Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dituduh Membunuh, 9 Sekuriti Mencari Keadilan

Demi Keadilan, Adnan Rela Hidup Menggelandang di Jakarta
Oleh : Shodiqin
Senin | 31-10-2011 | 15:14 WIB
Lapsus_31_Okt_Adnan.jpg Honda-Batam

Adnan, korban penangkapan, penahanan, dan penyiksaan polisi Polsek Batam Kota dan Polda Kepri. batamtoday/ Shodiqin.

Sendirian, Adnan terbang ke Jakarta. Sampai di ibukota negara Republik Indonesia, sekuriti yang ditangkap dan disiksa anggota polisi Polda Kepri karena diduga terlibat pembunuhan Putri Mega Umboh itu, melapor ke Komnas HAM. Selanjutnya, selama sebulan, ia rela hidup menggelandang: tidur di kolong jembatan Semanggi dan mencari sesuap nasi dengan mengamen di Metromini jurusan Pasar Minggu-Tanah Abang.

Penyiksaan anggota polisi terhadap Adnan, membuat pria berkulit hitam dengan rambut keriting itu, bertekad melaporkan peristiwa yang menimpanya ke Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM). Laporan ini adalah yang pertamakali dilakukan oleh salah seorang dari 9 sekuriti yang dituduh membunuh Putri Mega Umboh. Tanpa teman, tanpa penasehat hukum, Adnan merogoh koceknya sendiri menuju Komnas HAM.

Pada awal Juli 2011, Adnan sampai di Kantor Komnas HAM, melaporkan kejadian yang dialaminya, terutama mengenai penyiksaan yang dilakukan polisi terhadapnya. Komnas HAM menerima laporan tersebut, dan Adnan harus mencar-cari hidup di Jakarta sendirian.

Demi Keadilan Demi Harga Diri
Adnan bukanlah orang yang secara finansial mampu membiayai keperluannya ke Jakarta. Namun, demi keadilan, demi harga diri, ia harus rela menjual apa yang dia punya untuk ongkos ke Jakarta. "Aku tak ambil pusing biaya dari mana? Aku jual saja barang-barang yang kupunya untuk ongkos ke Jakarta," ujar Adnan kepada batamtoday, Senin (31/10/2011), mengulang keterangannya seperti yang telah disampaikan sebelumnya kepada wartawan batamtoday, Shodiqin N.

Perasaan Adnan bagai diiris-iris, terasa betul menyayat hati. Andai tak dituduh membunuh pun, sebenarnya Adnan sedang gundah gulana memikirkan keadaan ekonomi keluarga yang tak kunjung aman.

Hari-harinya di Kota Batam, Adnan hanya bekerja sebagai sekuriti. Hasil yang didapat dari bekerja di satuan pengamanan hanya pas-pasan untuk menghidupi dirinya bersama satu istri, Siti Holo Harahap, dan salah satu anaknya, Ratnasari (12).

Pria kelahiran Aceh, pada 1974, ini memiliki dua anak. Anak pertama bernama Linda (16), tinggal bersama neneknya di Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Sedangkan anaknya yang kedua, Ratnasari, tinggal
bersama Adnan dan istri, di Kampung Nanas, Kota Batam.

Di tengah kesibukannya sebagai sekuriti dan membantu urusan rumah tangga, serta kadang-kadang mengantar anaknya sekolah di SD Winsor, Nagoya-Batam, tiba-tiba Adnan ditangkap polisi. Adnan kaget karena ia merasa tak pernah melakukan sesuatu hal yang membuat polisi harus menangkapnya. Ada apa?

Ternyata, polisi dari Polda Kepri menangkap Adnan karena diduga terlibat pembunuhan terhadap Putri Mega Umboh. Putri adalah istri dari AKBP Mindo Tampubolon, Kasubdit Reskrimsus Polda Kepri.

Putri Mega Umboh adalah korban pembunuhan yang dibunuh pada Jum'at (24/6/2011), di rumahnya di Kompleks Perumahan Anggrek Mas 3, Kota Batam. Jasad Putri ditemukan dengan kondisi mengenaskan di hutan Telaga Punggur, Kota Batam, Kepulauan (Kepri), Minggu (26/6/2011).

Putri ditemukan tewas dalam mobil Nissan X Trail BP 24 PM milik suaminya dengan empat luka tusukan di dada dan leher tergorok.

Mayatnya kemudian dimasukkan ke dalam koper dan dibuang ke jurang dekat SMPN 17 Telaga Punggur tersebut.

Kemudian, Ujang dan Ros ditangkap dan ditahan sebagai tersangka pembunuh. Tak berapa lama kemudian, 9 sekuriti ditangkap. Lalu, 7 di antaranya dijadikan tersangka.

Sebagai tersangka pembunuhan, tujuh sekuriti itu pun meringkuk di tahanan Kepolisian Sektor (Polsek) Batam Kota selama dua hari dan ditahan di Kepolisian Daerah (Polda) Kepulauan Riau (Kepri) selama sebulan lebih: pada Senin 27 Juni 2011 ditangkap dan ditahan lalu pada Sabtu 30 Juli 2011 penahanannya ditangguhkan.

Sementara 2 sekuriti lainnya yakni Aris dan Adnan dibebaskan setelah ditahan di Polsek Batam Kota selama dua hari dan ditahan di Polda Kepri empat hari.

