Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Dinasti vs Jasmerah
Oleh : Oleh DR Muchid Albintani
Senin | 31-08-2020 | 14:04 WIB
A-MUCHID-KORPRI3.png Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

KEPALA daerah (bupati), seorang suami, dan ketua DPRD, seorang istri di Kalimantan (Borneo) ditangkap KPK. Penangkapan suami istri pejabat tersebut menjadi trending berita di media massa juga media sosial.

Berdasarkan jejak digital sepanjang sejarah, baru kali ini sepasang suami istri, keduanya pejabat bersamaan ditangkap. Wajar sempat beredar bisik-bisik yang mengemuka jika masalah bukan pada tertangkapnya, melainkan 'persoalan kedinastiannya': suami kepala daerah, dan istri ketua dewan perwakilan rakyat daerah.

Esai akhir zaman mencermat-telaahi ihwal penangkapan suami istri yang pejabat, tidak berupaya untuk gibah (membicarakan keburukan orang), melainkan sebagai iktibar menjelang pemilihan kepala daerah Desember mendatang.

Sangat koneksitas manakala diperkirakan jika perhelatan itu akan melibatkan para keluarga (dinasti). Jelang perhelatan politik pilkada inilah istilah Dinasti versi Jasmerah menjadi sensi sekaligus seksi.

Ihwal dinasti yang menjadi bagian penting dari identitas belakangan ini tak lakang dicermati sampai ke akhir zaman. Pertanyaan yang perlu dikemukakan tentu saja: mengapa ihwal Dinasti versi Jasmerah menjadi penting dicermat-telaahi?

Selain esensinya sebagai iktibar (pelajaran sejarah), menyambut perhelatan pilkada mendatang, dinasti (dinasti politik atau politik dinasti) adalah sebuah parodi: sang raja penguasa era republik demokrasi, dan presiden penguasa era kerajaan, monarki.

Padahal ihwal 'kekuasaan itu dengan cermin pun enggan berbagi adalah hukum besi sejarah'. Hukum yang mempertegas penjelasan jika para 'pemburu atau pemabuk kuasa pasti serakah'.

Sementara ihwal Jasmerah (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), dipertegas menjadi jangan sakali-kali 'melupakan atau justru amnesia sejarah'. Kata meninggalkan dengan melupakan memberikan makna esensi terkait hubungan 'Dinasti versus Jasmerah'.

Hubungan tersebut identik parodi dinasti yang merupakan derivasi dari gen (DNA) yang berafiliasi kepada seseorang yang masih berhubungan darah (keluarga), kakek, bapak, anak, cucu dan cicit.

BACA: Khalifah dan Bayan

Landasan konstitusional negeri ini tidak melarang hubungan ke-dinasti-an. Politik Dinasti yang mempertahankan, meneruskan atau mengganti penguasa kepada anak, cucu, cicit dengan cara demokrasi bukan persoalan. Begitu pun Dinasti Politik yang hanya memberikan hak kepada anak, cucu, dan cicitnya sebagai penguasa berdasarkan garis keturunan, seperti era kerajaan, juga bukan masalahnya.

Lalu masalahanya apa? Dalam konteks versus (lawan) antara Dinasti dengan Jasmerah inilah masalahnya. Jangan sampai melupakan, terbuai, lalai dan mabuk sejarah, karena ambisi kekuasaan. Dinasti melawan Jasmerah dimaknai tidak mabuk kekuasaan. Tidak mabuk adalah kata kunci esensi memahaminya.

Belajar pada masa lalu [orde lama, orde baru atau orde reformasi), menjadi stimulasi agar tidak amnesia (mabuk anggur) ihwal sejarah kedinastian. Belajar dari Orla, Orba dan reformasi, saat ini hanyalah reaktualisasi [pengulangan-anyar] yang bersimultansi [bersamaan-simetris] menjadi pengulangan yang akut [ibarat ungkapan, 'keledai masuk dalam lubang yang sama'].

Ini jikalau diumpamakan para 'pengembek dinasti' akan terseduksi amnesia sejarah. Tak terbayangkan jika kakek, bapak, anak, menantu secara simultan masuk ke dalam 'lubang yang sama' bernama hotel prodeo.

Berupaya mencermat-telaahi hubungan Dinasti dan Jesmerh dengan kekuasaan (pilkada) adalah berjalan linier, simetris, dan konkruen (bentukya sama dan sebangun). Oleh karena itu ihwal Dinasti versi Jasmerah jika dihubungkan dengan kekuasaan sampai akhir zaman tidak terdapat perbedaan esensi. Yang berbeda hanyalah cara manusia menyikapi dan penyebutannya saja.

Apalagi dalam konteks kenegaraan, anak-beranak, dan keluarga turut serta menjadi atau terlibat sebagai calon kepala daerah misalnya yang sama sekali 'dinilai tidak melanggar konstitusi'.

Justru sebaliknya, para pihak yang melarang adalah 'si jutek' penghalang keinginan anak-beranak ikut menjadi calon. Padahal mereka hanya menggunakan hak konstitusional untuk dipilih.

Pertanyaannya: apakah mereka ibarat pepatah, seperti keledai yang terjerembab ke dalam lubang yang sama? Atau hanya amnesia sejarah? Wallahualam bissawab. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.