Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Bawahan vs Atasan
Oleh : Oleh DR Muchid Albintani
Senin | 14-09-2020 | 14:04 WIB
MUCHID-TANJAK.png Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

ISTILAH 'bawahan melawan atasan', dan atau bawahan 'boleh membunuh' atasan menjadi penting dicermat-telaahi. Walaupun tidak trending, membahas topik ini menjadi penting oleh karena terkait langsung dengan istilah 'pengkhianatan atasan'.

Altar tema 'bawahan melawan atasan' merupakan pernyataan yang mengemuka berasal dari seorang mantan jenderal. Hemat Saya, pernyataan ini berhubungan dengan sesuatu yang sungguh sangat sakral.

Bahkan amat sangat sakral karena berdimensi (mempunyai hubungan signifikan) dengan Pancasila (dasar negara). Kata dasar negara yang selalu dimaknai menjadi ideologi ini pula faktor penyebab ihwal bawahan 'boleh membunuh atasan', manakala sang atasan mendukung untuk mengubah dasar negara.

Boleh saja ihwal 'bawahan melawan (vs) atasan' banyak orang yang tak peduli, meremehkan, samahalnya seperti awal yang terkesan mengabaikan dampak dari pandemi C-Songolas.

Bukti survei juga menunjukkan jika kepedulian terhadap C-Songolas, sungguh perlu ditingkatkan. Tidak keliru, buktinya Gubernur DKI Jakarta kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), mulai hari ini, Senin, 14 September 2020.

Beraltar ketakpedulian umum, esai akhair zaman menggarisbawahi dua tesis penting: mengapa pernyataan 'bawahan melawan atasan' ini perlu untuk dicermat-telaahi.

BACA: Intoleran-Serakah?

Pertama, bawahan melawan atasan berdimensi hubungan DNA (biologis) dengan dasar negara (Pancasila). Mengkilas-balik pernyataan seorang mantan jenderal yang 'turun gunung' meninggalkan hidup mapan karena menilai terdapat upaya 'sekelompok orang' yang ingin mengubah Pancasila sebagai dasar negara, tentu saja patut diapresiasi. Apalagi cara mengubahnya diupayakan dengan modus terstruktur, terorganisir dan sistematis. Sehingga, memunculkan alibi mengubahnya 'seolah-olah konstitusional'.

Tesis 'bawahan melawan atasan' berdimensi hubungan DNA dengan dasar negara, hemat penulis, seharusnya tidak perlu terulang kembali. Alibi upaya mengubah dasar negara Pancasila yang seolah-olah konstitusonal jika tanpa perlawanan sengit dan konsisten, tentu saja akan berdampak signifikan terhadap keberadaan NKRI hari ini, dan masa depan.

Sejarah mencatat ihwal modus seolah-olah ini hanyalah pengulangan sejarah yang keliru, dan tidak perlu terjadi. Apalagi Pancasila yang sudah disepakati menjadi produk bersama, mengapa harus dinodai dengan ego yang terafiliasi pada keluarga tertentu? Yang seolah-olah Pancasila adalah produk personal. Sehingga keseolah-olahannya, tesis 'bawahan melawan atasan' berdimensi hubungan DNA menjadi terbukti.

Kedua, 'bawahan melawan atasan' berdimensi prilaku berkhianat dengan DNA (biologis). Berklindan dengan tesis pertama, tesis kedua jika konteks Pancasila diklaim sebagai produk dan milik keluarga, tentu boleh-boleh saja.

Sebagai bangsa besar, yang tidak akan melupakan jasa besar para pahlawannya, tidak keliru jika Pancasila adalah ramuan yang berasal dari ide salah seorang personal.
Yang menjadi tidak arif nan bijak, manakala terdapat upaya para pihak yang sedang berkuasa kebetulan memiliki hubungan garis biologi (DNA) dengan personal tersebut, mengklaim-ulang lalu berupaya memonopolinya.

Mencermati penjelasan tersebut, Saya berharap tesis kedua tidak terbukti. Bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara pengkhianatan dengan DNA. Belajar dari jejak sejarah pengkhianatan salah satu organisasi politik tahun 1926-27, 1948, dan 1965, idealnya tidak perlu terulang kembali.

Sehingga segala upaya pengulangan sejarah proses pengkhianatan masa lalu, hari ini maupun masa depan terkait hubungan DNA dengan dasar negara adalah zero (nihil).

Dari sini, esai akhir zaman berupaya menstimulasi agar bawahan (jika dimaknai prajurit) berani untuk melawan ketidakbenaran (pengkhianatan) atasan (jenderal).
Inilah sesungguhnya pesan esensi sebuah pernyataaan dari seorang jenderal yang peduli pada bangsa, negara dan agamanya. Bukan mantan atau jenderal yang hipokrit, enuh ambisi dan haus kekuasaan.

Pertanyaannya: apakah upaya 'mengubah dasar negara' adalah bagian dari jastfikasi hubungan pengkhianat dengan DNA? Wallahualam bissawab. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.