Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Syirikisme VS Ahadisme
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 15-06-2020 | 12:04 WIB
muchid-sing2.jpg Honda-Batam
DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

DR Muchid Albintani

INDONESIA heboh. Komunisme sedang menuju kebangkitan. Indikatornya jelas, tidak diragukan. Kebaradaan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).

Paling tidak, begitulah hebohnya dalam pemberitaan media massa dan elektronik belakangan ini.

Berupaya mencermati sekaligus mengamati pemberitaan tersebut, esai akhir zaman mengulasnya dengan menyandingkan dua istilah antara Syirik-isme versus Ahad-isme.

Mengulas dan menyandingkan dimaksudkan sebagai klarifikasi betapa pentingnya hubungan kedua istilah tersebut dengan kebangkitan komunisme.

Dalam konteks hubungan inilah yang boleh jadi, belum banyak menjadi perhatian serta pembahasan terkait dan klasifikasi Syirik. Istilah syirik dimaknai umum adalah mempersonifikasi sekaligus menyekutukan (mendua, mentiga atau menihilkan kebaradaan tuhan yang Ahad).

Secara sederhana, Syirik mengandung esensi persekutuan yang berlawanan dengan istilah Ahad (ke-Tauhid-an).

BACA: Identitas, Rasis dan Iman

Dalam konteks kekinian, paling tidak terdapat tiga klasifikasi istilah Syirik. Pertama, istilah syirik yang esensi berdasar sumber Qurani ikhwal: Maha Ahad, tidak beranak, tidak menyerupai apalagi diserupai dengan makhluk (dalam format pagan, patung atau gambar).

Esensi istilah syirik tentu saja pijakannya bersandarkan argumentasi sebagai upaya meluruskan terhadap orang-orang yang meyakini dalam proporsi 'tuhan sebagai anak, bapak dan tuhan itu sendiri'.

Meluruskan dapat dimaknai memperjelas sekaligus koreksi dan respon bahwa kayakinan tersebut tidak sejalan dengan ke-Ahad-an.

Kedua, klasifikasi Syirik di antaranya yang utama adalah keterhubungan dengan berbagai paham, yakni ateisme, yang menihilkan keberadaan tuhan. Politeisme paham yang dimaknai meyakini banyak tuhan. Triteisme paham yang mempersonifikasi tiga wujud, atau karakter tuhan.

Menceramti sekaligus menelaah kondisi kekininan ikhwal 'isu kebangkitan komunisme yang selalu dinafikan banyak pihak', esai ini berupaya menjawab dua pertanyaan: (1) Mengapa komunisme berkembang subur di negeri ini? (2) Mengapa komunisme selalu diasosiasikan dengan ateisme?

Bersandar mempersoalkan dalam konteks kekinian ikhwal RUU HIP yang berarti menjawab pertanyaan, mengapa komunisme berkembang subur di negeri ini, paling tidak ada lima alasan utamanya.

(1). Dendam sejarah. Ikhwal komunisme yang teridentifikasi, terimplementasi dan terstruktur dalam organisasi partai politik yang disebut Partai Komunis Indonesia [PKI], amat sukar untuk dinafikan. Vonis menjadi organisasi terlarang dan 'diharamkan' serta beban dosa warisan sepanjang orde baru bagi anak cucu yang disangkakan terlibat adalah refleksi dendam sejarah tersebut.

Dendam inilah yang sangat sulit dilupakan dalam alam bawah sadar khusus bagi yang merasakannya secara langsung, untuk kemudian menderivasikan kepada generasi berikutnya.

(2). Dukungan penguasa, dan asing. Perkembangan komunisme tidak terlepas dari dukungan penguasa dan pihak asing. Hukum besi sejarah akan berulang, jika komunisme berkembang dari perubahan arah politik pengalaman orde lama yang condong kepada negara pengamal paham komunis.

Hubungan ini, tidak harus disembunyikan oleh karena berulang kembali pada rejim saat ini.

(3). Bersembunyi disebalik yang banyak. Karakter gerakan para petinggi komunis sangat lihai memanipulasi kelompok mayoritas sebagai bumper dengan mengikutsertakan (joint) kekuasaan.

Mohon cermati sejarah negeri ini tahun 1965-an disaat berkembangnya ideologi nasakom (nasional, agama dan komunis)? Kelompok mana yang berkolaborasi dan berseteru? Perlu dicermati realitas kekinian. Hukum besi sejarah telah menjelaskannya.

(4). Pola pikir masyarakat yang cenderung 'tawasul-hedonis'. Cara berpikir ini menciptakan tatanan masyarakat dalam orang per orang yang haus kekuasaan dan ubud dunia.

Realitas inilah yang dimanfaatkan oleh para aktor merekrut orang-orang berkaraker 'tawasul-hedonis' untuk turut serta dalam kekuasaan.

(5). Diskontinuitas sejarah kalangan milenial. Sikap progresif revolusioner pengamal komunisme yang sesungguhnya, tidak banyak dikenal bahkan terlupakan (diskontinuitas) oleh generasi milenial yang jumlahnya diklaim mayoritas.

Kejahatan organisasi komunis (partai), terlupakan atau bahkan tersistematis upaya memutarbalikan fakta yang sedang, dan akan terus berjalan. Inilah yang terlupakan oleh generasi milenial.

Sementara itu, menjawab pertanyaan komunis selalu diasosiasikan ateisme, paling tidak ada empat hal utama.

(1). Sumber pemikiran (pencetus komunisme). (2). Ideologi buatan kepentingan elit global. (3). Karakter gerakan (sadis dan non-prikemanusiaan). (4). Tidak mengenal pertanggungjawaban.

Keempat hal ini sudah banyak dikemukakan dalam catatan sejarah kelam komunisme di dunia. Yang esensi dalam konteks ini adalah, ketiadaan (paham penihilan) keberadaan sang pencipta tentu saja logisnya, apapun tindakan yang dilakukan tidak ada konsekwensi akhlaq, moral dan agama. Namanya saja 'tidak bertuhan'.

Belajar dari persoalan kebangkitan komunisme menjadi referensi sangat berharga jika Syirikis-me dan Ahadis-me akan selalu berkompetisi sampai akhir zaman (kiamat). Sebagai ummat (manusia) beriman yang akan mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan, tidak ada pilihan lain, kecuali 'berjihad' untuk tidak menjadi komunis yang terafiliasi pada Syirik-isme.

Pertanyaannya: Apakah komunisme tetap dapat tumbuh dalam wajah berbeda di tengah masyarakat yang hidup dengan pola 'tawasul-hedonis'? Tepuk dada tanya selera. *

Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.

Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.

Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***