Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Faisal Basri: Revisi AC-FTA Sia-Sia

Pasca AC-FTA Produk Cina Banjiri Market Domestik
Oleh : sumantri
Jum'at | 29-04-2011 | 08:29 WIB
Peta_Negara_Cina_yang_telah_menginvari_pasar_.jpg Honda-Batam

Peta Negara Cina yang telah menginvari pasar dunia melalui berbagai produknya yang terkenal murah dan bersaing

Batam, batamtoday - Pengamat Ekonomi nasional dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, seperti disarikan
oleh batamtoday, pada acara talkshow radio Trijaya Network, edisi Kamis, 28 April 2011, menyatakan pasca
penetapan Asean-China Trade Agreement (ACFTA) pada tahun 2010 silam, mengakibatkan banjirnya market domestik
oleh produk-produk Cina. Yang salah satunya disebabkan oleh bea masuk yang rendah dan penguatan rupiah. Dua
hal tersebut, menurut Faisal merupakan benang merah timbulnya sentimen market domestik terhadap produk Cina.
Melihat gelagat tersebut sejumlah element yang berkompeten terhadap perjanjian ACFTA bahkan bermaksud untuk
merevisinya, agar ketimpangan market tidak terjadi dan industri dalam negeri tidak 'mati', namun alih-alih
setuju, pengamat senior ini beranggapan, direvisi atau tidaknya ACFTA, tidak akan mengubah industri menjadi
lebih baik.

"Di revisi atau tidak, faktanya sekarang industri domestik kian tertekan dengan gelombang produk asal negeri 
Tirai Bambu tersebut, yang mengalir secara massive dan seporadis," tegas Faisal. Ekonomi kelahiran Bandung ini, mengungkapkan, dalam fenomena yang saat ini terjadi di sektor industri, bukan perjanjiannya yang dipermasalahkan, tetapi poin mengenai bea masuk barang-barang impor khususnya Cina ke Indonesia yang rendah, bahkan tidak samapi 10 persen.

"Selain bea masuk yang rendah, ada faktor lain yang menjadi masalah timbulnya sentimen terhadap produk impo khususnya dari Cina, yaitu nilai tukar rupiah yang menguat lebih cepat dari nilai tukar Yuan, sehingga mengakibatkan hampir sebagian besar produk impor dari Cina masuk ke Indonesia dengan transaksi menggunakan
takaran rupiah, karena dinilai lebih murah," tutur Faisal.

Sialnya, lanjut Faisal dalam obrolan Trijaya Networks, mengenai nilai tukar Yuan ini, pemerintah kita belum
pernah menanyakan kebijakan pemerintah Cina yang menahan mata uang Yuan, kenyataan itu diperparah dengan
tingkah pelaku usaha yang doyan melakukan pembayaran transaksi perdagangan dengan dolar dibandingkan Yuan.
"Sebenarnya itu bisa disiasati dengan menggunakan nilai rupiah dan Yuan, karena fluktuatif dolar terhadap
mata uang asing selalu berubah, mengenai selisih, orang bisnis biasanya cermat dengan melakukan perhitungan
diakhir tahun," jelas Faisal Basri.

Fakta sejarah menorehkan data histori perdagangan antara Indonesia dan Cina telah berlangsung selama ratusan
tahun, Cina adalah negara yang menganut sistem perekonomian cukup terbuka, bahkan cenderung mendekati
kapitalis dengan sedikit aroma komunis didalamnya. Hal in diutarakan oleh Ted C. Fishman, wartawan senior
Amerika serikat sekaligus penulis buku China Inc (2006), yang menyebutkan jika pemerintah Cina tidak membuka
sistem ekonomi yang telah dianut sejak lama, maka ancaman kelaparan diberbagai provinsi dan bengkaknya angka
pengangguran pada tahun 1960-1970 dan menjadi momok menakutkan bagi negeri yang pernah dipimpin oleh Mao
Zedong ini.

Ted C. Fishman juga menyebut Cina memiliki karakteristik "Socialisme With Chinese Characteristic" yang
artinya sosialisme Cina memiliki ciri tersendiri. Dalam perkembangannya, menghacdapi era digitalisasi dan
modernisasi, ideologi komunis yang masih tercium di negara itu, tidak "mengharamkan" masuknya modal asing
dan membolehkan produk negara tersebut tersebar ke berbagai belahan dunia.

Dengan demikian, negara yang berpenduduk sekitar 1,5 miliar jiwa tersebut, tidak lagi mengikuti mahzab Stalin dan karl Max, sebagai bapak komunis, khususnya dalam praktek perekonomian yang dijalankan. Faisal Basri kembali menekankan, kekuatan sistem perekonomian Cina, menyebabkan semua negara mau tidak mau, suka tidak suka, mengalami secara kualitas yang beragam. Ada stigma yang beredar bahwa produk Cina rata-rata produk 'karbitan' sementara disisi lain banyak juga yang mengaku 'nyaman' menggunakan semua produk negara tersebut.

Sejak dulu ASEAN, terutama Indonesia merupakan pasar yang sangat menggiurkan bagi semua negara tak terkecuali Cina, dan dengan kejelian para pelaku usaha negara tersebut ditambah reformasi sistem ekonomi yang diprakarsai oleh Mao Zedong dan dilanjutkan oleh Deng Xioping, tak diragukan lagi, produk Cina sukses menginvasi pasar domestik, berbagai negara ASEAN.

Wajah perekonomian negera tirai bambu tersebut kini telah berubah, sejak Deng Xioping meletakkan dasar-dasar perekonomian yang tangguh dan teruji, berwawasan baru yang diserap dari berbagai pengamat dan sistem ekonomi
dengan suhu politik yang terkendali. Dan kini negara tersebut hanya memiliki fokus "Bagaimana caranya agar
sea produk Industri Cina bisa menyebar diberbagai market diseluruh dunia secara massive, kolosal dan seporadis".