Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Radikalis-Serakah
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 29-06-2020 | 13:04 WIB
f2a01bf9-65bf-4ee5-b5e2-f501472574ec.jpg Honda-Batam
DR. Muchid Albintani. (Foto: Ist)

TAJUK ini sangat kontekstual, aktual dan reaktual terkait beragam peristiwa kelu dan kekinian yang menimpa bangsa ini. Sebagai penjelasannya dalam esai (Demokrasi Dajjal, 1/6/2020), dengan selogan "Rasa 65, Baunya 98", sudah pernah dijelaskan.

Istilah ini membangunkan alam bawah sadar jika berbagai peristiwa merepresentasikan sesuatu yang kontekstual, aktual dan reaktual.

Istilah konteks (tual) dan reak (tual) adalah determinasi melodrama ikhwal kehidupan kenegaraan (bernegara) sebuah yang katanya bangsa besar hari ini. Persoalan esensi yang tak akan pernah atau belum disadari adalah ketiadaan (kenihilan) kehadiran negarawan di negeri ini.

Sepanjang sejarah peradaban bangsa selama hampir 76 tahun, tidak ada negarawan yang berada di depan menuntun. Yang ada hanya para penguasa republik. Para penguasa yang hanya membangun patron-klien pengusaha yang oleh Yoshihara Kunio disebut dengan Kapitalisme Semu, tidak tulen (ersatz capitalism).

Bersandar dari realitas bangunan patron-kilen itulah menjadi penting esai akhir zaman yang jika tidak hati-hati, akan diikuti akhir Indonesia, perlu menelaah istilah atau pengertian konsep Radikalis-Serakah.

BACA: Azazilisme dan Pax Judaica

Istilah radikal menjadi trendi sekaligus seksi yang dalam bahasa intelijen (kepintaran intelektual) adalah peruntuh moral. Istilah radikal tersemat yang dengan sendirinya terdiseminasi (penyebarluasan) lalu menseduksi alam bawah sadar jika upaya nahi-mungkar, celana cingkrang, berjenggot, berserban, dan lainnya dengan cap radikal. Yang teranyar adalah para pengkritik kebijakan rejim adalah radikal.

Stempel para pengkritik adalah radikal mempunyai hubungan kausalitas klid-klindan masa lalu (Orde Lama/Orla, dan Orde Baru/Orba). Belajar dari Orla dan Orba, reformasi saat ini hanyalah reaktualisasi [pengulangan-anyar] yang bersimultansi (bersamaan-simetris) menjadi pengulangan yang akut (ibarat ungkapan, "keledai masuk dalam lubang yang sama").

Ini jikalau diumpamakan ketakberdaayan penguasa ("bapak bangsa") pengadopsi pemikiran yang bukan sebagai seorang "negarawaan". Tak terbayangkan jika Indonesia adalah duplikasi dari karakter kezaliman sistem dunia.

Hampir tujuh tahun belakangan ini (mohon direnungi dengan aqal sehat agar tidak gagal paham), tanpa sadar mengemuka penilaian jika rejim ini seolah-olah mengadopsi kejelekan sistem komunis (kontrovesi RUU HIP), dan sistem kapitalis (liberalism dan sekulerism) menjadi tidak kedua-duanya.

Sistem komunis yang membungkam mulut, namun rejim berupaya memberikan makan. Kapistlisme, walaupun tidak diberikan makan, namun mulut dibebaskan berbicara. Unik dan lucunya negeri ini, kalau boleh: mulut dibungkam,makan disuruh mencari sendiri ("komunis bukan, kapitalis apalagi?")

Menurut hemat penulis jika para pemimpin enggan merenungi realitas ini, bukan mustahil yang perlu dicermati bukan hanya esai akhir zamannya, melainkan "Indonesia yang akan berakhir?" Realitas ini diargumentasikan jika reformasi hanyalah akumulasi dari kegagalan Orla dan Orba yang diualang kembali yang disebut dengan reaktualisasi.

Bersadarkan pada berbagai hujah tersebut tampak benang merah hubungan Radikalis- Serakah dengan kekuasaan yang dapat didekati melalui dua argumentasi. Pertama, terdapat upaya peminggiran, bukan penghilangan mayoritas.

Dalam konteks peminggiran, bukan penghilangan menjadi relevan dan strategi jitu apabila istilah radikal, intoleran, kelompok radikal, kelompok intoleran disematkan kepada yang mayoritas.

Padahal amat sangat tidak logis, dalam perspektif "kemayoritasan ummat" dengan keterbatan sumberdaya ekonomi, disematkan gelar radikal serta intoleran. Manakala "minoritas" menguasai selain sumber daya ekonomi juga sumberdaya alam-tanah, bahkan dengan serakah kekuasaan pun ingin ditaklukan.

Pepatah "tepuk dada tanya selera", menjadi legitimasi yang pas disematkan jika para radakalis sesungguhnya adalah para penguasa ini. Yang dalam esai ini disebut dengan Radikalis-Serakah.

Kedua, keberadaan aktor elite inheren mantan penguasa Orla dan Orba. Para aktor ini adalah kereator sekaligus pembentuk kaum Radikalis-Serakah. Sebagai kreator inilah penting untuk ditelaah [mohon direnungi lalu ditelusuri jejak sejarah dan digitalnya], jika sekelompok para aktor yang jumlahnya tak sampai sepuluh jari perlu diidentifikasi.

Sangat susah serta naif untuk menafikan istilah negara dikendalikan cukong, tanpa kehadiran mereka sebagai kreator dan inisiator. Sederhananya, kelahiran organisasi berbasis ideologis (agama), dan institusi politik populer awal 1998-an, tidak terlepas dari campur tangan dingin, inovasi, kreasi serta kepiawaian mereka. Apa itu organisasi agama, dan institusi politik yang popular tersebut, silakan ditelusuri jejak digitalnya.

Pertanyaannya: masihkah "yang banyak", akan tetap mendapat gelar radikal, sementara "yang sedikit", terus saja berkarakter serakah? Lalu yang Radikalis-Serakah siapa? Tepuk dada tanya selera. ***

Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.

Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.

Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***