Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Azazilisme dan Pax Judaica
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 22-06-2020 | 12:04 WIB
muchid-lagai3.jpg Honda-Batam
DR Muchid Albintani saat menghadiri pertemuan ilmiah di Turki. (Foto: Ist)

RENCANA Israel mencaplok Tepi Barat mendapat kecaman dunia. Israel berulah lagi. Palestina [Yerusalem] membara.

Yerusalem adalah tempat lahirnya tiga agama samawi yang selalu dikumandangkan. Esensi kuantitas istilah tiga agama menjadi paradoks secara kualitas.

Paradoks ini berhubungan erat dengan keberadaan ke-Tauhid-an (lihat Ahadisme, esai akhir zaman 16/6/2020). Kata tiga menjadi rancu manakala dalam sumber agama tersebut menjadi tidak logis jika tiga agama akan berafiliasi kepada 'tiga tuhan' yang berbeda.

Secara kualitas, hingga akhir zaman 'ketiga agama', yang pasti tetap berproses memperjelas identitasnya menuju ke-Ahad-an tuhan

Dalam upaya pencaplokan Tepi Barat oleh Israel, tajuk Azazilisme dan Pax Judaica menjadi penting ditelaah. Pencaplokan ini pula menjadi isu sensitif terkait pemindahan ibu kota Israel ke Yerusalem yang didukung Donald Trump, pemimpin negeri adidaya yang kontroversi.

Tak ayal keinginan Israel akan menghadapi penolakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Tak terkecuali Turki, Rusia dan Uni Eropa. Bukan mustahil memaksakan keinginan negeri zionis Isreal pindah ibu kota dapat memicu Perang Dunia ke-3.

BACA: Syirikisme VS Ahadisme

Esai akhir zaman berupaya menceramti yang menjadi latar belakang begitu kuatnya keinginan zionis Israel menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota. Dari sini dapat dipahami hubungan Azazilisme dengan Pax Judaika dengan tiga pendekatan. Pertama, ikwal DNA Ibrahim. Kedua, misi utama Azazil, nama lain dari Iblis. Ketiga, dualistik ikhwal Dajjal.

Pertama, penjelsan DNA Ibrahim. Silang sengketa terkait konflik Israel-Arab bersandar keyakinan istilah tiga agama samawi [Yahudi-Nasrani-Islam] menjadi sederhana jika garis keturunan [DNA] Ibrahim menjadi titik-temunya.

Sebagai bapak Tauhid dunia, Ibrahim mengilhami keterhubungan penting dengan DNA sebagai garis keturunan Yahudi-Arab. Sehingga dalam konteks ini, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: DNA yang menentukan ideologi atau ideologi menentukan DNA?

Belajar dari Ibrahim secara DNA menunjukkan bahwa Yahudi-Arab merupakan satu tali keturunan dari garis kakek moyang Ibrahim dengan nenek moyang yang berbeda.

Berdasarkan DNA Ibrahim memberikan referensi bahwa konflik Arab-Israel tidak dilatarbelakangi oleh faktor ideologi (agama), melainkan pemahaman terhadap kitab rujukan yang berbeda. Alquran sebagai kitab umat manusia, tidak membedakan dengan menstrukturasi (mendiskriminasi-rasis) manusia berdasarkan warna kulitnya.

Pemaksaan pemindahan ibu kota ke Yerusalem dipicu oleh sumber kitab tambahan yang selalu meyakini bahwa manusia yang satu lebih tinggi derajatnya dari manusia yang lain.

Ditambah dengan sumber inspirasi jika Yerusalem adalah tanah yang dijanjikan. Dalam konteks cara berpikir inilah keberadaan Pax Judaika menjadi dilegitimasi. Esensinya adalah kebangkitan Israel Raya yang menihilkan keberadaan bangsa Palestina sebagai si pemilik negeri.

Kedua, misi utama Azazil, nama lain dari Iblis. Terkait Azazil sebuah nama dan misinya menjadi penting dicermati dalam konteks akhir zaman dan perwujudan Pax Judaica.

Ini penting oleh karena debat klasik terkait dengan keberadaan Iblis dengan nama lain Azazil yang amat jarang dimunculkan. Ikhwal nama ini, walaupun tidak banyak, namun terdapat beberapa versi yang dapat lebih lanjut dibaca.

Dalam konteks esai ini penting dijelaskan misi esensi Azazil adalah sebagai penjerumus (mengelabui pemikiran manusia). Dalam konteks inilah Azazilisme mempunyai hubungan signifikan dengan ambisi mewujudkan berdirinya Pax Judaica.

Istilah Pax Judaica adalah keupayaan terakhir yang sebelumnya terdapat juga Pax Britanica dan Pax Americana. Ketiga istilah ini sudah banyak dikaji yang secara khusus sebagai pakar Eskatologi dijelaskan panjang lebar oleh Syekh Imran Hosein.

Menjadi jelas jika pengelabuan tidak hanya bagi para peyakin terhadap kedatangan Dajjal sebagai penyelamat (mesias). Bagi yang menganggap Dajjal sebagai penyelamat palsu juga sama.

Dalam konteks 'pengelabuan' inilah Dajjal dinilai sebagai penyelamat yang menjadi sandaran ideologis pembangunan kembali kuil Sulaiman. Sandaran ideologis ini pula penggerak pencaplokan tanah warga Palestina menjadi nyata sampai dengan 'upaya pendudukan Yerusalem' sebagai ibu kota Israel Raya (Pax Judaica).

Realitas ini, hemat saya bagian esensi pengelabuan khusus bagi para penganut paham Pax Judaica yang istilah populernya dengan sebutan kaum 'Globalis Cabal'. Panatisme kaum ini yang ingin mewujudkan Pax Judaica, tanpa sengaja atau tidak telah terseduksi dengan paham yang disebut 'Azazilisme'. Yakni paham pengelabuan yang dilakukan oleh Azazil.

Ketiga, dualistik ikhwal Dajjal. Terkait dualistik [satu orang dua lakon] Dajjal menjadi simalakama dalam konteks keimanan. Ini disebabkan, jika Dajjal dimaknai sebagai sosok personal, bukan pemikiran.

Ikhwal sosok hampir tidak ada sumber Qurani yang mereferensi. Pada sisi lain sumber hadis yang sangat banyak hingga kadangkala membingungkan. Realitas ini sangat dilematis.

Tidak mengakui Dajjal secara personal khawatir dipersoalkan menjadi anti hadis. Terlalu menonjolkan sosok Dajjal, akan terjebak cara berpikir Israiliyyat yang sudah terpatri ke alam bawah sadar.

Berdasarkan penjelasan ketiga hal terkait Azazilisme dengan Pax Judaica, tampak realitas hubungan kekinian akhir zaman yang anteseden. Hubungan ini dilandasi oleh dua alasan.

Pertama, manusia terbelah mengklasifikasikan ikhwal identitas dalam konteks agama (ideologi), garis keturunan biologis (ras DNA), budaya, dan kepentingan bermotif cinta dunia, materi dan paham sekuler.

Kedua, manusia terbelah menjadi pendukung dan penolak Dajjal dalam pengertian personal (makhluq) pendusta (kemunculan Iman Mahdi dan Nabi Isa), dan makhluq penyelamat (kebangkitan Israel Raya-Pax Judaica) dibanding dengan Dajjal sebagai cara berpikir palsu yang memperdayakan.

Pertanyaannya: berdasarkan kedua alasan tersebut, sebagai manusia yang beriman kita berada dipihak mana? Tepuk dada tanya selera. ***

Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.

Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.

Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***