Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Atasi Korupsi yang Merajelala

Ketua DPR Minta Berlakukan Pembuktian Terbalik
Oleh : Surya Irawan
Selasa | 13-09-2011 | 13:32 WIB

PALEMBANG, batamtoday - Ketua DPR Marzuki Alie menilai, perlu dilakukan upaya luar biasa untuk memberantas kasus korupsi yang sudah merajalela saat ini, yakni melakukan pembuktian terbalik. Sebab, korupsi termasuk extra ordinary crime ( kejahatan luar biasa) sehingga diperlukan aturan yang efektif dan komitmen bersama untuk memberantas korupsi.

Hal itu disampaikan Ketua DPR Marzuki Alie saat menjadi narasumber dalam Seminar Nasional, "Sistem Pembuktian Terbalik dan Traksaksi Keuangan Non Tunai, Strategi Baru Pemberantasan Korupsi, di Palembang kemarin. "Kalau tidak dilakukan usaha luar biasa, sulit memberantas korupsi dengan melakukan sistem pembuktian terbalik," kata Marzuki.

Menurut Marzuki, pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan melakukan pembatasan transaksi tunai (non-cash payment) dan menerapkan sistem hukum pembuktian terbalik, serta memberlakukan hukuman berat bagi para koruptor dan memberikan pemutihan.

"Pembatasan transaksi tunai atau uang kas diperbankan penting dilakukan untuk membatasi ruang gerak koruptor yang akhir-akhir ini sering menggunakan cash payment dalam transaksinya. Non-cash payment juga mempermudah pemerintah melakukan kontrol peredaran uang di masyarakat," katanya.

Karena itu, diperlukan instrumen hukum untuk mengatur ketentuan tersebut seperti UU dan peraturan Bank Indonesia yang lebih kuat tentang pembatasan transaksi non tunai. “Kalau transaksaksi dibatasi Rp 5 juta  misalnya, orang yang akan menyuap tidak akan bisa lebih dari nilai itu,” katanya.

Saat ini, lanjut Marzuki, semakin sulit melakukan upaya pemberantasan korupsi karena cara-cara yang digunakan semakin canggih. Koruptor, katanya, sudah makin pintar, tidak lagi melakukan transaksi antar bank karena mudah dilacak PPATK (Pusat Pemeriksaan dan Analisa Transaksi Keuangan).Modus korupsi berubah dengan memberikan uang tunai .

“Korupsi dilakukan dengan ‘kardus duren’, ‘boks mobil’, kalau gitu bagaimana PPATK bisa melacaknya?” tanya Marzuki. 

Dengan adanya pembatasan maksimum transaksi perbankan ini, menurutnya, tidak hanya memperkuat sistem perbankan untuk menghindari rush (penarikan besar-besaran), tetapi dapat pula meningkatkan pendapatan negara dari pajak.

"Untuk penanganan korupsi yang masuk dalam kategori kejahatan kemanusiaan (extra ordinary crime) harus didukung dengan memberlakukan sistem hukum pembuktian terbalik. Sehingga perlu dibuat UU yang khusus mengatur praktek ini,” katanya.

Tidak heran bila praktek penanganan kasus korupsi di Indonesia, sepengetahuannya tidak pernah menggunakan sistem pembuktian terbalik. Padahal sistem ini telah diberlakukan dibeberapa negara seperti Hongkong, Malaysia dan Singapura dan dinilai cukup efektif untuk memberantas korupsi.

"Kelambanan penerapan sistem hukum  ini tidak hanya karena landasan hukum yang tidak jelas tetapi juga  pengaruh minimnya pemahaman aparat penegak hukum pada substansi dan cara penerapan pembuktian terbalik dalam penyelesaian kasus korupsi.

Jika pembuktian terbalik dapat dilakukan, tegas Marzuki, tetap harus didukung dengan hukuman yang berat bagi koruptor sehingga pemberantasan korupsi bisa efektif. Sebab, di dalam UU tentang Pemberantasan Korupsi telah ditegaskan adanya hukuman mati dan hukuman penjara maksimal 20 tahun. Namun, hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor selama ini tergolong ringan sehingga koruptor tidak jera untuk melakukan korupsi.

“Sayangnya Indonesia tidak pernah memberi sanksi pidana mati, remisi justru banyak diberikan pada koruptor padahal cukup bisa memberikan efek jera. China memberlakukan hukuman mati,dan Latvia dengan UU Pemotongan Generasi, kenapa Indonesia tidak melakukan," katanya.