Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Idul Fitri Terserah Aja?
Oleh : Opini
Selasa | 19-05-2020 | 08:04 WIB
iskandar.png Honda-Batam
Iskandar Zulkarnaen SIP, M.Phil. (Foto: Ist)

Oleh Iskandar Zulkarnaen SIP, M.Phil

PEMBAGIAN zona berdasarkan warna oleh Pemerintah Provinsi Kepri menuai kontroversi. Zona warna disebut ada di website Kementerian Kesehatan. Ramailah netizen melakukan cek fakta dan ternyata 'tidak ada' di website Kementerian Kesehatan.

Konon kabarnya, itu zona merupakan data dari Dinas Kesehatan Kepri, yang sekarang dipimpin oleh seorang pelaksana tugas, yang sebenarnya harus pensiun namun diperpanjang karena menjadi Ahli Utama Jabatan Fungsional.

Terkadang lupa bahwa jabatan pelaksana tugas berbeda kewenangan dengan seorang pejabat definitif, walau orangnya sama.

Akibatnya?

Bintan yang diklaim zona hijau pun melonggarkan kebijakan pembatasan beribadah. Konon Shalat Ied pun sudah mulai dirancang.

Mereka lupa, Bintan itu setanah seair dengan Kota Tanjungpinang, zona yang disebut merah, yang di perbatasannya tidak ada petugas yang mengawal, sebab bukan wilayah PSBB.

Maka ramailah penduduk Tanjungpinang, yang juga berkait kelindan, memiliki saudara mara di Bintan, berencana untuk ber Ied Fitri di Bintan. Semacam pulang kampung, bukan mudik.

Bagaimana sih sebenarnya? Apakah Shalat Ied Fitri yang dilarang, atau apa?

Sebenarnya, dalam pandemi ini ada 5 tingkatan penularan, berdasarkan WHO, yang kata Jerinx SID itu, bagian dari konspirasi global, yakni penularan imported, penularan lokal, penularan sporadis, penularan cluster dan penularan komunitas.

Nah, pantauan saya, Kepri sudah memasuki penularan komunitas yang ditandai banyaknya kluster dan banyaknya pasien konfirmasi positif yang tidak diketahui asal mulanya tertular. Termasuk yang menjadi pusat penularan cluster tersebut.

Tidak usah disebut satu persatu, bisa bikin pening kepala. Kalau sudah penularan komunitas, maka semua orang di dalam komunitas itu dapat dicurigai sebagai pembawa virus. Karena itu maka pembatasan jarak, penggunaan masker dan di rumah saja menjadi hal yang sangat penting.

Dalam banyak kasus, model tracing dengan menggunakan test cepat yang berdasarkan reaksi antibodi atau RDT dengan hasil non reaktif tidak dapat dipercaya. Sebab nyatanya hasil test swab PCR sebagian besar adalah positif tertular virus.

Itulah makanya kita selalu diingatkan untuk langsung karantina diri sendiri selama 14 hari setelah mengikuti test cepat tersebut. Bukan malah mensyukurinya dan langsung beraktivitas seakan tidak ada masalah.

Sehingga tanpa disadari yang bersangkutan sudah menularkan ke yang lain. Kebanyakan kita memang tidak mematuhi aturan main itu. Makanya kita bisa melihat, ada pejabat yang melakukan RDT besoknya tetap memimpin rapat dan menerima kunjungan, para pedagang tetap berdagang seusai di RDT dan banyak lagi yang melakukan hal sama. Sama sama melanggar pedoman.

Kembali ke pangkal, karena ini sudah penularan tingkat komunitas maka orang orang dilarang untuk berkerumun, melakukan pertemuan secara fisik dan sebagainya. Ini tindakan antisipasi agar tidak tertular dan menularkan. Kita tahu, tidak semua orang bisa disiplin dalam memakai masker, menjaga jarak dalam berkerumun tersebut.

Pelaksanaan shalat, baik itu shalat wajib maupun sunnah, seperti shalat Ied, ditunda dilakukan di masjid atau di lapangan adalah bukan karena masjidnya yang tidak steril tapi efek kerumunan atau berkumpulnya yang dihindari. Karena dengan berkumpul itu, jika ada saja satu orang yang lalai maka akan menjadi penularan massal dalam satu tempat tersebut.

Menjaga orang per orang dari berbuat lalai itu sangat sulit maka tindakan paling efektif adalah melarang semuanya untuk berkerumun atau berkumpul.

