Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Upaya untuk Singkirkan Fahri Hamzah Dinilai Terlalu Kasar
Oleh : Surya
Kamis | 14-01-2016 | 12:42 WIB
Budyatna.jpg Honda-Batam
Pengamat politik Universitas Indonesia Muhammad Budyatna

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Muhammad Budyatna mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar pemerintahannya tidak melakukan upaya-upaya  membungkam demokrasi.

Upaya untuk memecah belah partai seperti yang dialami oleh Partai Golkar, PPP dan PKS saat ini, adalah upaya untuk membungkam demokrasi.

Cara seperti ini akan membuat Jokowi jatuh dan jatuhnya akan jauh lebih menyakitkan dibandingkan kejatuhan Soeharto di awal era refromasi. 

"Caranya terlalu kasar. Kalau bisa dirayu seperti PAN, mereka rayu, kalau tidak maka yang dialami oleh Partai Golkar, PPP dengan memecah belah internal partai pun dilakukan. Kalau  tidak mempan juga maka gaya intimidasi pasti akan dilakukan seperti terhadap PKS," ujar Budyatna di Jakarta, Kamis (14/1/2016).

Dirinya yakin dalam kasus PKS, gaya memecah belah tidak mempan dilakukan karena PKS adalah partai yang solid seperti halnya yang bisa dilakukan pada Partai Golkar dan PPP. Gaya yang digunakan pada PAN dengan menawarkan jabatan pun tidak akan mempan.

"Jadi untuk kasus PKS saya yakin cara ketiga yaitu intimidasi kasus yang dilakukan, aromanya semakin kuat.Bisa jadi seperti  yang sudah diutarakan oleh Fahri Hamzah ada elit-elit PKS yang tersandung kasus korupsi," jelasnya.

Fahri menurutnya merupakan ganjalan bagi banyak pihak karena kejujuran dan keberaniannya melawan berbagai kekuatan yang besar. Apalagi yang bersangkutan ikut menggagas pansus Pelindo dan pansus Freeport.

"Kalau ini dilaksanakan akan banyak orang yang kebarakaran jenggot. Jadi banyak pihak yang tentunya akan melawan Fahri. Seperti halnya dalam kasus Budi Waseso akan ada pihak yang mau mati-matian menjatuhkan semua  pihak yang berupaya membongkar kasus ini seperti yang pernah dialami oleh bekas Kabareskrim Budi Waseso. Cuma bedanya mengganti Fahri tidak akan semudah mencopot Budi Waseso," tegasnya. 

Budyatna pun mengingatkan tidak ada gunanya menerapkan cara seperti itu, karena justru akan mempersulit Jokowi sendiri. Kalaupun seluruh partai diajak bergabung dalam pemerintahan Jokowi-JK, tidak akan ada gunanya.

Karena yang penting bagi rakyat itu adalah pemerintahan yang bekerja bukan pemerintahan yang hanya terus berupaya mengamankan diri dengan mengumpulkan partai politik sebanyak-banyaknya.

Jokowi pun diingatkan untuk belajar dari Soeharto agar tidak menyalahgunakan kekuasaan. Kalau menyalahgunakan kekuasaan, maka orang-orang yang dekat padanya pun perilakunya juga hanya akan memanfaatkan dirinya. 

Dirinya pun meyakinkan kalau cara seperti ini terus digunakan yang menempel pada Jokowi adalah para penjilat kekuasaan dan mereka pasti tidak akan loyal dan akan segera meninggalkan Jokowi kalau situasi politik berubah dimana rakyat sama sekali kehilangan kepercayaan padanya.

"Jadi kalau boleh saran, manfaatkan saja masa kepemimpinan ini dengan bekerja untuk rakyat.  Buang para penjilat di sekitarnya dan dengarkan orang-orang yang berani mengkritiknya. Jangan orang-orang yang menyengsarakan rakyat meski berada didalam satu barisan koalisi dengannya ddipelihara, sementara yang berani dan jujur yang berada di oposisi," tandasnya.

Sebelumnya di kalangan wartawan, wacana pergantian Fahri muncul karena adanya tekanan terhadap PKS agar mengganti Fahri yang dikenal vokal dan bersih. 

Tekanan itu dikabarkan adalah akan dibongkarnya kasus-kasus yang melibatkan para pejabat PKS yang pernah menjadi menteri di era pemerintahan SBY lalu seperti bekas Menkominfo Tifatul Sembiring dalam kasus sambungan internet kecamatan dan Menteri Pertanian Suswono dalam kasus pengadaan sapi yang juga sudah berhasil memenjarakan Presiden PKS, Lutfi Hasan Ishak.

Editor : Surya