Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tak Mampu Penuhi Kebutuhan Pangan

Komisi IV DPR Revisi UU Pangan
Oleh : Surya
Minggu | 27-11-2011 | 13:03 WIB

KARAWANG, batamtoday - Komisi IV DPR menilai ketersedian pangan nasional dan regional belum dapat menjamin keamanan pangan tingkat individual. Akibatnya masih terdapat banyak kasus gizi buruk ditemukan, termasuk di daerah penghasil makanan kasus-kasus kelaparan dan kekurangan gizi banyak ditemukan.

Penegasan itu disampaikan Wakil Ketua Komisi IV Harman Khaeron dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD) di Karawang kemarin. "Hal ini menggambarkan bahwa keamanan makanan hari ini tidak dapat menyentuh sampai tingkat individu. UU No.7 tahun 1996 hanya fokus pada pengatayran konsumsi pangan dan belum mencakup aspek produksi dan distribusi," kata Herman.

Menurut Herman, makanan adalah kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia, karena pemenuhan pangan adalah hak-hak individu. Pangan, lanjutnya, juga sangat penting sebagai komponen dasar untuk memujudkan dasar untuk kualitas sumber daya manusia. "Oleh karena itu, pembangunan ketahanan pangan sebagai dasar bagi pembangunan sektor lainnya," ujarnya.

Ia menilai UU No.7 tahun 1999 tentang pangan tidak mampu menghadapi tantangan pembangunan pangan, terutama dalam era globalisasi. Pembangunan pangan, tambahnya, harus segera diperbaiki agar Indonesia tidak hanya menjadi pasr produk pangan negara-negara lain. Untuk menjadikan Indonesia memiliki ketahanan pangan sendiri dan mampu bersaing dengan negara-negara lain dalam perdagangan global, Komisi IV DPR kata Herman, mengajukan usul inisiatif RUU Perubahan atas No.7 tahun 1996 tentang Pangan.

"Substansi pengaturan pemenuhan ketubuhan pangan dalam UU No.7 tahun 1996 masih sangat umum dan banyak dilakukan pendelegasian sehingga terdapat berbagai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan. Oleh sebab itu, Komisi IV merasa perlu untuk membuat beberapa perubahan dalam UU tersebut," katanya.

Konsep ketahanan pangan di dalam UU No.7 tahun 1996 tersebut, hanya mengatur mengenai permasalahan distribusi dan konsumsi. Sementara terkait penyediaan pangan dan produksi pangan domestik, UU itu belum bisa menjawab karena tidak adanya lembaga yang mengatur permasalahan pangan.

"Dengan dilakukan perubahan diharapkan dapat mengelelola masalah makan menjadi lebih komprehensif. UU ini juga diharapkan membuat aturan mengenai pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyat, pengaturan fungsi kelembagaan, serta kebutuhan keamanan pangan, makanan yang aman dan bergizi untuk semua rakyat Indonesia," katanya.

Ketua Pansus RUU Perubahan atas UU No7 tahun 1999 ini menegaskan, perlunya ada UU baru yang mengatur soal ketahanan pangan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat, termasuk diusulkan adanya sanksi administratif bila ada pihak-pihak yang ditunjuk gagal memenuhi dan menjaga ketersedian pangan.

Dalam revisi UU ini juga diusulkan adanya badan baru yang secara khusus mengatur soal pangan dengan nama Badan Otoritas Pangan (BOP) yang merupakan peleburan dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Dewan Ketahanan Pangan dan Badan Urusan Logistik (BULOG).

"Karena menurut pandangan kami, lembaga-lembaga pangan tersebut selayaknya tidak dipisah-pisah dan membuat kebijakan masing-masing. Komisi IV menginginkan lembaga otoritas ini nantinya sebagai lembaga yang kuat bukan saja sebagai operator tapi juga sebagai pengambil kebijakan maupun perumus kebijakn dalam pemenenuhan kebutuhan pangan," kata politisi Demokrat ini.