Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Terseret Kasus Pembunuhan Putri Mega Umboh

Sahrul Merana, Badan Sakit, Ekonomi Abruk, Anak Berhenti Sekolah
Oleh : ali/sn
Senin | 08-08-2011 | 08:36 WIB
sahrul_arefa.JPG Honda-Batam

Sahrul Harefa di gubuk derita. batamtoday/ ali

BATAM, batamtoday - Sahrul Harefa, salah seorang sekuriti yang terseret kasus pembunuhan Putri Mega Umboh, terancam masa depannya. Sejak berada dalam tahanan Polda Kepri, badan Sahrul sakit-sakitan, sementara keadaan ekonomi rumah tangga kocar kacir.

"Hancur hidup saya gara-gara masalah ini. Semua anak sudak tidak bisa sekolah lagi. Bahkan, untuk makan sehari-hari saja, saya sekeluarga dikasih adik ipar," ujar Sahrul di tempatnya menginap di Pemakaman Umum Tionghoa, Nongsa, Sabtu 6 Agustus 2011.

Sahrul Harefa (53) adalah satu dari tujuh sekuriti Perumahan Anggrek Mas 3 Batam, yang ditangkap dan ditahan, sekaligus ditetapkan sebagai tersangka pada kasus pembunuhan oleh penyidik Polda Kepri per 27 Juni 2011. Namun per 30 Juli 2011, Polda Kepri membebaskan tujuh satpam tersebut setelah mengabulkan permohonan penangguhan masa penahanan mereka.

Ketujuh sekuriti, termasuk Sahrul Harefa, terseret kasus pembunuhan Putri Mega Umboh, istri AKBP Mindo Tampubolon. Setelah hilang dari rumahnya pada Jum'at 24 Juni 2011, pihak kepolisian akhirnya menemukan Putri Mega Umboh (25) dalam kondisi tewas dibuang di semak belukar di kawasan Telaga Punggur, Batam, Minggu 26 Juni 2011.

Nasib tujuh sekuriti, begitu masuk tahanan, langsung kehilangan pekerjaan. Beban mereka semakin berat menyusul penderitaan fisik yang belum sembuh akibat penganiayaan yang dialami selama pemeriksaan.

"Istri saya telah menjual satu-satunya tanah dan rumah keluarga di Nias Selatan. Jika  tidak, istri dan lima anak saya tak bisa makan," keluh Sahrul Harefa.

Sekeluar dari tahanan, Sahrul tidak mampu bekerja yang berat-berat lagi. Soalnya, suami Ati Sari (40) ini mengalami sesak nafas akibat penganiayaan saat menjalani pemeriksaan oleh penyidik Ditreskrimum Polda Kepri.

Ayah lima anak ini mengaku, setelah bebas penangguhan dan menjadi tahanan kota, dadanya terasa perih dan ngilu-ngilu, bahkan untuk kerja yang berat tidak bisa lagi. Sesak nafas yang diderita setelah mendapat penyiksaan dari penyidik, tak dapat dikompromi.

Penasaran dengan penykitnya, Sahrul memberanikan diri untuk memeriksa kondisinya ke dokter dengan uang pinjaman. Dia mengatakan, tidak ada sama sekali bantuan oleh pihak Polda Kepri, pihak yang menyebabkan luka dalam pada tubuhnya dan kehancuran pada ekonomi keluarganya.

Serba susah. Mau kembali ke kampung halaman di Teluk Dalam, Nias Selatan, juga percuma. Di sana sudah tak ada rumah tinggal. Satu-satunya rumah orang tuanya telah dijual. Orang tua Sahrul sudah menjualnya untuk ongkos ke Batam.

"Mamak saya sekarang bersama kami di sini. Harta benda di kampung sudah habis terjual, bahkan rumah dijual cepat seharga Rp 8 juta untuk ongkos ke Batam, supaya berjumpa dengan saya," tutur Sahrul dengan mata berlinang.

Badan sakit-sakitan dan ekonomi ambruk, membuat Sahrul kian terhempas. Yusfan Harefa (20), anak pertama pasangan Sahrul dan Ati Sari yang bersekolah di salah satu SMK Negeri Teluk Dalam, Nias Selatan, tak dapat melanjutkan sekolah. Adik-adik Yusfan yang juga bersekolah di Nias Selatan, yakni Faisal (13) di SMP dan Lisnawati (12) di Madrasah Tsanawiyah Negeri, bernasib sama, berhenti sekolah.

Gara-gara polisi bertindak asal tangkap dan asal tahan terhadap Sahrul, kondisi Sahrul sakit-sakitan karena dianiaya polisi sementara pekerjaannya sebagai sekuriti hilang sudah. Akibatnya, kini keadaan Sahrul menganggur dengan menahan sakit yang dideritanya. Dan, lebih celaka lagi, anak-anak Sahrul terpaksa berhenti sekolah, termasuk anak keempat Sahrul, Arsan (7), yang bersekolah di salah satu SD di Batam.  

Sahrul sebenarnya punya rencana menyekolahkan anak-anaknya itu di Batam. Tetapi dia tak berani melanjutkannya begitu melihat biaya masuk sekolah itu mahal. "Saya sempat tanya di salah satu sekolah swasta di sini (Nongsa --red). Untuk satu anak, saya harus mengeluarkan biaya masuk sebesar Rp 3 juta lebih. Kalau di Nias, uang segitu semuanya sudah dapat sekolah, termasuk lengkap dengan pakaian seragam, buku dan uang iuran per bulan," katanya.

Sahrul dan keluarganya berharap kepada polisi sebagai pengayom masyarakat, khususnya Polda Kepri, yang telah menyebabkannya sakit dan ambruknya ekonomi keluarga ini, agar membantu pengobatan dan mencarikan kerja yang layak.

"Kalau dicarikan kerja sama Pak polisi mau sekali saya. Karena selain pengobatan, pekerjaan juga kami butuhkan. Karena tidak mungkin selamanya kami sekeluarga menyusahi adik ipar," ucap Sahrul, yang menyebutkan adik iparnya hanya bekerja sebagai penjaga kuburan.