Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Orang Suci Atau Orang Jujur
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 09-11-2020 | 14:04 WIB
A-HANG-MUCHID6.png Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

WALAUPUN tidak seheboh pimilihan presiden (Pilpres) di negerinya Bung Obama, istilah Orang Suci sempat diangkat menjadi tema diskusi di beberapa media, khususnya media sosial juga tv yang berbasis online. Terlepas hiruk-pekak hasil Pilpers tersebut, menjadi penting istilah 'Orang Suci' untuk disandngkan dengan istilah 'Orang Jujur'.

Esai akhir zaman berupaya merakit-elaborasi istilah 'Orang Suci' dengan menyandingkannya dengan istilah Orang Jujur. Petanyaaan utama wajib diajukan dalam konteks penyandingan tentu saja: masih adakah 'Orang Suci' di akhir zaman?

Berakhirnya syiar Rasulullah Muhammad Saw, pertanda kekinian adalah rentang waktu penantian yang disebut akhir zaman. Setelah sahabat, tabiin, dan seterusnya sebagai pewaris penyampai kebenaran adalah para ulama, pewaris nabi.

Referensi Qurani memberi rujukan jika ulama adalah pewaris nabi. Dalam konteks pewaris nabi untuk menyuarakan kebenaran ini yang di akhir zaman menghadapi tantangan dengan berbagai fenomena yang mengiringinya.

Oleh karena itu, istilah 'Orang Suci' tidak berbanding lurus dengan 'pewaris para nabi'. Perbandingannya sangat tergantung berdasarkan realitas sosial-religius masyarakatnya.

Sejauh ini, untuk konteks negeri ini terkait dengan kesucian, bukan istilah Orang Suci yang banyak mengemuka, melainkan bulan suci. Artinya bulan suci ramadan. Kesucian yang dimaknai pada sandaran nama bulan dalam kalender Islam.

Menurut hemat Saya, istilah Orang Suci, tidak berbanding lurus dengan bulan suci. Dalam konteks Orang Suci ini, hanya berbanding lurus (berkaitan langsung) dengan seorang pemimpin, bisa pemimpin organisasi keagamaan, pemimpin politik kenegaraan atau juga pendapat-persepsi orang perseorangan (seseorang) kepada pemimpinnya.

Hampir tidak ditemukan di akhir zaman, Orang Suci bersandarkan pada realitas personal kemandirian, tanpa berhubungan dengan keorganisasian. Realitas ini didukung sejarah yang menceritakan keberadaan orang-orang suci diberbagai belahan dunia.

Berdasarkan argumentasi ihwal Orang Suci di belahan dunia, menurut Saya penting untuk ditelaah-cermati adalah istilah 'Orang Jujur'. Ihwal kejujuran ini penting oleh karena mempunyai hubungan signifikan dengan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Seperti juga Orang Suci, maka pertanyaanya: masih adakah orang jujur?

Diandaikan saja pertanyaan tersebut dihubungkan dengan negeri ini, misalnya. Maka pertanyaannya perlu ditambah: masih adakah orang jujur di negeri ini? Kehidupan yang banyak diklaim sebagai zaman moderen dengan berbasis filosofis materialistik, hampir dipastikan menjadi simalakama untuk menjawabnya. Andaiannya lima puluh-lima puluh (fifty-fifty) adalah jawaban normal.

Pola hidup hedonis bersandarkan penguasaan materi sebagai indikator keberhasilan banyak orang berpendapat mustahil masih ada Orang Jujur. Ini dialtari dengan banyak istilah yang mengemuka dalam konteks kejujuran. Misalnya pernyataan, "Jangankan yang halal, yang haram saja susah".

Pernyataan tersebut populer sejak zaman orde baru yang dikumandangkan oleh seorang dai kondang sebagai sindirian penting jika mencari Orang Jujur sangat langka di negeri ini.

Cara pandang materialistik (keberhasilan berindikator materi semata) yang menggejala telah menseduksi alam bawah sadar kebanyakan orang untuk mengamalkannya. Dampak negatifnya orang menjadi tidak yakin jika jujur dapat bertahan hidup.

Faham ini sukses menjadikan pembangunan yang selalu diasosiasikan sebagai penguasaan materi. Dalam versi lain, materi yang dikenal dengan sebutan proyek. Yang berkonsekuensi pada setiap membangun fisik (bangun jalan, jembatan atau lainnya) yang mengemuka selalu instrumentasi berupa fee (rente) yang didapat.

Istilah kerennya, "bagi-bagi proyek" atau 'persentase buat saya berapa'. Bukan keberhasilan daya ketahanan jalan atau jembatan yang dibangun.

Sederhananya belajar dari istilah 'Orang Jujur', menurut hemat Saya untuk konteks negeri ini, paling tidak dapat didentifikasi melalui upaya penyogokan (rasuah) untuk melawan penempatan "pemimpin boneka" secara sistematis, terstruktur, dan massif yang bersandar kapitaslitik (modal sogok).

Paling tidak keberhasilan menolak upaya rasuah dengan angka triliunan (satu triliun), untuk tetap konsisten (istiqomah), indikator karakter 'Orang Jujur'. Penolakan ini adalah satu-satunya parameter untuk sementara sebagai pengklasifikasi bahwa masih ada 'Orang Jujur'.

Jangan lupa sejarah, hampir semua kerusakan negeri berasal dari pengamalan budaya rasuah, sogok-menyogok yang mewabah. Belajar dari 'Orang Jujur', bukan 'Orang Suci', dimulai dari konsistensi.

Oleh karena itu jika angka (nilai) secara kuantitas sudah tidak menjadi ukuran berpangkalkan sikap konsisten adalah bukti masih ada 'Orang Jujur'. Berpangkal sikap konsisten ini pula, wajar manakala 'Orang Jujur' tersebut menjadi panutan umat apalagi jika seseorang bergelar ulama. Inheren panutan yang sama juga berlaku jika seseorang tersebut adalah pimpinan sebuah organisasi.

Belajar dari legasi bapak bangsa Singapura, Lew Kuan Yew yang pernah menolak rasuah (sogok) dari CIA (lembaga kecerdasan Amerika) era 60-an, betapa penting mentalitas anti sogok. Karakter anti sogok ini yang menjadi aksiomatis penentu keberhasilan negeri kecil nan elok pada segala bidang pembangunan.

Berlatar legasi bapak bangsa, maka mendukung 'Orang Jujur' nan langka di akhir zaman adalah penting bagi umat. Pesan penting ini merepresentasikan keinginan, nasihat dan pengingat umat kepada pengelola pemerintahan negara. Belajarlah kepada 'Orang Jujur', selagi 'Orang Suci' belum ditemukan. Jangan sampai 'Orang Jujur' ditindas yang hanya akan berimplikasi pada: revolusi akhlaq atau revolusi doa.

Revolusi doa tentu saja sesuai nasihat seorang ustadz kondang yang mengingatkan kepada umat untuk berhati-hati memboikot produk Prancis. Doanya: semoga jangan asal boikot.

Ingat, walaupun marah dan tersinggung, jangan lupa: bagaimana nantinya jika "produk mobil Esemka" karya handal kebanggaan anak negeri juga diboikot Prancis?

Wallahualam. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.