Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ayo, Lupakan Sejarah Kelam Bangsa Indonesia

13-09-2016 | 11:02 WIB

Oleh Suparlan

PELANGGARAN HAM di Indonesia pada tahun 1965 yang selama ini digembar gemborkan oleh kelompok komunis atau keluarga eks PKI semakin memanas. Hal ini dikarenakan kelompok tersebut telah berhasil membawa kasus tersebut pada sidang HAM Internasional di Den Haag. Sebuah kisah lalu yang dibahas kembali dan menimbulkan memori tersendiri bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Jokowi, Sri Mulyani, dan Patung Perunggu

12-09-2016 | 11:38 WIB

Oleh  M Fajar Marta

 Di kawasan Lapangan Banteng Jakarta Pusat, ada sebuah patung yang dikenal sebagai Monumen Pembebasan Irian Barat. Sesuai namanya,  monumen ini dibuat untuk mengingatkan perjuangan bangsa Indonesia dalam membebaskan wilayah Irian Barat pada tahun 1962.

Patung ini menggambarkan orang yang berhasil memutus rantai yang membelenggu tangan dan kakinya, sebagai simbol lepasnya Irian Barat dari belenggu penjajahan Belanda. Namun, patung yang terbuat dari perunggu itu ternyata juga bisa menyimbolkan hal lain.

Dengan kedua tangan terangkat tinggi-tinggi ke atas, patung itu seolah menjerit, ”Uang sudah habis...!” Menurut anekdot, patung itu menyuarakan jeritan hati Menteri Keuangan yang berkantor persis di belakang patung itu.

Kepada siapa suara itu diarahkan? Banyak versi. Namun, melihat kondisi anggaran pemerintah sekarang, suara itu seolah ditujukan ke Istana Merdeka yang kebetulan berada di hadapan patung itu sejauh 1,5 km.

Menteri Keuangan, sebagai pencari uang sekaligus pengelola dana pembangunan seolah ingin mengatakan kepada Presiden agar mengerem belanja negara karena kantong pemerintah sedang cekak alias tak ada uang.

Tidak lagi sama
Saat ditunjuk sebagai Menteri Keuangan (menkeu) untuk kedua kalinya pada 27 Juli 2016, Sri Mulyani tentu telah menyadari bahwa kondisi anggaran negara saat ini tak lagi sama dengan saat dirinya menjabat Menkeu periode 2005 – 2010 dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Salah satu perbedaan yang menonjol adalah pemerintah saat ini senantiasa berkantong cekak. Dengan kata lain, kas pemerintah selalu defisit karena belanja negara lebih besar dari penerimaannya sepanjang tahun berjalan.

Ibaratnya, begitu ada uang masuk dari pajak atau penerimaan lainnya, dipastikan akan langsung habis untuk membayar kontraktor proyek-proyek infrastruktur. Dampaknya, pemerintah selalu berjaga-jaga mencari utang guna menutup defisit anggaran.

Sebab, jika tak dapat utang, anggaran negara benar-benar terancam, bisa-bisa anggaran rutin tak terbayar tepat waktu.

Per Juni 2016 misalnya, realisasi belanja negara sudah mencapai Rp 865,4 triliun, sementara realisasi penerimaan negara baru sebesar Rp 634,7 triliun. Terjadi defisit sebesar Rp 230,7 triliun.

Untuk menutup defisit tersebut, selama semester I 2016, pemerintah menambah utang baru sebanyak Rp 197,61 triliun. Sisa defisit ditutup dari utang yang diambil pada tahun sebelumnya.

Jadi, jika tak ada uang dari utang, kas pemerintah saat ini benar-benar kosong.

Situasi ini berbeda sekali dengan periode pertama Sri Mulyani menjadi menkeu.

Pada semester I tahun 2006 misalnya, realisasi penerimaan negara mencapai Rp 229,11 triliun sedangkan belanjanya sebesar Rp 215,27 triliun. Artinya, ada uang kas sebesar Rp 13,84 triliun di laci meja menkeu yang bukan uang utang.

