Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Stop Provokasi di Timur Indonesia
Oleh : Redaksi
Rabu | 01-02-2017 | 14:50 WIB
provokasikompasiana.jpg Honda-Batam

Ilustrasi anti provokasi. (Foto: Kompasiana)

Oleh Achmad Suwendi

ISU pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua kembali menjadi sorotan dunia. Banyak tokoh mancanegara memberi perhatian terhadap konflik seperti tak berkesudahan di tanah mutiara hitam.

 

Isu pelanggaran HAM di Papua dapat menyudutkan Indonesia sebagai negara yang mempunyai kewenangan penuh terhadap wilayahnya. Oleh karenanya, Indonesia tampaknya harus berkerja keras untuk meredam isu yang dapat berujung memperlebar jarak dengan negeri cendrawasih.

Pulau yang memiliki julukan Mutiara Hitam memang tidak bisa dilepaskan dari masa lalu Indonesia. Menelisik dari sejarahnya sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangatlah unik. Sejak awal penduduk Papua ialah keluarga besar penduduk wilayah Nusantara yang membentuk Negara Indonesia, meskipun “agak terlambat” mendapat pengakuan dari dunia Internasional bahwa Papua sebagai bagian dari NKRI.

Jikalaupun dirunut dari masa kerajaan Nusantara, seperti pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Kesultanan Tidore, wilayah Papua secara ekspilisit disebutkan sebagai bagian dari wilayah-wilayah kekuasan kerajaaan dan kesultanan adikuasa di eranya masing-masing.

Daya upaya memunculkan masalah pelanggaran HAM di kancah internasional, salah satunya melalui pidato Peter Tatchell saat menerima Gandhi International Peace Award di London pada 31 Oktober 2016. Penghargaan yang diperoleh Peter diperuntukkan bagi tokoh yang berjuang memperjuangkan perdamaian secara nonkekerasan dalam pengabdiannya terhadap pembelaan HAM selama 50 tahun di Inggris dan seluruh dunia.

Separuh dari isi pidato Peter diperuntukkan lebih banyak membahas tentang pembebasan Papua. Tak lupa, kritik pedas tak henti-henti terhadap Jakarta dalam indikasi pelanggaran HAM di Papua. “Saya mendedikasikan penghargaan ini kepada orang-orang heroik di Papua (Barat) dan perjuangan pembebasan mereka melawan penjajahan dan dan pendudukan militer. Sejak aneksasi oleh Jakarta pada tahun 1969, setidaknya 100.000, dan mungkin 400.000, orang Papua telah meninggal,” kata Tatchell yang dikutip dari Papua Post.

Upaya lainnya ialah tak lain, dengan menggadangkan Papua akan menjadi salah satu anggota dari Melanesian Spearhead Group (MSG) atau yang lebih dikenal dengan sebutan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Istilah Melanesia untuk sebutan penduduk di Papua muncul saat pertama kali para penjelajah Eropa dating ke pulau Papua. Asal kata Melanesia berasal dari kata Yunani, yakni “mela” yang artinya “hitam”, karena kulit mereka berwarna gelap. Atas dasar inilah, segelintir orang yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB) bergigih agar ULMWP masuk menjadi anggota tetap MSG.

Naas, upaya ULMWP ditolak atas hasil pertemuan KTT khusus para pemimpin MSG di Honiara, Solomon Islands pada 13-14 Juli, 2016. Akan tetapi KNPB masih berkeyakinan bahwa usaha pembebasan Papua bukan ditolak MSG, namun hanya ditunda akibat persoalan administrasi.

Menapik tudingan bahwa ULMWP ditolak oleh MSG, KNPB sebagai pihak yang gigih memperjuangkan agar diterimanya Papua menjadi anggota MSG melalui media lokal Papua dan sosial media terus memberitakan bahwa MSG hanya menunda diterimanya ULMWP karena terkendala administrasi yang belum terpenuhi.

KNPB tentu tak bisa tinggal diam dan harus membuktikan keyakinannya yang hampir rapuh dengan terus mengemis janji kepada MSG dalam upaya ULMWP menjadi anggota tetap MSG.

Bulan September 2016 disebut-sebut sebagai waktu ideal ULMWP akan diterima dan dideklarasikan sebagai anggota penuh MSG. Faktanya, September pun berlalu tak ada satupun agenda MSG untuk membahas perumusan keanggotaan. Lagi-lagi, KNPB menepisnya dengan memberitakan bahwa pertemuan para pemimpin MSG mundur ke bulan Oktober 2016.

Namun apa yang terjadi pada bulan Oktober 2016? Kabar tidak menyenangkan kembali harus ditelan masyarakat Papua lantaran pertemuan para pemimpin MSG kembali batal.

KNPB digaransikan pada bulan Desember 2016. Akan tetapi, 2016 berakhir dan berganti Januari di tahun yang baru, tak ada bermunculan tanda akan adanya agenda membahas status keanggotaan MSG. Al hasil nasib ULMWP masih terombang-ambing menjadi anggota penuh di MSG.

Isu pelanggaran HAM di Papua sangat tidak berdasar. Isu pelanggaran HAM di Papua merupakan kedok yang dijadikan alasan untuk mendukung separatis Papua dari NKRI.

Jika berlandaskan pada perbedaan sejarah antara Papua dan Indonesia-pun juga seperti hal yang mengada-ada. Upaya penyuaraan sejarah berbeda layaknya boomerang sendiri bagi para segelintir orang yang mengatasnamakan pejuang kemerdekaan Papua, karena telah melupakan sejarah di tanah air.

Seperti dikutip dari kitab himpunan sejarah pemerintahan Kerajaan Majapahit, yaitu kitab Negara Kertagama, Papua secara gamblang termasuk dalam wilayah kerajaan Majapahit (1293-1520). Selain itu, Papua di bawah wilayah kekuasaan Majapahit juga tercantum di dalam kitab Prapanca (1365).

Akan tetapi seperti kata pepatah lama “Biarkan Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu”, yang berarti meski banyak negara-negara asing yang mendukung Papua memisahkan dari NKRI, Papua harus tetap maju dengan segala masa lalunya dan akan tetap jadi bagian dari keluarga besar NKRI.*

Pemerhati Sosial dan Politik tinggal di Jakarta Timur