Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tiap Tahun May Day, Tapi Masih Ada Pekerja Terima Upah di Bawah UMK
Oleh : habibie Khasim
Sabtu | 29-04-2017 | 16:26 WIB
Cholderia-Sitinjak-400x192.gif Honda-Batam

Cholderia Sitinjak, Ketua FSPSIR Kota Tanjungpinang (Foto: Habibie Khasim)

BATAMTODAY.COM, Tanjungpinang - Setiap tanggal 1 Mei, pemerintah menentapkan tanggal tersebut sebagai hari buruh dan ditetapkan juga sebagai hari libur nasional. Akan tetapi, saban tahun memperingati hari buruh atau biasa disebut May Day, nasib pekerja di Tanjungpinang masih sama. Yaitu, setiap tahun masih saja menerima upah di bawah upah minimum kerja (UMK), padahal setiap tahun UMK naik. 

Hal ini dikatakan Ketua Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Reformasi (F SPSI R) Kota Tanjungpinang, Cholderia Sitinjak sebagai diskriminasi yang sangat nyata, namun pemerintah tidak dapat berkata-kata.

Menurut Cholderia, penetapan hari buruh dan bahkan dijadikan hari libur nasional itu, hanyalah seremonial dan pencitraan pemerintah saja. Sementara, langkah tegas untuk membela nasib pekerja, khususnya di Tanjungpinang yang masih banyak dibayar di bawah UMK, tidak ada sama sekali.

"Tuntutan selalu sama, tapi suara buruh tak pernah digubris. Seremonial saja, ini ditetapkan sebagai hari libur nasional, praktiknya nol besar. Pengawasan pemerintah dan ketegasan mereka kepada perusahaan nol," tutur Cholderia saat dihubungi, Sabtu (29/4/2017).

Cholderia mengatakan, saat ini ada pekerja toko baju atau supermarket yang digaji hanya Rp1 juta per bulan. Padahal, UMK Tanjungpinang sudah capai Rp2,3 juta, namun gaji karyawan masih jauh di bawah itu.

"Kita tidak melakukan survei, namun tetap bertanya, kadang juga menerima pengaduan. Ternyata, masih ada pekerja yang gajinya Rp1 juta per bulan. Ini sangat miris sekali, padahal UMK sekarang Rp2,3 juta," kata wanita yang bergelar Master Hukum tersebut.

Cholderia mengatakan, sebenarnya perusahaan yang tidak membayar upah sesuai UMK dapat dipidanakan. Namun, pengawasan terhadap itu sangat kurang, sehingga perusahaan seenaknya menerapkan aturan sendiri dan tidak mengindahkan aturan yang telah dibuat pemerintah.

Ini menunjukkan bahwa pemerintah dikangkangi pengusahaan. Karena, aturan yang pemerintah buat tidak digubris dan bahkan dianggap angin lalu saja. Penandatanganan UMK hingga ke tingkat Gubernur hanya seremoni di atas kertas, sementara realisasinya tidak pernah dilakukan pengawasan.

"Pengawasan sekarang ini di Pemerintah Provinsi, sedangkan kabupaten/ kota belum memiliki pengawasan ini. Namun apa kerja mereka kita tidak tahu, pengawasnya siapa saja kita juga tidak tahu. Ini yang sangat dikecewakan oleh buruh, pemerintah tutup mata dan tidak berani bersuara untuk kaum konglomerat. Alhasil buruh terus tertindas," tutur Cholderia.

Editor: Udin