Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Waspada, Orang Gemuk Sulit Dapat Kerja, Gajinya pun Kecil
Oleh : Redaksi
Sabtu | 14-01-2017 | 10:02 WIB
gemukbygetty.jpg Honda-Batam

Ilustrasi orang dengan obesitas. (Foto: Getty)

 

BANYAK bisnis yang menganggap wajar-wajar saja ketika mereka menolak menerima individu yang obesitas atau saat memecat mereka.

 

Diskriminasi terkait berat badan ini lebih sering terjadi pada perempuan - dan nyaris tak ada yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.

Setelah dipecat dari pekerjaannya di penyedia layanan televisi kabel Comcast, Shavonne Patrice Owens merasa bahwa dia akhirnya mendapat pekerjaan tahun lalu di sebuah tempat penitipan anak di Huntsville, Alabama.

Seorang teman memberinya rekomendasi yang baik dan saat dia datang untuk wawancara, dia dikenalkan pada anak-anak di tempat penitipan serta staf.

Owens kemudian beberapa kali menanyakan kelanjutan hasil wawancara tersebut via telepon, tapi tak pernah dibalas.

"Saya pernah bekerja di tempat penitipan anak sebelumnya dan memenuhi kualifikasi untuk posisi itu, tapi mereka bilang pada teman saya bahwa mereka tidak akan menerima saya karena saya terlalu besar," kata Owens, yang tingginya hampir 180cm dan beratnya 227kg.

Pada saat wawancara, Owens meyakinkan mereka bahwa meski badannya besar, dia bisa dengan mudah duduk di lantai dan berinteraksi dengan anak-anak.

Shavonne Patrice Owens sulit mendapat pekerjaan karena berat badannya, meski dia sudah membuktikan dia bisa menjalani pekerjaan itu.

Sekalipun mereka bisa mengerjakan tugas secara kompeten, orang-orang yang kelebihan berat badan kerap menghadapi diskriminasi di tempat kerja.

Meski diskriminasi terhadap karyawan berdasarkan jenis kelamin, usia, ras, etnis, orientasi seksual, agama atau disabilitas sudah dianggap ilegal di banyak negara, termasuk Inggris, banyak bisnis yang menganggap wajar-wajar saja ketika mereka menolak menerima kerja orang yang obesitas, atau saat memecat mereka.

"Obesitas adalah salah satu dari sedikit kategori terstigma yang masih kita anggap tak ada masalah saat melakukan diskriminasi," kata Enrica Ruggs, asisten profesor psikologi di University of North Carolina di Charlotte.

"Ini sangat menarik, karena ini stigma yang sangat luas ada pada banyak orang di Amerika Serikat yang kelebihan berat badan."
Obesitas umumnya diartikan dengan indeks massa tubuh (BMI) lebih dari 30, sementara obesitas morbid adalah BMI lebih dari 40. (BMI bisa dihitung dengan cara membagi berat dalam kilogram dengan tinggi dalam meter. BMI normal berada di antara 18,5-24,9)

Penerima kerja kerap salah menilai kemampuan orang-orang obesitas dan berasumsi bahwa mereka tak bisa menangani tugas sulit dari pekerjaan atau menghadapi periode waktu kerja yang lama tanpa kelelahan.

Beberapa orang yang kelebihan berat badan sebenarnya cukup kuat dan memiliki tingkat ketahanan yang tinggi.

"Anda harus menilai seseorang secara individu dan tidak berasumsi bahwa ketika seseorang berbadan besar maka mereka tidak bisa melakukan hal-hal tertentu," kata Abigail Saguy, profesor sosiologi di University of California di Los Angeles dan penulis buku Whats Wrong with Fat.

"Beberapa orang besar sangat sehat; ada orang yang tergolong kategori obesitas, tapi berlari di maraton."

Ruggs melakukan penelitian untuk menentukan apakah orang-orang kelebihan berat badan menghadapi diskriminasi di pekerjaan ritel sebagai pencari kerja atau sebagai konsumen.

Pria dengan berat badan normal terlebih dulu mengunjungi toko-toko dan tampil seperti dirinya sendiri, lalu kemudian ke toko lain mengenakan prostetik lapisan prostetik di badannya.

Ruggs menemukan bahwa pria-pria yang tampak kelebihan berat badan mengalami "diskriminasi interpersonal", artinya lebih banyak bias dalam ekspresi halus.

Para penjaga toko yang berinteraksi dengan mereka lebih sedikit tersenyum, lebih jarang melakukan kontak mata, berdiri lebih jauh, dan berusaha untuk mengakhiri interaksi lebih cepat daripada dengan pria berbadan tubuh normal.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan obesitas menghadapi diskriminasi lebih sering daripada pria obesitas.
Ilmuwan di University of Exeter menemukan bukti bahwa hanya karena kelebihan berat badan, seorang perempuan berkurang kesempatannya dalam hidup, termasuk mendapatkan pemasukan yang lebih rendah.

Mereka mempelajari 70 variasi genetik yang terkait indeks massa tubuh, menggunakan data dari 120.000 peserta di UK Biobank antara usia 40-70 tahun.

"Variasi genetik yang membuat perempuan lebih gemuk juga membuatnya sedikit lebih miskin," kata Tim Frayling, profesor genetik manusia.

Menurut penelitian, jika seorang perempuan lebih berat 6,3kg hanya karena faktor genetik, pemasukannya akan berkurang £1.500 per tahun (sekitar Rp24 juta lebih) daripada perempuan lebih kurus dengan tinggi yang sama.

Perempuan obesitas juga lebih sering mendapat pekerjaan yang lebih banyak aktivitas fisiknya dibanding perempuan dengan berat badan normal, seperti perawatan di rumah, pengolahan makanan dan penitipan anak, dan lebih sulit mendapat posisi yang melibatkan interaksi publik, menurut penelitian oleh Jennifer Bennett Shinall, asisten profesor di Vanderbilt University di Nashville, Tennessee.

Lebih jauh lagi, dia menemukan adanya "penalti upah obesitas" bagi perempuan gemuk jika dibandingkan dengan perempuan dengan berat badan normal.

Hal ini muncul sebagian karena pekerjaan yang membutuhkan aktivitas fisik cenderung memiliki bayaran lebih rendah daripada pekerjaan dengan interaksi publik, namun Shinall juga menemukan bahwa meski perempuan obesitas mendapat pekerjaan yang berinteraksi dengan publik, mereka mendapat gaji yang lebih sedikit daripada perempuan lain.

"Masyarakat sangat menekankan fokus pada penampilan perempuan, sehingga satu-satunya penjelasan yang bisa diberikan adalah diskriminasi berbasis selera," kata Shinall.

"Penerima kerja mungkin khawatir bahwa konsumen mereka melihat obesitas lebih tidak pantas terjadi pada perempuan daripada pada pria, dan ingin menyembunyikan perempuan obesitas dari pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan interaksi dengan publik."

Sumber: BBC Indonesia
Editor: Dardani