Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Risiko untuk Bunuh Diri Penyandang Sindrom Asperger Sembilan Kali Lebih Besar
Oleh : Redaksi
Jum'at | 04-07-2014 | 10:32 WIB

BATAMTODAY.COM - ORANG dewasa yang didiagnosis dengan sindrom Asperger memiliki pikiran untuk bunuh diri sembilan kali lebih mungkin dibanding orang normal. Penelitian yang diterbitkan dalam The Lancet Psychiatry, menemukan, 374 orang yang didiagnosis dengan Sindrom Asperger berada pada risiko tinggi bunuh diri dan depresi dibandingkan dengan sisa dari populasi di Inggris umumnya sehat.

"Temuan kami mengkonfirmasi laporan anekdotal bahwa orang dewasa dengan Sindrom Asperger memiliki risiko lebih tinggi untuk bunuh diri dibandingkan dengan kelompok klinis lain, dan depresi yang merupakan faktor risiko utama dalam hal ini," kata Dr Sarah Cassidy dari Pusat Penelitian Autisme di Cambridge University, dalam siaran pers seperti yang dilansir Medical Daily.

Sindrom Asperger merupakan bagian dari gangguan spektrum autisma (ASD) yang mendefinisikan kelompok yang berbeda dari gangguan kemampuan sosial, kesulitan berkomunikasi dan terbatasnya komunikasi, serta perilaku berulang. Namun, Asperger sering tidak disadari sebelum anak berusia 5 atau 6 karena kemampuan bahasa berkembang pada kecepatan yang normal.

Namun, kontak mata yang minim, bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan ketidakmampuan untuk mengadakan hubungan dengan teman sekelas atau teman seusia lainnya, adalah karakteristik utama dari gangguan ini.

Dalam studi ini, peneliti Inggris mensurvei 256 pria dan 118 wanita selama 2004 - 2014 di Lifetime Cambridge Sindrom Asperger Service (CLASS) klinik di Cambridge. Mereka menemukan bahwa 66 persen dari kelompok tersebut, yang semuanya didiagnosis Asperger, telah bunuh diri dan 35 persen telah merencanakan atau bahkan mencoba bunuh diri pada satu kesempatan dalam hidup mereka.

Hanya 17 persen dari populasi umum di Inggris yang memiliki pikiran bunuh diri, yang menempatkan pasien Asperger pada risiko sembilan kali lebih besar untuk bunuh diri.

Menurut Yayasan Amerika untuk Pencegahan Bunuh Diri, faktor risiko yang paling umum untuk bunuh diri adalah depresi, gangguan bipolar, alkohol atau penyalahgunaan zat, skizofrenia, gangguan kepribadian antisosial, gangguan kecemasan, dan riwayat keluarga yang pernah berusaha atau telah bunuh diri. Gangguan spektrum autisme, seperti Asperger, dapat ditambahkan ke daftar faktor risiko setelah itu lanjut diteliti.

Prevalensi bagi mereka dengan Asperger tidak memadai karena itu gangguan ini baru diidentifikasi pada tahun 1944. Para ahli memperkirakan bahwa satu dari 88 anak-anak akan memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda pada spektrum Asperger pada saat mereka berusia delapan tahun, menurut National Institute of Neurological Disorders and Stroke.

Saat ini, satu dari 100 orang (700.000) menyandang gangguan spektrum autisme. Laki-laki empat kali lebih mungkin untuk menyandang Asperger dibandingkan anak perempuan, yang menunjukkan favoritisme jenis kelamin yang sama pada gangguan autisma lainnya.

"Orang dewasa dengan Sindrom Asperger sering menderita depresi sekunder karena isolasi sosial, kesepian, pengucilan sosial, kurangnya layanan masyarakat, prestasi yang buruk, dan pengangguran. Depresi dan risiko bunuh diri mereka dapat dicegah dengan dukungan yang tepat," kata Simon Baron-Cohen, profesor dari Peneliti Pusat Autisma di Cambridge University, dan klinik CLASS di Cambridgeshire, dalam siaran pers.

"Penelitian ini harus menjadi wake-up call yang mendesak untuk kebutuhan layanan yang berkualitas tinggi untuk mencegah kehidupan yang tragis." (*)

Editor: Roelan