Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Wajah Penegakkan Hukum 2011

Ketua DPR Nilai Hakim, Jaksa dan Polisi Tak Gunakan Hati Nurani
Oleh : Surya
Kamis | 29-12-2011 | 16:42 WIB

JAKARTA, batamtoday-Ketua DPR RI Marzuki Alie mengaku kecewa melihat implementasi penegakan hukum di Indonesia yang tidak menggunakan hati nurani dan hanya berlandaskan pada hukum formil semata. Marzuki berharap para hakim, jaksa dan polisi agar menggunakan hati nuraninya dalam menegakkan hukum supaya tidak mencederai kepentingan publik. 

"Berkali-kali kita mendengar polisi, hakim, dan jaksa memutuskan perkara tidak berdasarkan nurani yang sehat. Mereka hanya melakukan penegakan hukum dengan alasan-alasan formil normatif sesuai dengan peraturan yang ada. Tidak semua memang seperti itu, tapi banyak," kata Marzuki di Jakarta, Kamis (28/12/2011).

Ketidakpekaan para hakim, jaksa dan polisi dalam menggunakan hati nurani antara lain terjadi dalam kasus pencurian sandal jepit seharga Rp 30 ribu milik seorang anggota polisi bernama Brigadir Satu Achmad Rusdi Haraharap oleh seorang anak bersinisial AAL di Sulawesi Tengah. Akibat tidak menggunakan hati nurani dalam penegakan hukum itu, sang anak tersebut terancam hukuman 5 tahun penjara.

Marzuki pun meminta para penegak hukum untuk menggunakan hati nuraninya dan tidak menggunakan egonya semata. Karena, dalam hukum yang paling penting ditegakkan adalah keadilan itu sendiri. "Gunakanlah otak sepenuhnya, jangan hanya sebelah saja dalam memutuskan satu perkara. Jangan merendahkan logika berpikir masyarakat dengan alasan-alasan hukum, seolah masyarakat bodoh," katanya.

Sesuai aturan hukum yang ada, yaitu KUHP, seorang hakim menurut Marzuki memang memutuskan kasus-kasus pencurian itu dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun penjara. Namun, menurut Marzuki, seharusnya demi keadilan hakim tidak bicara hanya berdasarkan aturan tertulis saja.

"Masyarakat sudah muak dengan alasan-alasan normatif yang digunakan hakim dalam memutuskan perkara. Mencuri sandal dikenakan lima tahun, sementara korupsi miliaran hanya dikenakan dua tahun," katanya.

Marzuki mengaku sebelumnya juga pernah mendapatkan laporan ketika seorang kepala sekolah terdesak menggunakan uang sekolahnya sebesar Rp 4 juta untuk biaya wisuda anaknya. Hakim memutuskan kepala sekolah tersebut bersalah dan dihukum empat tahun penjara.

"Harusnya hal-hal seperti ini kan tidak perlu diputus bersalah. Cukup diminta mengembalikan uang yang telah digunakannya dan diberi peringatan untuk tidak melakukan hal itu lagi," katanya.

Memang, lanjut Marzuki, diperlukan keberanian hakim untuk memutuskan demi keadilan dan tidak hanya demi peraturan. "Oleh karena itu saya berharap agar lembaga-lembaga penegak hukum membangun nurani aparatur penegak hukum," katanya.