Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Intoleran-Serakah?
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 07-09-2020 | 14:04 WIB
A-MUCHID-KORPRI4.png Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

HIRUK-PEKAK memerahkan telinga ihwal berita tak menyenangkan terus saja menggema-gemuruh di negeri tercinta ini. Sehingga orang boleh berpendapat seolah-olah muatan beritanya sudah diskenariokan: agar anak bangsa negeri ini gaduh terus-menerus.

Beraltar seolah-olah inilah esai akhir zaman menjemput bola memilih-milahnya menjadi dua berita trending untuk diulas-telaahi.

Pertama, ihwal gugatan tokoh nasional terkait uji ambang batas (threshold) dua puluh persen persyaratan pemilihan presiden. Kedua, pernyataan yang dinilai kontroversi ihwal 'pintu masuk (penyusupan) radikalisme' pada kalangan ahli ibadah (penghafal Al-quran) oleh seorang petinggi negara.

Ihwal kedua berita trending ini hemat Saya terakumulasi menjadi diksi intoleran dan serakah: Intoleran-Serakah. Perpaduan kedua diksi sangat kontekstual, aktual dan reaktual terkait beragam peristiwa kelu dan kekinian yang menimpa bangsa ini. Istilah konteks [tual], dan reak [tual] adalah determinasi melodrama kehidupan kenegaraan [bernegara] sebuah bangsa yang katanya besar ini.

Altar pengajuan ambang batas dari dua puluh persen menjadi nol pesen ini mengesankan susahnya menghasilkan negarawan di tengah era reformasi dua puluh tahun terakhir ini.

Realitas esensi yang belum disadari adalah akan pentingnya kehadiran negarawan di negeri ini. Sepanjang sejarah peradaban bangsa selama hampir 75 tahun kemerdekaan, tidak ada negarawan yang berada di depan menuntun.

Tidak dinafikan yang ada hanya para penguasa republik. Para penguasa sesuai banyak pendapat baru mampu sebatas mengkonstruksi patron-klien hasil kolaborasi antara para kontestan dalam institusi partai dengan para bandar (cukong) sebagai penyandang dana.

Oleh karenanya, tidak keliru jika altar gugatan dilatarbelakangi niat baik untuk tidak toleran (intoleran) terhadap konstruksi tersebut.

Bersandar pada realitas bangunan patron-klien itulah esai akhir zaman menjadi penting menelaah-cermati ihwal Intoleran-Serakah.

BACA: Dinasti vs Jasmerah

Belakangan istilah intoleran menjadi trendi sekaligus seksi yang dalam bahasa intelijen [kepintaran intelektual] adalah peruntuh moral. Istilah intoleran tersemat yang dengan sendirinya terdiseminasi menseduksi alam bawah sadar terhadap upaya nahi-mungkar.

Yang teranyar selain ingin menimimalisir keserakahan oligarki partai (dari ambang batas 20 persen menjadi nol persen), juga ihwal radikalisme yang dituduh akan menyusup melalui penampilan bagus atau bagus dilihat (good looking) oleh para penghafal Alquran. Para penghafal dituduh sebagai pintu masuk radikalisme. Begitulah banyak tafsir yang umum mengemuka merespon pendapat sang petinggi negara.

Menurut hemat Saya, penjelasan tersebut merupakan sandara argumentasi yang menjadikan benang merah terkait perlu dikemukakannya istilah Intoleran-Serakah. Istilah ini esensinya dimaknai jika keserakahan itu tidak boleh ditoleransi.

Istlah intoleran sebagai lawan dari istilah toleran, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai 'bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri'.

Berpandu pada penjelasan istilah toleran tersebut, tampaknya para intoleran dalam hubungan berita pilihan: ambang batas 20 persen, dan tuduhan pintu masuk radikalisme mudah diidentifikasi.

Pertama, terkait ambang batas, tentu saja amat sangat diharapkan para hakim di Mahkamah Konstitusi (MK), bijaksana mengerti ihwal toleransi yang dimaksud. Mengerti dimaksudkan dapat menghindari semaksimal mungkin muncul-mencuatnya prakik demokrasi kriminal.

Adalah sekali lagi sangat arif nan bijak manakala para negarawan hakim mahkamah, tidak membatasi hak konstitusional personal (orang per orang) untuk dicalonkan menjadi kepala pemerintahan negara (Presiden).

Ini samalah artinya ketika mahkamah memberikan peluang siapa saja untuk (berhak) menjadi kepala daerah yang sebelumnya dikenal sebagai politik dinasti (nepotisme) yang sempat dilarang.

Kedua, para petinggi negara semakin sadar akan keyakinan jika toleransi, bukan untuk dimonopoli. Pengalaman para petinggi institusi kepartaian yang intoleran dengan cenderung membangun sistem oligarki dapat menjadi iktibar.

Berbaik sangka dengan menghindari campur tangan para pemodal (cukong) dalam proses pemilihan kepala pemerintahan negara adalah sikap kesatria yang Pancasilais. Ini sama artinya atau dapat dimaknai berupaya maksimal menghilangkan wasangka jika hasil pemilihan ('pemimpin terpilih'): Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota bukanlah boneka. Maksudnya, bukan boneka cukong apalagi boneka asing.

Menurut hemat penulis Intoleran-Serakah adalah tidak mentoleransi keserakahan. Sebagai refleksi akhir zaman, dapat dimaknai jika Intoleran-Serakah adalah jalan lurus (shirathal mustaqim) yang wajib diikuti.

Sebab sudah menjadi sebuah aksiomatis jika keserakahan akan melahirkan kezaliman. Keserakahan dan kezaliman dalam praktik penyelenggaraan negara adalah benih potensi tumbuh, subur dan berkambangnya korupsi.

Oleh karenanya istilah Intoleran-Serakah inilah yang memantik keingintahuan hubungan dalam konteks akhir zaman. Esensinya dapat dimaknai jika karakter Intoleran-Serakah adalah sebuah peristiwa akhir zaman bagi Indonesia yang tidak dapat ditolak.

Pertanyaannya: Mengapa tidak dapat ditolak? Apakah karena Intoleran-Serakah adalah sebuah keniscayaan? Wallahualam bissawab. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.