Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Pemilih dan Zaman
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 13-07-2020 | 14:20 WIB
f2a01bf9-65bf-4ee5-b5e2-f501472574ec2.jpg Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

ISTILAH pemilih dan zaman menjadi penting didiskusikan belakangan ini. Istilah zaman jika diikuti kata akhir dapat dimaknai menjadi sebuah keadaan berdimensi masa depan, tidak lagi masa lalu dan hari ini. Sebaliknya, kata akhir dikuti zaman menjadi keadaan yang berhubungan dengan keberadaan situasi di penghujung (menjelang akhir), kiamat? 

Berbeda dengan zaman, istilah pemilih (seseorang yang memilih-melakukan pilihan) jika pun juga dibarengi kata akhir, seolah-olah menjadi sebuah penyesalan. Benarkah?

Ini tentu saja sederhananya jika seseorang yang dipilih tidak sesuai dengan pilihan. Sehingga berkonsekuensi seolah-olah semua kesalahan dibebankan kepada pihak yang dipilih.

Esai akhir zaman berupaya mendiskusikan istilah pemilih dan zaman menempatkan hubungan signifikan kausalitas. Hubungannya juga berklid-klindan yang menurut hemat Saya, sejauh ini belum banyak terungkap ke permukaan. Hubungan tersebut menunjukkan jika seseorang pemilih, memilih zaman bukan karena sebuah pilihan yang tanpa ada pilihan.

Zaman Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi misalnya, untuk konteks negeri ini bukanlah sebuah pilihan untuk dipilih. Keberadaan bangsa, rakyat, penduduk atau manusia yang mendiaminya selalu diasosiasikan dengan sebuah sistem yang didominasi oleh cara pandang politik semata.

Semuanya, seolah-olah tidak pernah terlepas (terbelenggu) oleh sosok kepemimpinan seseorang yang "kebetulan menjadi kepala pemerintahan-negara".

Orde Lama, ada bung Karno, Orde Baru, Pak Harto, dan Reformasi siapa? Reformasi ada B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Soesilo Bambang Yudoyono.

Berupaya menelaah hubungan kausalitas klid-klindan antara pemilih dengan zaman, terkesan seolah-olah semua beban berat persoalan negara tertumpu kepada satu orang: siapa? Kepala pemerintahan-negara.

Pertanyaannya: apakah pasca pemerintahan ini ada istilah lagi seperti sebelumnya. Misalnya, zaman Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan kemudian setelahnya dengan sebutan zaman "Demokrasi Pasca Pancasila"?

Realitas kekinian terkait penamaan dengan istilah hubungan zaman akhir, tampaknya perlu mendapat perhatian ikhwal istilah pemilih. Ini disebabkan banyaknya kritikan pada konteks pemerintahan-negara saat ini yang selalu dilupakan adalah istlah pemilih (seseorang yang memilih).

Boleh jadi terlalu banyak yang tidak mengerti, paham atau jsutru tak peduli terkait istilah pemilih. Padahal jika membicarakan keberadaan berkutat ikhwal pemerintahan-negara, istilah pemilih adalah kata kuncinya.

Selama ini dikesankan seolah-olah istilah pemilih hanya pada peristiwa politik, rekruitmen kepala pemerintahan-negara. Peristiwanya pun hanya berlangsung lima tahun sekali yang lebih kurang dalam waktu dua atau empat menit saja (bilik suara).

BACA: Jin-Polong dan Teroris

Pemilih adalah aktivitas memilih. Dalam konteks ini, tentu saja dengan memilih dimaknai menentukan pilihan. Yang dipilih sejatinya adalah penuntun jalan sebagai nakhoda dalam sistem pemerintahan-negara.

Persoalannya menurut hemat Saya, banyak anak-bangsa di negeri ini tidak begitu peduli (agak ragu untuk mengatakan belum paham) dengan posisinya sebagai pemilih.

Realitas ketidakpahaman inilah refleksi kekhilafan atau kesalahan akut anak-bangsa negeri ini. Sebaliknya justru segelintir (sekelompok kecil) anak-bangsa yang memahaminya secara intelijen (kecerdasan).

Bekal pengalaman hidup di dua zaman, lama dan baru, mereka piawai mengendalikan pemilih, agar memilih pilihan sesuai dengan agendanya. Belakangan, kemudian terdapat banyak masalah dengan seseorang yang dipilih oleh mayoritas pemilih, bukan slah mereka.

Pada konteks inilah sekali lagi menurut hemat Saya, semua anak-bangsa di negeri ini wajib menyadari jika pemilih, posisinya walaupun jumlahnya banyak, tidak menentukan.
Ini disebabkan, pemilih hanya memilih hasil pilihan mereka. Itulah sebabnya mudah menjawab pertanyaan: mengapa pilihan hanya ada dua. Mengapa masyarakat terbelah menjadi dua: berhadap-hadapan (vis a vis).

Sederhananya, sebuah yang aksiomatis (tak terbantahkan), semua pasti sepakat jika pemilih dan zaman (era reformasi), hanyalah akumulasi produk para "tetua bagian dari anak negeri yang tak rela hilang pengaruh dan kuasanya".

Menjadi wajar jika para tetua itu hanya akan rela mewariskan pengaruh-kuasa kepada generasi sedarah dan kerabatnya (anak, manantu dan cucu) saja beserta para pemodalnya.

Pertanyaannya: bagaimana jika hasil pilihannya, bukan dari darah dagingnya, bukan pula bos partai, apalagi pengusaha kaya (cukong)? Inikah yang dinamakan pilihan di akhir zaman? Tepuk dada tanya selera. ***

Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.

Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.

Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***