Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Perintah Atasan vs Cukong
Oleh : Oleh DR Muchid Albintani
Selasa | 22-09-2020 | 14:04 WIB
A-HANG-MUCHID.png Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

IHWAL istilah Perintah Atasan, sepintas merupakan sesuatu yang biasa. Namun, manakala Perintah Atasan dilawan-sandingkan dengan istilah Cukong, hemat Saya menjadi sesuatu yang luar biasa.

Betapa tidak, berdasarkan berita trending belakangan ini, keterlibatan cukong pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) sesuai pernyataan seorang pejabat negara yang semula 92 persen, diubah (dilarat) menjadi 82 persen. Ruar biasa. Tiada Pilkada, tanpa Cukong.

Esai akhir zaman tak hendak mempersoalkan ralat yang berkurang sepuluh persen, melainkan hubungan berupaya meneroka-telaahi ihwal hubungan 'Perintah Atasan melawan Cukong' disingkat menjadi PAC (PA+C). Saya meyakini hubungan keduanya jarang diungkap-terokai oleh banyak kalangan.

Ini disebabkan Perintah Atasan berkelid-kelindan dengan kegiatan pemerintahan dan kenegaraan (pemerintahan-negara). Susah untuk menolak anggapan jika Perintah Atasan dominan yang menurut UUD 1945 berhubungan dengan pemegang kekuasaan pemerintahan (negara). Dalam bahasa empiriknya sebagai eksekutor (pengeksekusi).

Yang dalam politik-ketatanegaraan diasosiasikan sebagai kepala pemerintahan juga sekaligus kepala negara. Dalam konteks pemerintahan di pusat disebut presiden. Sementara untuk konteks daerah provinsi disebut gebernur, kabupaten disebut bupati, dan kota adalah walikota.

Bagaimana praktiknya di lapangan, Perintah Atasan mempunyai konsekuensi menentukan keberadaan dunia (bumi) di akhir zaman. Praktiknya adalah Perintah Atasan berhubungan dengan seorang prajurit.

Tanpa alasan jelas, tiba-tiba seorang 'Atasan' memerintahkan menembak dari pesawat, kapal laut, kapal selam, dan mobil dengan senjata nuklir. Perintah tembak berasal dari tiga negara.

Misalnya, negara A ke C, negara C ke R, dan sebaliknya negara R ke A atau ke C. Lalu apa jadinya jika negara itu ketibanan akibat dari saling serang senjata nuklir? Kiamat!

BACA: Bawahan vs Atasan

Praktinya lainnya, ihwal Perintah Atasan untuk membunuh (menghabisi seseorang). Jejak digital perintah membunuh, misalnya salah seorang aktivis HAM di Indonesia (7/9/2004) dengan metode diracun (arsenik).

Perintah lainnya, pembunuhan wartawan warga Arab Saudi di Turki (2/10/2018). Seorang aktivis dan wartawan, sama-sama dibunuh, walaupun metodenya berbeda. Sang aktivis HAM dengan racun, sang wartawan dimutilasi. Lalu persamaannya apa? 'Perintah Atasan'?!

Berdasarkan kedua peristiwa aktual dan kontekstual (memerintahkan menembak dengan nuklir, dan membunuh) tersebut, hemat Saya ihwal hubungan Perintah Atasan dengan Cukong penting untuk dicermat-telaahi. Mengapa penting, argumentasinya dilatarbelakangi hubungan Perintah Atasan dengan Cukong memiliki sinyaleman yang menghasilkan beberapa teorema.

Pertama, atasan mandiri. Seorang atasan yang tidak memiliki ketergantungan logisnya akan mandiri. Praktiknya dalam pemerintahan negara atasan yang mandiri boleh dikatakan jarang ada.

Apalagi ketergatungan dari peran cukong. Dalam konteks kekinian dapat dimaknai jika kemandirian wajib didukung minimal dua hal. Pertama, kemandirian karena sebagai pemilik partai yang juga sekaligus pengusaha kaya (konglomerat).

Kedua, atasan merangkap cukong. Realitas dalam pemerintahan negara, karakter penguasa yang merangkap cukong, sampai sekarang belum ada pengalaman di negeri ini seratus persen.

Dalam bahasa lain, jika ada tidak murni (tidak seratus persen). Sebab, jika pun ada (seratus persen), akan melahirkan penguasa yang berprilaku anarki, otoritarian dan oligarkis.

Walaupun begitu, jika terdapat ketua partai yang juga pengusaha, kemudian mendapat jabatan dalam kekuasaan, maka paling banter hanya terindikasi yang tidak sampai seratus persen.

Ketiga, atasan mengendalikan cukong. Prilaku praktik atasan yang dapat mengendalikan cukong, tampaknya mustahil terjadi. Esensi demokrasi jika dimaknai secara bijak: dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat terkesan mendekati, walaupun dinilai mustahil.

Misalnya mustahil untuk jujur dalam pemerintahan negara yang pemilihannya 82 persen direcoki cukong. Perumpamaan direcoki Cukong terpragmentasi dengan moto hidup: 'bukan rajin pangkal kaya, melainkan jujur mustahil bertahan hidup'.

Keempat, atasan dikendalikan cukong. Realitas hubungan ini dinilai sangat minimalis contohnya. Sederhananya, seseorang tidak mempunyai atau pimpinan partai, pengusaha kaya juga bukan, tetapi dapat menjadi atau duduk sebagai atasan.

Realitas menjadi atau duduk inilah yang selalu dikelid-kelindankan dengan sebutan 'atasan boneka'. Beraltar dari sebutan ini pula, maka atasan yang dikendalikan Cukong, menolak istilah 'Pemimpin Boneka'. Artinya, tidak ada Pemimpin Boneka, melainkan 'Atasan Boneka'.

Kelima, cukong mengendalikan atasan. Inilah realitas akhir zaman yang jarang diketahui. Selalu tersamar. Berupaya disembunyikan. Atau bahasa milenialnya 'Atasan Konspirasi'.

Dalam konteks ini, esai akhir zaman perlu menstimulasi diskusi publik ihwal Atasan Konspirasi. Terkait atasa model ini, maka perlu diupayakan semaksimal mungkin pendidikan politik. Pengupayaannya dilakukan dengan terstruktur, sistematis dan masif, meminjam istilah populer Mahkamah Konstutusi (MK).

Hemat saya, pengupayaan ini sebagai lawan tanding yang dilakukan para konspirator. Ini disebabkan Atasan Konspirasi merefleksikan syair lagu pertama, populer klasik, dan kedua, kekinian.

Pertama, "Bukan lautan, hanya kolam susu. Kayu dan joran cukup menghidupimu, dan seterusnya."

Kedua, "Seperti hidup di negeri dongeng, tanah subur rakyat nganggur. Sawah rakyat digusur, tanam padi tumbuh pabrik. Tanam jagung tumbuh gedung. Tanam modal (bukan investasi ya), tumbuh korupsi, dan seterusnya."

Pertanyaannya: Berdasarkan sinyalemen teorema hubungan tersebut dari kelimanya, yang mana menjadi pilihan tanpa dipilih, dan sedang berlangsung? Wallahualam bissawab. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.