Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Identitas, Rasis dan Iman

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 08-06-2020 | 12:04 WIB
muchid-lagai2.jpg Honda-Batam

PKP Developer

DR Muchid Albintani saat menghadiri pertemuan ilmiah di Turki. (Foto: Ist)

AMERIKA Rusuh. Amerika akan hancur binasa. Demonstrasi terjadi di berbagai kota. Rakyat Amerika sedang mempersoalkan esensi eksistensi manusia. Maksudnya prihal identitas ke-manusi-annya. Bahasa sederhanaya, ikhwal diskriminasi warna kulit (rasis).

Menjelang akhir zaman mempersoalkan rasis (+me) hanyalah klimaks dari kesombongan sebuah bangsa besar beserta negaranya yang mengklaim maju. Namun masih saja untung, tidak mempertanyakan "eksistensi manusia yang menjadi tuhan, anak, dan sekaligus orang tuanya". Esai akhir zaman, tidak berupaya menjawab terkait keuntungan tersebut.

Ikhwal menyeruaknya rasis (+me) Amerika: hemat Saya sebuah pertanyaan tentang kemanusiaan yang perlu dikemukakan adalah: Apakah manusia sebuah identitas, atau identitas itu adalah manusia? Ras (asal istilah rasis) adalah bagian dari identitas manusia yang dikenal dengan ke-gen-an.

Dalam konteks ke-gen-an ini pula manusia dapat didefinisikan sebagai sebuah identitas. Dalam konteks identitas inilah bagian pentig terhadap refleksi klarifikasi karakter yang inheren dengan sinyalemen perbedaan dan persamaan ikhwal ke-manusia-an.

Manakala sama (identik), maka manusia akan saling berkolaborasi (bekerja sama). Sementara, jika berbeda, manusia akan cenderung bersitegang [konflik]. Esensinya manusia dan identitas adalah interaksi karakter yang saling melengkapi, bersitegang dan berdamai. Begitulah sunatullahnya.

Mencermati dan belajar kisah tragedi rasis [+me] di negara super power Amerika, sebelumnya telah dijelaskan bahwa istilah ras terkait langsung dengan ke-gen-an (memahami identitas manusia bersumber dari gen biologisnya atau DNA-nya).

BACA: Demokrasi Dajjal

Ini dilatarbelakangi oleh karena identitas manusia yang terklarifikasi secara logis umumnya didasarkan kepada 4 hal utama yakni, kesamaan (identik) karena ideologi (agama), genealogi (keturunan sandaran bialogisnya), budaya, dan kepentingan intristik (ke dalam0 seperti: ekonomi, politik, sosial, hukum dan lainnya.

Istilah ras (prihal atau ikhwal ras) yang dipersoalkan adalah bagian dari genealogi (sesuatu yang berhubungan dengan keturunan sejak lahir) yang jamaknya dimaknai bersandarkan warna kulit.

Sinyalemen warna yang umum adalah kuning langsat, sawo matang, putih, dan tentu saja hitam. Banyak teori asal-usul terkait keturunan biologis yang sudah menjelaskan.

Esai akhir zaman berupaya mencermati juga mengapresiasi istilah ras (+is) bersandar reduplikasi warna tentunya. Mengapa hitam? Di sinilah esensinya pertanyaan sekaligus persoalannya.

Warna hitam seolah-olah dalam alam berpikir bawah sadar menyimpan beban berat seperti: keterbelakangan, hinaan, kegelapan, bodoh, dan sekaligus berkonsekwensi yang berkonotasi negatif. Termasuk ilmu hitam.

Menuurt hemat Saya, Revolusi Akhlaq (RA) adalah kunci sejati membuka sekaligus menutup tabir kelam ikhwal ke se-olah-olah-an alam bawah sadar manusia yang terdiskriminasi.

Agenda sunatullah persamaan hak yang diperjuangkan Muhammad Rasulullah SAW 23 tahun di Kota Mekah (Makkah) dan Medinah (Madinah) adalah jawabannya. Revolusi Akhlaq setidaknya mengargumentasikan dua perubahan cepat sepanjang 23 tahun tersebut.

Pertama, berakhlaq hanya kepada Allah dengan bertauhid (satu tuhan, tidak mempersonifikasi dengan pagan), tidak mendua, mentiga atau meniadakan-Nya. Kedua, kesetaraan manusia, tanpa bersandarkan warna kulitnya (prinsip egalitarian).

Sejarah mereferensi jika sumber azali diskriminasi adalah sesat pikir yang bersumber dari kitab-kitab yang isinya mendiskriminasi manusia. Ikhwal keberadaan seorang yang bernama Billal 'budak hitam' yang merdeka adalah representasi dampak langsung Revolusi Akhlak yang menghapuskan diskriminasi warna kulit tersebut.

Itulah sebabnya referensi Qurani, gen (DNA) tidak menjadi titik sandar ke-mulia-an utama. Titik sandar ketinggian drajat sebagai manusia dibedakan beriman dan atau kafir.

Klasifikasi klas manusia bersandarkan sumber Qurani hanya ada dua: beriman dan kafir. Dalam kontkes inilah yang tak [belum] banyak disadari jika Alquran adalah kitabnya umat manusia beriman.

Konteks ke-manusia-an yang dimilki, hemat Saya amat sangat adil. Ini disebabkan menjadi manusia beriman atau dan kafir, tidak disandarkan pada persoalan warna kulit, kekayaan materi atau yang lainnya.

Manusia beriman atau tidak, bersandarkan pada pengakuan ikhwal ke-tauhid-an kepada Allah SWT dan kerasulan Muhammad sebagai rasul-nabi akhir zaman yang diidentifikasi dengan istilah bersyahadat.

Selanjutnya, pada konteks ke-beriman-an atau kafir juga mengalami sirkulasi yang adil. Ini disebabkan, ke-iman-an dan ke-kufur-an bersirkulasi. Manusia yang telah beriman berpotensi menjadi murtad (kafir), sebaliknya manusia yang kafir sangat potensi menjadi beriman.

Begitulah siklus hidup manusia sebagai identitas makhluq yang beriman, dan tidak rasis sehingga datangnya akhir zaman (kiamat). Kemuliaan manusia di hadapan pencipta-Nya (sang Khaliq), bukan karena warna kulitnya: melainkan ketaqwaan imannya.

Pertanyaannya: apakah memilih pemimpin yang seiman dalam sebuah negara demokrasi dapat disebut rasis, atau yang sebaliknya tidak? Tepuk dada tanya selera. *


Muchid Albintani adalah guru di Program Pascasarjana Sain Politik, konsentrasi Manajemen Pemerintahan Daerah, dan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Riau.

Pernah menjadi Dekan (diperbantukan) di FISIP Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Tanjungpinang, dan Direktur Universitas Riau Press (UR Press). Meraih Master of Philosophy (M.Phil) 2004, dan Philosophy of Doctor (PhD) 2014 dari Institut Kajian Malaysia dan Antarabangsa (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia.

Selain sebagai anggota dari The Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH) Jakarta juga anggota International Political Science Association, Asosiasi Ilmu Politik Internasional (IPSA) berpusat di Montreal, Canada. ***