Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Revolusi Akhlaq vs 'Operasi Gatot'
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 16-11-2020 | 14:04 WIB
A-HANG-MUCHID7.png Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

MERAKIT-ELABORASI istilah Revolusi Akhlaq (RA) disandingkan dengan "Operasi Gatot" (OG) seolah-olah kontradiktif (berlawanan). Penyandingan adalah sebuah keniscayaan akhir zaman dalam konteks memaknai dua kata berlawanan, tetapi sebenarnya berpasangan.

Berlawanan dalam berpasangan serta saling melengkapi. Umpanya, bagaimana siang tanpa malam, rindu tanpa benci, hitam tanpa putih, jahat tanpa baik, dan seterusnya.

Bersumber dari yang berlawanan, namun saling melengkapi, maka perlu penjelasan ihwal RA dan hubunganya dengan "OG". Revolusi Akhlaq adalah reinterpretasi makna revolusi yang disembunyikan.

Sehingga RA disebut juga dengan Revolusi Tersembunyi. Revolusi ini sangat strategis menggugah anak negeri mengenal kekuatannya sendiri. Revolusi Tersembunyi dapat pula dimaknai sebagai perlawanan yang bersumber pada nurani nan sakral.

Oleh karena itu, maka wajar jika sumber Revolusi Tersembunyi sengaja untuk disembunyikan. Revolusi Tersembunyi dalam konteks kekinian dimaknai dengan Revolusi Akhlaq. Dalam bahasa prilaku diistilahkan dengan perubahan karakter secara cepat dari "jahat menjadi baik", misalnya.

Sementara "Operasi Gatot", kata operasi bersanding mesra dengan nama panggilan orang yang sedang populer, tentu saja jangan disalahtafsirkan. Operasi biasanya berhubungan bidang kedokteran. Selalunya juga berkaitan dengan kata ruang. Ketika diimplementasikan menjadi ruang operasi.

Pada siatuasi lain operasi juga dapat dilakukan dalam peperangan. Operasi Seroja, misalnya. Operasi dalam konteks ilmu kecerdasan (intelijen), tentu saja akan dimaknai secara khusus dan berbeda. Kata "Operasi Gatot" dalam tulisan ini menunjukkan suatu tindakan yang dlakukan untuk menghalang-halangi upaya berlangsungnya perubahan cepat (revolusi).

BACA: Orang Suci Atau Orang Jujur

Bersandar pada penjelasan makna RA dan OG, tampak jelas walaupun berlawanan namun tetap berpasangan. Artinya, walaupun upaya kebaikan secara terus-menerus dilakukan, secara simultan dalam waktu bersamaan penghalangan akan tetap dijalankan. Begutulah realitas RA versus OG.

Berupaya menelaah hubungan keduanya, hemat Saya berpijak pada episenterum yang besandar perdekatan Qurani. Sehingga hubungannya terintegrasi berdasarkan keberadaan RA sebagai upaya penyadaran. Sandaran Qurani setidaknya mengargumentasikan dua perubahan cepat dalam konteks aktual kekinian.

Pertama, untuk saling menasehati memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Kedua, saling menasehati untuk memperjuangkan nilai-nilai kesabaran. Esensi keduanya dalam memperjuangkan kebenaran secara konsisten dilakukan dengan kesabaran.

Ini disebabkan dalam memperjuangkan kebenaran dipastikan, tetap saja terdapat berbagai halangan. Begitulah dinamika yang merefleksikan akhir zaman.

Pertama, menashati dalam kebenaran. Upaya ini tentu saja dengan berakhlaq hanya kepada Allah. Esensinya dengan bertauhid (satu tuhan, tidak mempersonifikasi dengan pagan, benda apalagi materi), tidak mendua, mentiga atau meniadakan-Nya.

Dalam konteks kekinian, RA dapat merubah secara cepat karakter kekuasaan yang "berimankan" rente jabatan, modal cepat, pemburu utang, fanatik investor, misalnya. Sehingga prilaku (karakter) model ini hanya memupuk ubud dunia yang bertendensi “mentuhankan para investor, pemodal, cukong, dan para atasan.”

Esensi nasehatnya dalam konteks kehidupan bernegara, tentu kepada mereka yang berupaya menasehati, tidak dianggap justru sebagai pengacau atau dinilai perusak kedamaian.

Reintropeksi dalam konteks saling menasehati antara ulama dan pengelola pemerintahan negara menjadi penting. Walaupun pada realitasnya upaya menasehati tetap berlangsung, namun bersamaan penghalangan akan tetap dilakukan.

Kedua, menasehati dalam kesabaran. Sabar dalam konteks kekinian untuk saling menasehati antara ulama dan pengelola pemerintahan negara, keberadaan ketauladanan menjadi variabel signifikan. Rasulullah adalah sebagai tauladan yang baik merupakan identifikasi empirik jika RA diperlukan ketauladanan.

Pertanyaannya: apakah masih ada di negeri ini dalam konteks kekinian yang perlu diteladani, ketika watak hedonisme (ubud dunia) sedang merajalela?

Berdasarkan pada episenterum Qurani untuk saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, tentu saja masih ada. Apalagi jika kemaslahatan umat indikatornya. Boleh jadi banyak kalangan yang belum menyadari jika kehadiran sosok yang diteladani berasal dari “amanah umat” kepada seseorang sedang akan berproses.

Pertanyaan pentingnya, tentu saja, variabel apa (apa indikatornya) sehingga umat (khalayak umum) memberikan amanah kepada sosok personal tersebut? Jawabannya tentu saja, mustahil ditanyakan kepada mereka yang sedang berkuasa, melainkan kepada umat.

Berpijak pada episentrum Qurani untuk saling menasehati dan bersabar, karakter zalim yang selama ini dipertontonkan oleh mereka yang sedang berkuasa menjadi penting untuk intropeksi.

Prilaku cinta dunia yang berlebihan sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah jawaban jika umat (khalayak umum), memerlukan sosok yang dianggap amanah. Pada konteks ini semakin tampak hubungan RA dan OG dalam lanskap akhir zaman yang menandai realitas jika negeri ini sedang dalam krisis akhlaq yang berafiliasi menjadi krisis ketauladanan.

Lalu dalam realitas krisis yang sedang menyulut tersebut, jika ada seseorang yang mengatakan bahwa, "setiap melakukan operasi belum pernah gagal". Pertanyaannya: apakah istilah "Operasi Gatot", kependekan dari "gagal total" alias Gatot untuk menghalang-halangi Revolusi Akhlaq juga bagian dari keberhasilan?

Wallahualam bissawab. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.