Begitu pula dengan semester I tahun 2007, saat realisasi penerimaan sebesar Rp 260,65 triliun dan belanja Rp 237,02 triliun, yang berarti ada surplus Rp 23,63 triliun.

Kondisi tahun 2008 dan 2009 pun sama, selalu ada uang kas yang bukan berasal dari utang di laci meja pemerintah.

Tahun 2009 merupakan tahun penuh terakhir Sri Mulyani menjabat menkeu periode pertama. Tahun 2010 tidak dilaluinya secara penuh karena huru hara politik kasus Bank Century mendorongnya hijrah ke Amerika Serikat untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia (World Bank).

Mengapa pemerintahan Presiden Jokowi selalu kehabisan uang?

Presiden Jokowi terlalu ambisius membangun infrastruktur, padahal uangnya tak cukup. Dampaknya, pemerintah harus berutang lebih banyak dan memangkas pos-pos anggaran lain agar tersedia dana yang cukup untuk membangun infrastruktur.

Dalam dua tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi, anggaran infrastruktur memang dinaikkan “gila-gilaan”. Pada tahun 2015, anggaran infrastruktur mencapai Rp 290 triliun, sedangkan pada 2016, angkanya ditinggikan lagi menjadi Rp 313 triliun.

Sebagai perbandingan, anggaran  infrastruktur pemerintahan Presiden SBY rata-rata hanya Rp 150 triliun per tahun.

Indonesia memang sangat membutuhkan infrastruktur untuk mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia tidak akan pernah bisa naik kelas menjadi negara maju.

Namun, terlalu ambisius membangun infrastruktur dengan mengorbankan kepentingan masyarakat jangka pendek juga tidak elok.

Apalagi, jika pemerintah mengandalkan utang untuk membangun infrastruktur. Itu sama saja membebani masa depan anak-cucu kita.

Selain itu, penerimaan negara agak seret dalam dua tahun terakhir. Ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi global yang melemah yang kemudian berimbas pada perekonomian domestik.

Harga komoditas dan perdagangan dunia anjlok, menyebabkan kinerja ekspor Indonesia jatuh ke titik nadir. Begitu pula investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).

Di dalam negeri, lesunya perekonomian ditandai dengan melambatnya penyaluran kredit perbankan, yang per Juni 2016, hanya tumbuh 9 persen setahun. Padahal normalnya, pertumbuhan kredit mencapai 20 – 25 persen per tahun.

Daya beli masyarakat juga sangat lemah terindikasi dari inflasi inti yang terus menurun, per Agustus 2016 hanya 3,32 persen, terendah dalam tujuh tahun terakhir.

Lesunya perekonomian tentu berdampak pada kinerja perusahaan di berbagai sektor. Pendapatan perusahaan yang menurun akhirnya memengaruhi pajak yang mereka bayar.

Buktinya, realisasi pendapatan negara pada tahun 2015 hanya sebesar Rp 1.504,5 triliun. Nilai tersebut turun dibandingkan realisasi pendapatan negara tahun 2014 yang sebesar Rp 1.550,1.

Pada tahun-tahun sebelumnya, tidak pernah pendapatan negara menurun, kecuali tahun 2009 saat dunia dilanda krisis finansial.

Adapun realisasi penerimaan pajak pada 2015 sebesar Rp 1.240,4 triliun, tumbuh 8,22 persen dibandingkan realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1.146,84. Pertumbuhan penerimaan pajak tersebut tergolong melambat karena biasanya pertumbuhan penerimaan pajak berkisar 12 – 15 persen, bahkan bisa mencapai 30 persen saat periode pertama Sri Mulyani menjadi menkeu.

Namun, penyebab utama turunnya pendapatan negara adalah anjloknya penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Pada tahun 2015, PNBP hanya Rp 252,4 triliun, turun 37 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 398,54 triliun. Kejatuhan harga minyak dan komoditas SDA lainnya membuat PNBP turun drastis.

