab utama turunnya pendapatan negara adalah anjloknya penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Pada tahun 2015, PNBP hanya Rp 252,4 triliun, turun 37 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 398,54 triliun. Kejatuhan harga minyak dan komoditas SDA lainnya membuat PNBP turun drastis.

Kondisi ekonomi tahun ini dan tahun lalu tidak jauh berbeda, bahkan bisa lebih buruk.

Indikasinya, realisasi pendapatan negara per semester I 2016 sebesar Rp 634,7 triliun, turun dibandingkan semester I 2015 yang sebesar Rp 697,4 triliun.

Penerimaan pajak juga turun dari Rp 555,2 triliun pada semester I 2015 menjadi Rp 522 triliun pada semester I tahun 2016.

Jika kondisinya terus seperti hingga akhir tahun, maka untuk pertama kalinya dalam 7 tahun terakhir, pertumbuhan pajak akan negatif.

Pemerintah sendiri menargetkan penerimaan pajak tahun 2016 sebesar Rp 1.320 triliun, atau terjadi shortfall  Rp 219 triliun dari target pajak dalam APBN-P 2016 sebesar Rp 1.539,16 triliun.

Pemerintah memasang target ini karena masih optimis kebijakan amnesti pajak bisa menyumbang pendapatan pajak sekitar Rp 80 – 100 triliun.

Alasan lainnya mengapa kantong pemerintah selalu cekak adalah belanja yang digenjot sejak awal tahun. Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya saat belanja pemerintah pusat dan daerah baru digenjot pada semester II.

Strategi yang bagus ini bisa diimplementasikan karena perencanaan dan lelang proyek dilakukan sedini mungkin.

Surat Cinta Ibu Menkeu yang Menggemparkan

10-09-2016 | 13:26 WIB

Oleh Ganjar Pranowo

Mendapat surat cinta biasanya menyenangkan. Tapi ternyata tidak semua. Karena sebagian surat cinta itu isinya bisa saja meresahkan. Bahkan bikin bingung bagaimana menjawabnya.

Saya baru saja dapat. Sepucuk surat cinta dari yang terkasih Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani. Saya sebut surat cinta karena tentunya surat itu ditujukan Ibu Menteri untuk para kepala daerah yang beliau sayangi. Saya sebut surat cinta karena pasti tujuannya baik. Setidaknya demikian lah niatan Ibu Menteri.

Urgensi RUU Terorisme

10-09-2016 | 08:50 WIB

Oleh Aditya Bagas

BERBAGAI aksi teror telah terjadi di seluruh belahan dunia, dan mayoritas kegiatan teror tersebut mengatasnamakan jihad alias agama Islam. Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi Islam terbesar di dunia dan beraliran Sunni yang sekaligus aliran yang sama seperti ISIS, secara tidak langsung di Indonesia sendiri terdapat banyak simpatisan ataupun anggota ISIS di dalamnya, sehingga Indonesia menjadi negara yang rawan akan aksi teror. Hal tersebut tentu saja menjadi atensi khusus bagi pemerintah dan merupakan langkah yang tepat untuk mengajukan revisi UU Terorisme guna mencegah kegiatan teror.