Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Khalifah dan Bayan
Oleh : Oleh DR Muchid Albintani
Senin | 24-08-2020 | 14:04 WIB
A-MUCHID-KORPRI2.png Honda-Batam

PKP Developer

DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

ISTILAH khalifah yang merepresentasikan personal untuk kemudian menjadi khilafah dalam sebuah sistem (kekuasaan pemerintahan), belakangan ini istilahnya terkesan angker, menyeramkan, menakutkan.

Khalifah yang jika dicermati dalam referensi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) mempunyai beberapa arti yang salah satunya adalah penguasa. Istilah penguasa yang terkait kekuasaan juga dapat dimaknai yang dalam bahasa demokrasi disebut presiden, perdana menteri atau lainnya.

Dalam konteks personalitas istilah khalifah ini menjadi sensi, angker ketika dimaknai sebagai sistem pemerintahan atau khilafah diikuti kata Islam. Istilah khalifah dan khilafah dari akar kata yang sama merujuk makna etimologinya justru aneh dikesankan antipati justru pada sebuah negara yang "selalu mengklaim sebagai negara mayoritas muslim terbesar dunia".

Ihwal terbesar bukan karena jumlah persentasenya, melainkan secara kuantitas mayoritas di dunia dalam sebuah negara. Turki dan Pakistan, misalnya yang juga mayoritas secara persentase dalam sebuah negara, tetapi jumlahnya tidak terbanyak di dunia, seperti Indonesia.

Esai kahir zaman berupaya mencermat-telaahi hubungan konsep khalifah dan Bayan (Ilmu Bayan) di tengah angker, seram, dan sikap antipati terhadap istilah khalifah sepanjang delapan tahunan belakangan ini. Sukar dinafikan jika menyeruaknya kesan negatif terhadap istilah khalifah, tidak dilakukan secara terencana dan sistematis.

Mencermati realitas kesan negatif ihwal khalifah sungguh perlu direnungi. Sebagai upaya perenungan itulah arti penting menghubungkannya dengan Ilmu Bayan (Bayan).

Dalam konteks ini walaupun Bayan terdapat banyak pengertian, esai ini menitikberatkan penjelasan terkait fenomena hubungan hikmah dan peristiwa (ikatan antara prilaku dan konsekuensi yang berdampak negatif atau positif).

Dalam pengertian lain, Bayan dapat pula dihubungkan dengan pengungkapan terhadap makna majazi (perumpamaan dan analogi) dari sebuah istilah, kata atau konsep.

BACA: Identitas, Genealogi dan Dinasti

Beriktibar ihwal hikmah (dalam persepktif Ilmu Bayan), hemat saya terdapat tiga hal penting terkait hubungannya dengan istilah khilafah era rezim ini. Pertama, amat sangat minimya persatuan umat Islam (kaum muslimin) menghadapi 'isu kebangkitan komunisme' yang tidak sesuai dengan Pancasila.

Realitas ini merefleksikan pengulangan sejarah saja pada era tahun 1965-an. Padahal, kebangkitan umat yang akan menjadi bukti bahwa kemerdekaan merupakan berkat rahmat Allah yang maha kuasa, tidak yang lainnya.

Kedua, sebuah anugerah menjadi pembuktian jika 'bangkitya kekuatan komunisme' bukan hanya isapan jempol. Mengedepannya istilah kadal gurun, misalnya, susah dibantah jika 'kebangkitan komunisme tersebut tidak dapat dinilai bergerak secara terstruktur, sistematis dan tak terjangkau'.

Keberadaan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), walaupun ditolak dengan argumentasi makar ideologi Pancasila, dinilai benar-benar tak terduga. Realitas ini sekali lagi bukti jika di Indonesia, muslim (umat Islam), bukanlah yang terbesar di dunia. Pernyataan terbesar hanya merepresentasikan kuantitas, bukan kualitas.

Ketiga, dugaan bersatunya kekuatan yang mengkristal keberadaan 'kader-kader komunis' dalam wadah institusi baik politik dan non-politik menjadi sukar untuk dibantah. Rapuh dan mudahnya umat Islam sebagai mayoritas untuk dibenturkan (dipecah-belah) adalah hikmahnya. Ilmu Bayan mengajarkan jika pembenturan, akan melahirkan kesadaran pentingnya persatuan umat.

Berdasarkan ketiga hal utama hubungan khalifah dan Bayan adalah renungan akhir zaman dalam konteks tidak menjadi akhir Indonesia. Hikmah penolakan kata, konsep, atau istilah khalifah yang menjadi khilafah di negeri mayoritas muslim walaupun terkesan sebuah parodi, namun mempunyai hikmah yang luar biasa.

Pertanyaannya: mengapa proklamasi Indonesia menggunakan kata kami, bukan kita? Apakah kami yang dimaksud adalah umat? Atau sesungguhnya, kita hanyalah bagian dari mereka (bukan kami) yang menolak realitas makna khalifah dalam perspektif Ilmu Bayan? Wallahualam bissawab. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.