Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Bebaskan Koruptor

KPK Minta Pengadilan Tipikor di Daerah Dibubarkan, Dikembalikan ke Jakarta
Oleh : Surya
Kamis | 03-11-2011 | 15:25 WIB

 JAKARTA, batamtoday - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan geram banyak Pengadilan Tipikor yang didirikan di daerah ternyata membebaskan terdakwa kasus korupsi. Untuk itu, KPK meminta Mahkamah Agung (MA)  mengevaluasi keberadaan Pengadilan Tipikor di daerah, dan mengembalikan ke Jakarta.

"Keberadaan Pengadilan Tipikor perlu  evaluasi dulu dari sudut manajemen. Segera jangan ditunda, karena banyak pelaku korupsi yang dibebaskan," kata Busro Muqoddas, Ketua KPK di Jakarta, Kamis (3/11/2011).

Menurut Busro, MA diminta segera melakukan evaluasi keberadaan Pengadilan Tipikor di berbagai daerah. Sebab, keberadaannya yang seharusnya mendukung pemberantasan korupsi, tapi justru sebaliknya membebaskan para koruptor. 

"Untuk evaluasi akan lebih bagus kalau Mahkamah Agung mau berkoordinasi dengan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung juga bisa berkoordinasi dengan KPK, LSM antikorupsi seperti ICW dan universitas yang memiliki sumber daya di bidang hukum," katanya.

Anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul menyatakan sepakat keberadaan Pengadilan Tipikor di daerah di evaluasi, karena banyak yang masuk angin alias gampang disuap. "Dananya saja dari gubernur, gimana tidak masuk angin, makanya dibubarkan saja. Kalau di Jakarta, tidak ada Pengadilan Tipikor yang membebaskan bebas murni, minimal satu tahun atau yang meninggal," kata Ruhut.

Ruhut menegaskan, keberadaan Pengadilan Tipikor di daerah tidak diperlukan, karena tidak independen muda diintervensi oleh pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi. Politisi Partai Demokrat ini, Pengadilan Tipikor dikembalikan saja ke Jakarta seperti sebelum ada Pengadilan Tipikor di daerah. "Koruptor di adili di Jakarta saja, pasti akan di hukum dan tidak akan dibebaskan," katanya.

Sebelumnya Indonesia Corruption Watch (ICW) juga meminta agar Pengadilan Tipikor di daerah yang akan dibuka dipending terlebih dahulu, sembari menanti investigasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap para hakim Tipikor di daerah.

Selain itu, Mahkamah Agung juga harus mengevaluasi Pengadilan-pengadilan Tipikor yang sudah beroperasi di daerah. Putusan-putusan yang kontroversial juga harus dieksaminasi.
Sejauh ini sudah ada 22 koruptor yang telah dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor di berbagai daerah, diantaranya Walikota Bekasi Mochtar Muhammad yang dibebaskan Pengadilan Tipikor dalam kasus penyimpangan APBD Bekasi dan dugaan penyuapan. 

Terakhir pada 31 Oktober 2011 kemarin, majelis hakim ad hoc Pengadilan Tipikor di Samarinda, Kalimantan Timur, memberikan vonis bebas 4 dari 15 terdakwa kasus korupsi dana operasional APBD Kutai Kartanegara senilai Rp 2,98 miliar. Keempat terdakwa tersebut merupakan anggota DPRD Kutai Kartanegara nonaktif, yakni Suryadi, Suwaji, Sudarto dan Rusliandi. 

Hukuman mati

Melihatnya maraknya pembebasan para koruptor di Pengadilan Tipikor di berbagai daerah, termasuk putusan pidannya yang ringan, Ketua KPK Busyro Muqoddas mengusulkan pentingnya hukuman mati terdapa koruptor akan menimbulkan efek jera. Ia berharap agar pemerintah mengkaji ulang UU Tipikor dengan memasukkan pasal hukuman mati, sebelum di serahkan ke DPR.

"Sebelum diserahkan ke DPR, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas kembali mengingatkan pentingnya hukuman mati dicantumkan dalam aturan tersebut. Masalah hukum mati, saya kira perlu dikaji lagi dan dimasukkan dalam revisi UU Tipikor," kata Ketua KPK.

Selain hukuman mati, mantan ketua Komisi Yudisial (KY) ini juga mengusulkan adanya sanksi sosial bagi koruptor. Tidak hanya itu, dia juga meminta tidak ada pembatasan nominal korupsi.

"Kita keberatan batasan korupsi Rp 25 juta. Itu konsep lama. Misalnya korupsi daerah ada Rp 5 juta. Kalau dihapuskan terjadi masifikasi dan demoralisasi," tegasnya.

Revisi UU 31/1999 tentang Tipikor batal dilakukan tahun ini, dan akan dilakukan tahun depan. Kementerian Hukum dan HAM akan menggandeng KPK dalam menggodok revisi undang-undang ini sebelum dibawa ke DPR.

UU Tipikor telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011. Namun ketika akan dibahas di Komisi III, RUU tersebut ditarik kembali ke Sekretariat Negara tanpa alasan yang jelas. Hingga kini pemerintah belum mengembalikan lagi draf revisi UU Tipikor ke DPR, yang menyebabkan pembahasannya menjadi terkatung-katung.