Kondisi ekonomi tahun ini dan tahun lalu tidak jauh berbeda, bahkan bisa lebih buruk.

Indikasinya, realisasi pendapatan negara per semester I 2016 sebesar Rp 634,7 triliun, turun dibandingkan semester I 2015 yang sebesar Rp 697,4 triliun.

Penerimaan pajak juga turun dari Rp 555,2 triliun pada semester I 2015 menjadi Rp 522 triliun pada semester I tahun 2016.

Jika kondisinya terus seperti hingga akhir tahun, maka untuk pertama kalinya dalam 7 tahun terakhir, pertumbuhan pajak akan negatif.

Pemerintah sendiri menargetkan penerimaan pajak tahun 2016 sebesar Rp 1.320 triliun, atau terjadi shortfall  Rp 219 triliun dari target pajak dalam APBN-P 2016 sebesar Rp 1.539,16 triliun.

Pemerintah memasang target ini karena masih optimis kebijakan amnesti pajak bisa menyumbang pendapatan pajak sekitar Rp 80 – 100 triliun.

Alasan lainnya mengapa kantong pemerintah selalu cekak adalah belanja yang digenjot sejak awal tahun. Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya saat belanja pemerintah pusat dan daerah baru digenjot pada semester II.

Strategi yang bagus ini bisa diimplementasikan karena perencanaan dan lelang proyek dilakukan sedini mungkin.

Surat Cinta Ibu Menkeu yang Menggemparkan

10-09-2016 | 13:26 WIB

Oleh: Ganjar Pranowo


Mendapat surat cinta biasanya menyenangkan. Tapi ternyata tidak semua. Karena sebagian surat cinta itu isinya bisa saja meresahkan. Bahkan bikin bingung bagaimana menjawabnya.

Saya baru saja dapat. Sepucuk surat cinta dari yang terkasih Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani. Saya sebut surat cinta karena tentunya surat itu ditujukan Ibu Menteri untuk para kepala daerah yang beliau sayangi. Saya sebut surat cinta karena pasti tujuannya baik. Setidaknya demikian lah niatan Ibu Menteri.

Sayangnya surat cinta Ibu Menteri kali ini meresahkan. Karena isinya tentang penundaan penyaluran sebagian dana alokasi umum tahun anggaran 2016. Dasarnya penghematan anggaran.

Meresahkan karena surat cinta ini meluncur di tengah tahun anggaran berjalan. Jelas kami tidak siap.

Bagaimana memangkas anggaran dari program pembangunan yang sedang berjalan? Tender-tender proyek juga sudah berjalan. Bahkan sejak Desember tahun lalu karena kami ingin melaksanakan perintah Presiden untuk memaksimalkan serapan anggaran.

Ada 169 daerah yang ditunda DAU-nya. Penundaan DAU untuk Provinsi Jateng sebesar Rp336,7 miliar.

Kami harus putar otak. Saya kumpulkan seluruh pejabat pelayan masyarakat. Kami utak-atik anggaran. Kira-kira pos mana yang bisa dipangkas dan disesuaikan dengan penundaan DAU ini.

Surat cinta ini juga berimbas pada bupati dan walikota. Sebab penundaan DAU juga menyasar 16 kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Yakni Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, Kendal, Klaten, Pati, Pemalang, Purbalingga, Purworejo, Rembang, Sukoharjo, Kabupaten Tegal, Kota Magelang, Kota Pekalongan, Kota Salatiga, Kota Semarang.

Seturut itu, kepala desa juga ikut resah. Karena sesuai undang-undang, pemerintah kabupaten kota harus mengalokasikan DAU untuk anggaran desa minimal 10 persen. Jika DAU kabupaten kota ditunda, maka dana desa bisa jadi juga tertunda.

Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, saya mendapat banyak pertanyaan dari teman-teman bupati, walikota, dan kepala desa. Juga ratusan SMS para PNS yang menanyakan isu penundaan DAU yang berimbas pada penundaan gajinya.

Kegemparan ini memang beralasan. Sebab sebagian DAU memang digunakan untuk membayar gaji pegawai. Kalau DAU ditunda, bagaimana pemerintah daerah membayar gaji PNS. Tidak mungkin juga memotong gaji pegawai karena nominalnya sudah tetap dan tidak bisa dikurangi.

Sedangkan jika mengambil sebagian anggaran program pembangunan untuk gaji pegawai juga tidak mungkin. Apalagi, di awal tahun ini, seluruh daerah sudah melaksanakan instruksi Presiden untuk memangkas anggaran hingga 10 persen. Pemprov Jateng malah memangkas 25 persen.

Catatan ini menjadi pertanyaan banyak pihak. Mengapa keputusan ini diambil di tengah tahun anggaran berjalan. Benarkah Indonesia betul-betul sedang mengalami kesulitan keuangan atau likuiditas sehingga harus diambil tindakan yang super mengejutkan ini.

Urgensi RUU Terorisme

10-09-2016 | 08:50 WIB

Oleh Aditya Bagas

BERBAGAI aksi teror telah terjadi di seluruh belahan dunia, dan mayoritas kegiatan teror tersebut mengatasnamakan jihad alias agama Islam. Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi Islam terbesar di dunia dan beraliran Sunni yang sekaligus aliran yang sama seperti ISIS, secara tidak langsung di Indonesia sendiri terdapat banyak simpatisan ataupun anggota ISIS di dalamnya, sehingga Indonesia menjadi negara yang rawan akan aksi teror. Hal tersebut tentu saja menjadi atensi khusus bagi pemerintah dan merupakan langkah yang tepat untuk mengajukan revisi UU Terorisme guna mencegah kegiatan teror.

UU Tax Amnesty Stimulus Pertubuhan Ekononomi

09-09-2016 | 10:38 WIB

Oleh Angga Saputra

PROGRAM Tax Amnesty atau pengampunan pajak telah dimulai hari ini, Senin (18/07/2016). Program ini ditujukan sebagai salah satu cara menarik dana pengusaha Indonesia yang “diparkir” di luar negeri. Diperkirakan terdapat aset WNI sejumlah kurang lebih Rp. 4.300 triliun yang seharusnya dapat digunakan sebagai modal investasi dalam negeri. Umumnya, para pengusaha Indonesia lebih memilih menyimpan uangnya di negara-negara yang mempunyai pajak rendah (Tax Haven).

 

Ironi Naker Cina di Negeri Kita

07-09-2016 | 15:54 WIB

Oleh Andre Penas

PEMBANGUNAN berbagai proyek infrastruktur gencar dilakukan sejak pemerintahan Jokowi/JK berkuasa, untuk mendukung rencana itu pada berbagai kesematan Presiden Jokowi mengundang pihak asing agar datang berinvestasi di Indonesia. Salah satu negara yang sangat antusias menyambut undangan tersebut adalah RRC yang kemudian langsung membiat rencana investasi esar-besaran di Indonesia.

Lanjutkan Moratorium Perikanan Tangkap

06-09-2016 | 15:36 WIB

Oleh Andreawaty

SEJAK diangkat Presiden Jokowi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Susi Pudjiastuti telah melakukan berbagai langkah tegas demi melindungi negara dari sejumah kerugian akibat banyaknya kapal asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia. Kebijakan yang diambil yakni melarang transhipment di tengah laut, mora¬torium kapal asing, dan menindak tegas kapal pencuri ikan.

Apa Kabar Otonomi Daerah

05-09-2016 | 09:26 WIB

Oleh Amril Jambak

OTONOMI daerah yang disingkat dengan Otda, lahir di tengah gejolak sosial yang sangat massif pada tahun 1999. Gejolak sosial tersebut didahului oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia di sekitar tahun 1997.