Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mesrawati: BPHTB Lambat Di Meja Gubernur
Oleh : Andri Arianto
Sabtu | 05-02-2011 | 12:04 WIB
Mesrawati_Tampubolon_(1).JPG Honda-Batam

Gubernur Lamban- Mesrawati Tampubolon, Anggota Komisi II DPRD Kota Batam menilai Gubernur Kepri lamban mengesahkan ranperda BPHTB.

Batam, batamtoday - Keterlambatan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPTHB) telah direvisi oleh DPRD Kota Batam. Namun pengesahannya tergantung percepatan evaluasi di meja Gubernur Kepri.

Mesrawati Tampubolon, Anggota Komisi II DPRD Kota Batam meyakini hal tersebut, sebab DPRD baru menerima salinan surat evaluasi dari Pemko Batam tertanggal 17 Januari 2011. Sedangkan hasil evaluasi yang diterbitkan Direktorat PDRB Kementerian Keuangan bernomor S-17/MK.7/2011 per tanggal 5 Januari 2011.

"Saya pikir ini lambatnya di meja Gubernur," kata Mesrawati menjawab  batamtoday di Batam, Sabtu 5 Februari 2011.

Meski demikian, Mesrawati dapat memastikan pengesahan dan implementasi kebijakan baru tersebut dapat dilakukan awal Maret seiring dengan masa alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Batam sesuai ketentuan.

Proses pemungutan BPHTB dipastikan Mesra tetap berjalan normal dengan asumsi pendapatan daerah 2011 sebesar Rp 125 miliar, dibandingkan tahun 2010 yang hanya Rp 98 miliar.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam saat ini tengah menunggu hasil evaluasi lanjutan dari pihak pemerintah pusat.

Proses revisi sendiri ditangani Komisi II bidang perpajakan dan ekonomi.

Wakil Ketua DPRD Kota Batam, Aris Hardi Halim menjelaskan pihaknya tengah melakukan revisi sesuai surat yang disampaikan Pemerintah Kota (Pemko) Batam nomor 05/SKL/HK/I/2011 per tanggal 17 Januari 2011 lalu soal hasil evaluasi ranperda yang diterbitkan Direktorat PDRB Kementerian Keuangan bernomor S-17/MK.7/2011 per tanggal 5 Januari 2011.

"Komisi II lagi fokus bahas soal itu, kita berharap cepat selesai, jadi dasar hukum pemungutan BPHTB yang baru jelas," kata Aris menjawab bisnis di ruangannya, Selasa (25/1).

Terdapat 9 (sembilan) poin yang perlu disesuaikan dengan ranperda untuk dapat disahkan menjadi perda sebagai dasar hukum tetap pemungutan BPHTB tahun 2011, dimana menjamin hak otonomi daerah dalam pengelolaannya 100 persen. Sebelumnya hasi pendapatan dari BPHTB bersifat bagi hasil dengan pemerintah pusat.

Adapun dari kesembilan materi pokok yang harus dilakukan penyesuaian diantaranya yakni, perlunya penambahan 3 (3) ayat pada pasal 4 yang mengatur penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkan surat keterangan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sepanjang belum ditetapkannya perda tentang PBB Perdesaan dan Perkotaan.

poin (b) perlunya penambahan 1 (satu) ayat pada pasal 6 yang mengatur penghitungan besaran pokok BPHTB yang tidak diketahui Nilai Pokok Objek Pajak (NPOP) atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB dan perlu dilakukannya penyempurnaan pasal 9 dengan menambah 5 (lima) ayat baru yang mengatur tentang Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD), karena khusus BPHTB pembayarannya langsung menggunakan SSPD.

Poin (d) yakni ditambahkannya 1 (satu) pasal baru setelah pasal 9 yang mengatur tentang penetapan Peraturan Walikota (Perwako) mengenai sistem dan prosedur pengelolaan BPHTB.

"Semacam petunjuk teknis dan pelaksaan pemungutannya," kata Aris.

Selain itu, kata Aris perlu dilakukannya perubahan pada pasal 11 menjadi pasal yang mengatur saknsi administratif, tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT) dan Surat Kredit Perdagangan Berdokumen Dalam Negeri (SKPDN).

BPHTB kata Aris merupakan Jenis pajak yang dipungut dengan sistem self-assessment sehingga tidak memerlukan dokumen SKPD, sedangkan SPPT merupakan dokumen PBB. Jadi penyempurnaan pasal 15 dilakukan dengan menghapus frasa SPPT dan SKPD.

"Yang jelas, ketentuan mulai berlakunya perda dari yang disebutkan draft " sejak tanggal 01 Januari 2010" diganti menjadi normatif, sebab perda pajak tidak boleh berlaku surut," ujar Aris lagi.

Sementara itu, Ketua Dewan Kehormatan Real Estate Indonesia (REI) Kota Batam, Mulia Pamadi beberapa waktu lalu saat ditemui bisnis dikantornya di bilangan Taman Kota Baloi mengkhawatirkan jika ranperda tersebut belum dapat disahkan tentu akan menghambat asumsi realisasi pendapatan secara utuh 100 persen.

""Kalau belum sah perdanya, tentu pemungutannya pun akan mengacu pada pola lama," tukas Mulia.

Dengan terbitnya kebijakan baru pengelolaan BPHTB yang tidak lagi dengan sistem bagi hasil bersama pusat, maka dinilai kebijakan tersebut menguntungkan konsumen, pengembang sekaligus pemerintah.

Dasar perhitungannya, dari harga jual rumah Rp 100 juta, konsumen hanya dibebani pajak sebesar 5 persen dari Rp 30 juta, begitu juga pengembang yang hanya membayar 5 persen dari 70 persen harga jual rumah.

Meski demikian, Aris mengingatkan kepada pemerintah untuk disiplin dalam upaya menyerap potensi sesuai target. Sebab katanya potensi pendapatan dapat melebihi target jika saja pemerintah pelaksana teknis mau jujur dengan tidak mengurangi secara sepihak harga jual rumah.

"Jangan dikurang-kurangilah barang itu, saya yakin potensinya jauh lebih besar," katanya menyindir pemko Batam