Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Penyebab Rendahnya Peringkat Provinsi Kepri

DPD Kepri Nilai Praktik KKN di Pemprov Kepri Mengkuatirkan
Oleh : Surya Irawan
Rabu | 11-05-2011 | 07:48 WIB

Jakarta, batamtoday - DPD Kepulauan Riau (Kepri) menilai praktik KKN di lingkungan Pemerintahan Provinsi Kepri saat ini sudah sangat mengkwatirkan, dimana sebagian besar personil birokrasi tidak diisi oleh SDM yang tidak berkualitas. Fakta inilah yang menyebabkan rendahnya peringkat Provinsi Kepri dalam evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom hasil pemekaran (EDOHP) dan evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah (EKPPD) yang diselenggarakan pemerintah beberapa waktu lalu.

"Budaya KKN di Kepri saat ini sudah sangat mengkawatirkan dan harus dikurangi. Bagaimana SDM-nya mau berkualitas kalau yang masuk anak, keponakan dan saudara tanpa melalui seleksi. Inilah yang menyebabkan Kepri kalah dari Maluku Utara dan Sulawesi Barat, apalagi sama Sulawesi Utara," kata Aida Ismeth Abdulllah, Anggota DPD Kepri di Jakarta, Rabu (11/5/2011).

Aida mengaku miris melihat kondisi Kepri saat ini yang tidak menarik lagi bagi investor asing, padahal telah dilengkapi oleh kawasan ekonomi khusus (KEK) dengan fasilitas free trade zone (FTZ). Gubernur Kepri HM Sani dinilai tidak memiliki kemampuan untuk menarik minat investor untuk menanamkan investasinya di Kepri, dan hanya mengurusi acara-acara seremonial saja.

"Tidak ada investor baru yang masuk, yang sudah ada juga banyak yang mulai mengalihkan modalnya ke negara lain. Ddulu Sulawesi Utara, Gorontalo dan Bangka Belitung belajar ke Kepri. Mereka maju sementara kita stagnan, Kepri sekarang sudah tidak menarik lagi," katanya.

Istri mantan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah ini mengatakan, untuk menjadikan Kepri sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia diperlukan kualitas SDM yang memadai. Sehingga APBD tidak dihabiskan untuk kegiatan seremonial belaka, sementara tujuan utama menjadikan Kepri sebagai pusat pertumbuhan ekonomi terabaikan.

"Anggaran selama ini habis untuk acara-acara seremonial, ramai-ramai ikut pameran ke luar negeri sementara feedback-nya tidak ada. Lobi ke pemerintah pusat dan investor kurang dilakukakan akibat SDM-nya tidak berkualitas," katanya.

Aida menegaskan, dalam rekruitmen CPNS seharusnya Gubernur Kepri tidak campur tangan dalam proses seleksi dengan mendudukkan orang-orangnya di jajaran pemerintahannya, tanpa melihat kebutuhan dan kualitas SDM yang diperlukan. Ia berharap Pemprov Kepri perlu meniru langkah Pemerintah Jepang dalam proses rekruitmen kepegawaian di pusat dan daerah.

"Mereka sangat disiplin dan punya budaya malu, masak kita negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa tidak malu menempatkan orang-orang dekatnya di pemerintahan. Gubernur seharusnya tidak boleh ikut campur," katanya.

DPD Kepri, kata Aida, menyatakan siap membantu Pemprov Kepri melobi pusat dan investor asing agar investasi Kepri agar menarik lagi. Pemprov Kepri juga diminta proaktif berkomunikasi dengan pemerintah pusat agar pembangunan infrastruktur di Kepri dapat didukung oleh APBN.

"Kita tidak ingin ekonomi Kepri stagnan terus, tapi mudah-mudahan dapat dilanjutkan kembali nanti termasuk kawasan ekonomi khusus," katanya.

Seperti diketahui, dalam evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom hasil pemekaran (EDOHP) dan evaluasi kinerja penyelengaraan pemerintahan daerah (EKPPD) yang diselenggarakan pemerintah beberapa waktu lalu, peringkat Provinsi Kepri mengecewakan. Dalam EDOHP terhadap Kepri berada di peringkat 5 dari 7 provinsi yang dievaluasi, sedangkan dalam EKKPD Kepri berada di peringkat 16 dari 33 provinsi.

Peringkat Kepri di dalam EDOHP kalah dari Provinsi Maluku Utara, Gorontalo, Bangka Belitung dan Sulawesi Utara, serta Kepri hanya lebih baik baik dari Banten dan Papua Barat. Evaluasi DOHP menggunakan indikator kesejahteraan masyarakat, good governance, pelayanan publik dan daya saing.

Pada evaluasi tersebut, tingkat peningkatan pada kesejahteraan masyarakat di Kepri hanya sekitar 30,63 persen, sedangkan good govenance mencapai 74,53 persen. Sementara pelayanan publik sekitar 42,27 persen dan daya saing hanya 37,52 persen.

Peringkat EKKPD tertinggi secara nasional diduduki Provinsi Sulawesi Utara, diikuti Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, Jawa Timur, Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Jawa Barat dan Kepulauan Riau yang bertengger di peringkat 16.