Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Anti vs Anti
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 20-07-2020 | 14:04 WIB
muchid-lagai4.jpg Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

WALAUPUN kasus Covidsongolas (C-19) terus bertambah, uniknya sengaja atau tidak, terkesan candaan mengenai "Kalung Anti Virus Corono" yang vis a vis dengan "Kalung Anti-Bego" sempat trending. (Lihat: Azazilisme dan Pax Judaica)

Candaan berhulu-hilir menjadi cemoohan yang menandakan jika akhir-akhir ini, istilah anti menjadi penting untuk dicermat-telaahi.

Misalnya saja masih dalam lingkup candaan ini yang menjadi penyebab banyak kekeliruan adalah ketika memahami istilah hari akhir (kiamat). Bersandar pada pemahaman tersebut pertanyaannya: adakah di antara kita yang anti kiamat?

Pertanyaan tersebut tidak untuk dijawab. Jika ingin menjawabnya, boleh. Silahkan: dalam hati saja. Yang terpenting pertanyaan tersebut dengan istilah kiamat dan anti mempunyai hubungan kausalitas-signifikan.

Bukan ramalan lagi, bahkan memaknai realitas kemelut konflik-perang di Libya, di Suriah, yang teranyar di Laut Tiongkok Selatan (umum menyebutnya dengan LCS/Laut Cina Selatan) yang melibatkan ragam senjata beserta instrumen pendukungnnya berkorelasi dengan pertanda menuju "kiamat.

BACA: Pemilih dan Zaman

Inilah yang banyak diramal akan menyebabkan terjadinya perang dunia ke-3. Perang yang akan mengedepankan peluru kendali berhulu ledak nuklir yang akan menyebabkan kerusakan besar tak terbayangkan (kiamat?).

Peluru ini dikendalikan melalui instrumen seperti tank, kapal laut-selam, mobil pengangkut (senjata S400, misalnya), pesawat terbang canggih generasi kelima (F-35 AS, Su-57E Rusia, Chengdu J-20 Cina dan lainnya) berkemampuan siluman, dan drone (pesawat tanpa awak yang dapat dikendalikan).

Dalam konteks merespon istilah anti, hemat Saya jangan sampai kita terjebak cara berpikir rasional dalam adu argumen yang bersandar pada kecanggihan teknologi beserta instrumen yang menyertainya semata.

Secara esensi hukum rasionalnya ikhwal anti versus anti tentu saja perang perlagaan antar senjata mustahil berlangsung. Ini disebabkan setiap senjata beserta perangkat pendukungnya otomatis akan tereliminir dengan istilah anti versus anti.

Sederhananya misalnya, kapal perang anti pesawat berhadapan dengan pesawat anti kapal perang. Formulasi rasionalnya adalah: anti plus anti, anti minus anti, dan anti bagi anti, hemat Saya adalah sama dengan nol (nihil).

Kenihilan ini menurut hemat Saya tidak hanya ikhwal persenjataan canggih saja, namun anti versus anti juga ikhwal mata uang (currency). Saya meyakini banyak yang belum menyadari teristimewa para petinggi negeri pengelola bidang keuangan jika sudah ada anti dolar AS.

Mari tengok Tiongkok melalui Renminbi atau Yuannya, mata uang dengan satu kepentingan dua nama. Keduanya sesungguhnya adalah "Anti Dolar AS". Mereferensi sistem ini, rupanya Uni Eropa melalui dolar euro sudah mendahuluinya.

Yang menjadi masalah sekaligus pertanyaan: apakah para akademisi dan para petinggi di negeri ini sudah mengetahuinya bak seperti "kura-kura dalam perahu?" Jangan-jangan Saya keliru, bukan karena kura-kura dalam perahuya, melainkan tetap menikmati untuk terus bertahan daripada melawan arus yang sangat berisiko?

Tah kalah penting anti versus anti juga menyangkut ikhwal cara berpikir. Perihal anti dengan berpikir merupakan pancang pacu-picu yang tidak rasional, melainkan supra rasional.

Bagi kaum fanatis rasional tentu saja, persenjataan yang konon katanya canggih termasuk dominasi dolar AS akan tampak logis. Padahal pendekatan supra rasional memberikan cara baru dalam memahami fenomena kelogisan yang berdimenasi lain.

Ikhwal persenjataan dan mata uang, menurut hemat Saya, wajib bersandar pada dimensi lain. Cara berpikr rasional yang berpijak pada materi (sumber dari kapitalisme-liberalisme-sekularisme dan komunisme-kapitalisme-ateisme) perlu dilawan dengan anti rasional.

Cara berpikir anti rasional inilah yang disebut dengan istilah supra rasional. Bersandar pada cara supra rasional inilah diperoleh esensi jika anti versus anti sampai kapan pun (kiamat), tetap sama dengan nol.

Mencermati cara berpikir supra rasional sebagai anti rasional sangat esensi dengan berpedoman pada pertanyaan: apakah orang yang berpaham komunis teristimewa yang anti Tuhan juga anti kematian? Wallahualam bissawab. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.