Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Bayangan vs Cermin
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 27-07-2020 | 14:04 WIB
f2a01bf9-65bf-4ee5-b5e2-f501472574ec3.jpg Honda-Batam

PKP Developer

DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

BELAKANGAN di negeri tercinta ini prihal dinasti dan politik atau sebaliknya, politik dan dinasti menjadi tema utama perbincangan pada hampir semua media massa: cetak, sosial tak ketinggalan elektronik.

Terasa heran memang, terungkap pula banyak yang beranggapan jika fenomena dinasti politik dihubung-kaitkan pertanda akhir zaman (episode teleologi).

Bersandar pada hubung-kait itulah esai ahir zaman berupaya mencermat-telaahi dua konsep yang tak layu sepanjang zaman yakni kekuasaan dan penguasa. Perlu diungkap-telaahi selama barabad-abad sejak Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad saw, kekuasaan menjadi sentral pembangunan atau bahkan penghancur peradaban tauhid.

Diawali ketika Nabi Ibrahim as melawan Raja Namrud, dan Nabi Musa as menantang Firaun. Secara personal, Namrud dan Firaun adalah sosok yang merepresentasikan kekuasaan absolut, otoriter, kejam, bengis yang mengklaim sebagai Tuhan.

Realitas dalam konteks kekinian (akhir zaman), telenta Namrud dan Firaun me-reaktualisasi dan me-redefinisi dengan apa yang disebut penguasa kekuasaan.

Esensi determinasi penguasa kekuasaan Namrud dan Firaun sebagai analogi terhadap perlawanan Ibrahim dan Musa dalam lanskap kekuasaan personal merepresentasi sebuah institusi (sistem atau rezim).

Sementara era Muhammad saw kekuasaan (pengusa), tidak lagi personal melainkan dua kekuatan yang menyatu: personal dan rejim menjadi imperium. Romawi (Rum), dan Persia (Parsi) adalah dua imperium besar yang merepresentasi kekuasaan dan penguasa.

Yang pada akhirnya kebesaran kedua imperium tersebut runtuh. Keruntuhan ini adalah pintu masuk generasi sahabat pembuka keberhasilan dakwah Muhammad saw dalam merevolusi akhlaq dari syirik menuju tauhid.

Belajar dari perjalanan Ibrahim, Musa, dan Muhammad dalam konteks personal (aktor) inilah yang menurut hemat penulis perlu disampaikan ikhwal karakter kekuasaan yang dalam referensi akdemis belum banyak mendapat perhatian.

Selama ini yang baru ada ikhwal kekuasaan adalah pernyataan Lord Acton (1833-1902), "Power tends to corrupt, and absolute power currupts absolutely", (Kekuasaan itu cenderung korup/menyimpang, dan kekuasaan yang absolut pasti korup/menyimpang).

Menurut hemat penulis, kekuasaan itu mempunyai tiga karakter. Pertama, kekuasaan itu adalah bulat-utuh-kalis-monopoli, terintegrasi tak dapat dipisahkan. Jangankan dibagi-bagi, didistribusikan saja kekuasaan itu tak sudi.

Kedua, kekuasaan itu cenderung korup/menyimpang, kalau tak terbatas (dibatasi), pasti korup/menyimpang (Lord Acton).

Ketiga, dengan cermin pun kekuasaan tak sudi berbagi.

Terlepas setuju atau tidak, belajar dari negeri ini, pengalaman rejim orde lama dan orde baru, ikhwal karakter kekuasaan mustahil untuk membatahnya. Manakala rejim reformasi, justru merepresentasi dua wajah dari keburukan lama dan baru yang menjadi satu.

Dari sinilah ikhwal karakter kekuasaan yang ketiga menjadi penting untuk dicermat-telaahi sebagai pertanda akhir zaman.

Ikhwal karakter kekuasaan ketiga, "dengan cermin pun tak sudi berbagi". Esensi karekater ini yang endingnya jika bayangan ermin adalah determinan cermin, bukan cermin determinan dari bayangan.

Inilah kekuasaan aslinya yang bayangan menjadi lawan cermin. Begitulah sesungguhnya perumpamaan kekuasaan yang jarang terungkap dalam konteks pemahaman di khalayak umum.

Realitas kekuasaan (peguasa) di akhir zaman, tidak lagi bercermin pada peradaban melalui kisah-kisah otentik qurani masa lalu (Ibrahim vs Namrud dan Musa vs Firaun).
Perhatikan, kecenderungan talenta pemimpin dunia yang berkarakter bayangan.

Ada negara mengangkat pemimpinnya seumur hidup. Di pihak lain, ada pula pemimpin yang berganti-ganti posisi yang pada esensinya juga bak bayangan melawan cermin. Bahkan konon, mereka si para pemimpin ketika bercermim pun tanpa ada bayangannya.

Belajar dari bayangan vs cermin pada akhirnya tentu saja kita jangan sampai melupakan sejarah (jasmerah). Adalah benar bahwa dahulu kala di negeri ini pun pernah ada 'demokrasi terpimpim'.

Demokrasi yang dipimpin oleh "seorang pemimpin yang pernah diangkat menjadi presiden seumur hidup". Belajar dari demokrasi terpimpin (jasmerah), hemat penulis masukan kepada para penguasa (kekuasaan) jangan seperti jasmerah.

Maksudnya jangan sampai Pancasila dikorupsi menjadi dua atau tiga sila. Yang seolah-olah ada upaya mengkudeta ke-Tauhid-an (Ketuhanan Yang Maha Esa) menjadi ketuhanan yang berbudaya.

Ingat!! Jangan sesekali melupakan sejarah. Sebab, cermin tanpa bayangan adalah dusta". Pertanyaannya: apakah penguasa adalah para pendusta? Wallahualam bissawab. *

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.