Aris dan Adnan dibebaskan karena memang tidak ada bukti sama sekali mengenai keterlibatan keduanya dalam pembunuhan dimaksud. Seperti diceritakan Adnan kepada batamtoday, Rabu (24/8/2011), bahwa ia memang sebagai sekuriti di CV Zito Sasa. Namun, ketika ia ditangkap, tempat kerjanya adalah di Diamond, dengan Kepala Sekuriti, Aris. Adnan bertugas di Perumahan Anggrek Mas 3, beberapa waktu sebelumnya, dengan Kepala Sekuriti, Dodo.

"Jadi dari mana polisi menyangkutkan saya terlibat dalam pembunuhan?" Kalau pun polisi menganggap bahwa semua sekuriti Perumahan Anggrek Mas terlibat, tetapi Adnan --dan juga Aris, tidak bertugas di tempat tersebut.

Meski bebas, Aris dan Adnan juga mengalami penyiksaan ketika ditahan di Polsek Kota Batam dan Polda Kepri. "Dipukul, ditendang, ditempeleng, diinjak-injak, itu menjadi makanan sehari-hari," ujar Adnan. Bahkan, Adnan menyaksikan, seorang polisi menyiksa tahanan lainnya dengan menonjok pakai benda keras ke kepala, hingga kepala sang tahanan mengucur darah.     

Beberapa hari selepas dari tahanan, Adnan berangkat ke Jakarta, melaporkan kejadian yang dialaminya ke Komnas HAM. Dan, Komnas HAM baru turun ke Kota Batam, pada Rabu (24/8/2011), setelah korban lain juga melapor ke Komnas HAM.

Hidup Menggelandang di Jakarta
Kolong Jembatan Semanggi sangat luas, lebarnya kira-kira 100-an dan panjangnya tak kurang dari dua kali lebar. Di atas kolong tersebut, ada jalan layang yang menghubungkan Jalan Gatot Subroto-Jalan Sudirman dan Jalan Sudirman-Jalan Gatot Subroto di sisi lainnya.

Di kolong jembatan itulah Adnan tinggal, berbaur dengan penghuni lama yang telah malang melintang hidup di jalanan di Jakarta.

Ceritanya, seusai Adnan melapor ke Komnas HAM, di Jalan Latuharhary Jakarta; dia kebingunan mau ke mana? Dia coba-coba saja berjalan kaki ke arah Dukuh Atas. Nah, di bawah kolong jembatan, dekat stasiun Dukuh Atas (Sudirman), tepatnya di Jalan Blora, dia bertemu seseorang lelaki suku Jawa.

"Setelah saya ceritakan nasib saya, lelaki suku Jawa itu memberikan saya tempat tinggal. Saya pun tinggal di penginapannya, tak jauh dari Jalan Blora. Sekitar dua minggu saya tinggal di penginapan
itu," kata Adnan.

Lalu, Adnan meninggalkan penginapan tersebut. Alasannya, "Saya kadang makan, tapi lebih banyak tidak makan. Saya juga tidak bisa merokok di situ," ceritanya.

Dari penginapan, Adnan menelusur Jalan Sudirman hingga sampailah ke tempat kolong jembatan Semanggi. Di kolong jembatan Semanggi itulah, Adnan berbaur dengan orang-orang dan anak-anak jalanan.

Kolong jembatan Semanggi menjadi tinggal baru bagi Adnan. Adnan ikut bekerja bersama dengan sebagian anak-anak jalanan itu. Hari-hari Adnan pun berubah menjadi pengamen. Dia mengamen di Metromini jurusan Pasar Minggu-Tanah Abang. "Dari ngamen itulah, saya bisa makan-minum kenyang dan merokok. Tak apa tinggal di kolong jembatan, tapi perut kenyang," ujar Adnan.

Kira-kira dari minggu keempat Juli hingga minggu ketiga Agustus 2011, Adnan merasa enjoy saja menikmati hidup di kolong jembatan Semanggi dengan pekerjaan utama mengamen. Selama mengamen di Metromini, Adnan menjadi hafal kebiasaan kernet/kondektur meneriakkan pemberhentian bus: 'Pasar Minggu, Kalibata, Pomad, Pancoran, Kramat, Tegal Parang, Kuningan, LIPI, Gayus (eh.. Dirjen
Pajak), Komdak, Benhil, Karet, Dukuh Atas, Tosari, HI, Sarinah, BI, Tanah Abang'.

Namun begitu, Adnan tetap teringat pada tujuan utamanya yakni menuntut keadilan. Ia pun mendengar ketika tersangka Suprianto (yang penahanannya telah ditangguhkan), salah seorang sekuriti CV Zito Sasa yang bertugas di Perumahan Anggrek Mas 3, bersama pengacaranya Sutan Siregar, mendatangi Komnnas HAM, pada Selasa (16/8/2011).

Beberapa hari kemudian, Adnan meninggalkan kolong jembatan Semanggi itu. Sebab, dengar-dengar, Komnas HAM akan segera turun ke Batam. Dan betul, ketika pada minggu keempat Agustus 2011, Adnan pulang ke Batam, tak lama kemudian Komnas HAM turun ke Kota Batam.

Komnas HAM datang ke Batam pada Rabu (24/8/2011), dan Adnan juga diminta datang menemui tim Komnas HAM di suatu tempat.

Namun demikian, hingga kini Adnan tetap terabaikan. Pekerjaan di CV Zito Sasa sudah distop, sementara nasibnya sebagai korban yang mengalami penyiksaan polisi tak juga dapat ganti rugi!