Tapi ada banyak juga hal yang bertolak belakang, contoh dilarang berkerumun tapi banyak orang berbelanja di pasar dan berkerumun melupakan jaga jarak, ada juga berbagi sembako dengan melupakan jaga jarak dan masker sehingga diprotes warga.

Kok yah bisa petugas yang menjaga pembatasan sosial kecamatan tapi tidak berprilaku sama ketika melakukan kegiatan yang mereka jadi pelaksananya. Apa tidak malu dengan karyawan kedai kopi yang diancam penjara?

Anomali ini tentu saja memberikan kesan dan pesan yang membingungkan bagi masyarakat.
Sebenarnya pandemi ini situasinya sudah seperti apa? Kalau zona merah kenapa aktivitas seperti normal?

Kalau beribadah dibatasi kenapa berbelanja malah dianjurkan? Bukankah keduanya sama sama berkerumun? Kalau ekonomi yang diutamakan apakah keimanan tidak menjadi utama juga?

Pelbagai diskursus itu akan selalu ada di jejaring netizen dan masyarakat awam. Yang masih suka kumpul sembunyi sembunyi di luar jarak pantauan tim.

Sebagai pengamat, saya hanya bisa mengelus dada. Saya yakin, kita sebenarnya bingung mau melakukan apa.

Pembatasan tetap dilakukan, dana pemerintah bisa semakin tergerus. Pemasukan seret, pengeluaran bejibun. Pengurus masjid juga pasti kelimpungan, apalagi kalau pengeluaran rutin ada sementara pemasukan rutin dari jamaah berhenti. Semuanya mengalami hal yang sama.

Tapi jika tidak dilakukan pembatasan, maka yang terkena penularan akan semakin merajalela. Seluruh sumber daya juga akan terkuras untuk mengurusi itu. Sebuah dilema, ibarat memakan buah simalakama.

Saya menganjurkan agar kalau memang kita sepakat, segera saja lah buka pembatasan pembatasan aktivitas itu. Kita berpegang pada 2 hal saja. PERTAMA, Mereka yang sehat dan kebal virus ini karena herd immunity dipersilakan beraktivitas.

Ekonomi harus digerakkan. Perusahaan harus beroperasi, toko, mall, hotel dan pasar segera beraktivitas. Dan seiring itu, rumah ibadah juga membuka pintunya untuk umat beribadah di sana. Perlakuan yang sama.

KEDUA, Bagi mereka yang rentan tertular dan bisa mengakibatkan kematian berdasarkan bukti bukti terhadap pasien yang konfirmasi positif, seperti yang disajikan oleh Negara Bagian New York, jangan keluar rumah, dan jaga kesehatan. Beribadah juga di rumah saja. Tidak usah memaksakan diri harus diperlakukan sama dengan mereka yang masuk kategori pertama tadi.

Namun kebijakan ini harus meniadakan zona warna itu. Sebab apalah arti warna, kalau rakyat makin sengsara, dan ekonomi makin parah.

Dan yang paling penting adalah update data juga harus memberikan kepastian informasi. Bukan data yang dipergunakan sebagai bentuk pertanggungjawaban administrasi pemerintah. Data itu harus berbasis komunikasi publik.

Misalnya masyarakat disuguhkan informasi kasus positif yang terkini saja, bukan kumulatif. Begitu juga data PDP, ODP dan OTG, jangan data kumulatif, mengerikan melihatnya.

Padahal sebenarnya data terkini itu, PDP, ODP dan OTG hanya tinggal segelintir saja. Yang sehat dan sembuh bolehlah kumulatif dilaporkan, sebagai sebuah prestasi bagi tenaga medis kita.

Kalo boleh buatlah data yang menampilkan harapan dan memberikan asa bagi rakyat kita. Bukan data yang menakuti dan sekedar bentuk pertanggungjawaban atas pengadaan barang dan jasa yang luar biasa besar itu.

Ini sih sekedar saran. Karena apapun kondisinya, kita kelihatannya mungkin sudah kewalahan dan kebingungan dalam mengatasi problema pandemi ini.

Namun semua kembali kepada Pemangku Kebijakan. Mau pilihan apa yang dilakukan, terserah aja. Namun usulan saya ini dengan mengabaikan prediksi para ilmuwan epidiemiologi yang menyatakan bahwa akan ada ledakan kasus konfirmasi positif setelah Ied Fitri.

Mau shalat Ied Fitri, terserah aja (?) *

Penulis adalah pengamat Covid-19, bekerja di Tanjungpinang