Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kekurangan 220 Ribu, Jerman Bakal Impor Tenaga Kesehatan
Oleh : Redaksi
Senin | 16-09-2013 | 17:06 WIB
StaffWellness022JC.jpg Honda-Batam
Kredit foto:  itsligo.ie

BATAMTODAY.COM, Berlin - Jerman saat ini masih kekurangan ribuan tenaga kerja di bidang pelayanan kesehatan. Pemerintah Jerman sekarang mencari juru rawat dan tenaga medis dari luar negeri, namun tidak akan melirik Indonesia atau Vietnam yang juga masih kekurangan tenaga kesehatan.


Sampai akhir dekade ini, Jerman akan kekurangan sekitar 220.000 pekerja kesehatan, demikian peringatan para ahli di Jerman. Untuk mengisi kekurangan ini, Jerman sedang berupaya untuk mengimpor juru rawat dan tenaga medis dari luar negeri. Terutama negara-negara Eropa Selatan seperti Spanyol, Potugal, Yunani dan Italia, diharapkan bisa mengirim pekerja kesehatan ke Jerman. 

Menurut pemerintah Jerman, di negara-negara ini, situasi pasar kerjanya membuat para pekerja kesehatan kemungkinan besar mau bekerja di luar negeri. Tingkat pengangguran di negara-negara itu memang cukup tinggi, sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Tapi Jerman juga mencari pekerja kesehatan dari negara-negara lain, seperti Serbia dan Bosnia-Herzegowina. Ada juga perjanjian khusus dengan Tunisia dan Filipina. Baru-baru ini, dimulai proyek kerja sama dengan Cina yang mendatangkan 150 pekerja kesehatan ke Jerman.

Kritik untuk Pemerintah Jerman
Anggota parlemen dari Partai Die Linke, Niema Movassat, mengritik langkah Jerman yang sangat gencar mencari tenaga medis di luar negeri. Karena di negara-negara sasaran Jerman, tenaga ahli juga dibutuhkan. 

"Di beberapa negara yang jadi tujuan promosi Jerman, sekarang saja sudah kekurangan tenaga kesehatan. Situasi mereka jadi makin sulit," kata Movassat.

Movassat menerangkan, Jerman melalui berbagai proyek menyalurkan bantuan ke negara-negara berkembang untuk memperbaiki pelayanan kesehatan. Tapi tenaga kesehatan yang berpendidikan sekarang malah dibujuk datang ke Jerman. 

"Bagi saya, ini tidak rasional," katanya. 

Ia mendengar dari kalangan NGO, bahwa Jerman akan mendatangkan tenaga kesehatan dari Vietnam.

Pemerintah Jerman menerangkan, mereka tetap berpegang pada aturan internasional. Memang ada kode etik WHO yang mengatur tentang pencarian tenaga kerja di bidang kesehatan. Aturan itu melarang negara maju merekrut tenaga kesehatan dari negara yang pelayanan kesehatannya tidak memadai. 

Yang menjadi ukuran adalah batas rasio 2,29 tenaga kerja untuk setiap 1.000 penduduk. Di atas angka 2,29, pelayanan kesehatan masih dianggap memadai, tapi di bawah angka itu, pelayanan sudah tidak memadai lagi. Menurut pemerintah Jerman, mereka tidak secara aktif berpromosi di Vietnam atau di Indonesia untuk mencari tenaga kesehatan.

Bersaing dengan Negara Luar
Menteri Kesehatan Jerman Daniel Bahr mengntakan, "Kami sengaja tidak membuat perjanjian dengan negara-negara yang masih kekurangan tenaga kesehatan". 

Yang jelas, Jerman memang harus mencari tenaga kerja dari luar negeri. "Ada persaingan ketat di sektor ini. Jika kita tidak aktif mencari tenaga kerja, mereka akan pergi ke Swiss atau Inggris atau Skandinavia," imbuhnya. 

Bahr menambahkan, pemerintah Jerman terus berusaha memobilisasi tenaga kerja kesehatan di dalam negeri. Tapi ini tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan.

Sementara, Ketua Asosiasi Pelayanan Kesehatan, Hubert Röser, membenarkan keterangan Menteri Kesehatan Daniel Bahr. "(Jerman) Tidak akan bisa tanpa pekerja asing," ujarnya. 

Asosiasinya membawahi sekitar 1.000 unit pelayanan kesehatan dan rumah jompo. "Tapi yang lebih penting adalah, bagaimana membenahi masalah struktural yang ada di Jerman sehingga pekerjaan juru rawat jadi lebih atraktif," kata Röser. 

Ia menuntut lingkungan kerja yang lebih baik dan pembayaran yang lebih tinggi. Mengenai tenaga kerja dari luar negeri, Röser melihat masih ada kesulitan perbedaan budaya. Pasti akan ada masalah komunikasi kalau seorang pasien Jerman berusia 80 tahun dirawat oleh juru rawat dari India, Cina atau Vietnam, katanya. (*)

sumber: Deutsche Welle