Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Bukti Baru, Polusi Udara Bisa Sebabkan Autisma dan Skizofrenia
Oleh : Redaksi
Kamis | 12-06-2014 | 13:12 WIB

BATAMTODAY.COM - PENELITIAN baru dari University of Rochester Medical Center menjelaskan bagaimana paparan polusi udara pada awal kehidupan menghasilkan perubahan berbahaya dalam otak tikus. Termasuk pembesaran bagian otak yang terlihat pada manusia yang memiliki autisma dan skizofrenia.

Seperti dalam autisme dan skizofrenia, mayoritas perubahan itu terjadi pada laki-laki.Tikus yang diteliti juga tampil buruk dalam tes memori jangka pendek, kemampuan belajar, dan impulsif.

Temuan baru ini konsisten dengan beberapa penelitian terbaru yang telah menunjukkan hubungan antara polusi udara dan autisma pada anak. Paling menonjol, sebuah penelitian di JAMA Psychiatry pada 2013 yang melaporkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah dengan kadar polusi udara lalu lintas yang tinggi selama tahun pertama hidup, mereka tiga kali lebih mungkin untuk mengembangkan autisma.

"Temuan kami memperkaya bukti bahwa polusi udara mungkin memainkan peran dalam autisma, serta gangguan perkembangan saraf lainnya," kata Deborah Cory-Slechta PhD, profesor kedokteran lingkungan di University of Rochester dan penulis utama studi tersebut, yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Health Perspectives.

Selama tiga kali percobaan, Cory-Slechta dan rekan-rekannya memaparkan tikus dengan kadar polusi udara selevel polusi yang ditemukan di kota-kota menengah AS selama jam sibuk. Eksposur dilakukan selama dua minggu pertama setelah lahir, saat kritis dalam perkembangan otak. Tikus-tikus yang dipaparkan polusi udara selama empat jam setiap hari selama dua periode empat hari.

Dalam satu kelompok tikus, otak diperiksa 24 jam setelah paparan polusi berakhir. Pada semua tikus, peradangan ternyata merajalela di seluruh otak, dan ventrikel lateral -ruang di setiap sisi otak yang berisi cairan cerebrospinal- membesar dua sampai tiga kali ukuran normal.

"Ketika kita melihat lebih dekat ke ventrikel, kita bisa melihat bahwa materi putih (white matter) yang biasanya mengelilingi mereka, belum sepenuhnya berkembang," kata Cory-Slechta.

 "Tampaknya bahwa peradangan telah merusak sel-sel otak dan mencegah wilayah itu untuk berkembang, dan ventrikel hanya diperluas untuk mengisi ruang."

Masalah juga diamati pada kelompok tikus kedua pada 40 hari setelah terpapar, dan kelompok lain 270 hari setelah paparan. Hasilnya menunjukkan kerusakan otak yang permanen.

Otak tikus pada kelompok ketiga juga memiliki peningkatan kadar glutamat, neurotransmitter, yang juga terlihat pada manusia dengan autisma dan skizofrenia.

Sebagian besar polusi udara didominasi partikel karbon yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar pembangkit listrik, pabrik-pabrik, dan mobil. Selama beberapa dekade, penelitian tentang efek kesehatan dari polusi udara telah difokuskan pada bagian tubuh yang kerusakannya paling jelas, yakni paru-paru.

Namun, penelitian itu mulai menunjukkan bahwa partikel yang berukuran berbeda menghasilkan efek yang berbeda. Partikel yang lebih besar -yang diatur oleh Environmental Protection Agency (EPA)- sebenarnya yang paling berbahaya karena menyebabkan batuk.

Tapi banyak peneliti percaya bahwa partikel yang lebih kecil, yang dikenal sebagai partikel ultrafine -yang tidak diatur oleh EPA- adalah yang lebih berbahaya, karena mereka cukup kecil sehingga bisa melakukan perjalanan jauh ke dalam paru-paru dan diserap ke dalam aliran darah, dan dapat menghasilkan efek toksik seluruh tubuh.

Asumsi itu dipimpin Cory-Slechta untuk merancang serangkaian percobaan yang akan menunjukkan apakah partikel ultrafine memiliki efek yang merusak pada otak. "Saya pikir temuan ini akan menimbulkan pertanyaan baru, apakah standar peraturan (EPA) saat ini untuk kualitas udara sudah cukup untuk melindungi anak-anak kita?" kata Cory-Slechta. (*)

Editor: Roelan