Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pengurusan Dikembalikan Lagi ke Catatan Sipil

PN Tanjungpinang Cabut Permohonan Sidang Akte Kelahiran
Oleh : Charles Sitompul
Rabu | 01-05-2013 | 13:09 WIB
akta_lahir.jpg Honda-Batam
Ilustrasi akta kelahiran.

TANJUNGPINANG, batamtoday - Pengadilan Negeri Tanjungpinang sudah menolak permohonan sidang penetapan akte Kelahiran pada warga, yang memohon pencatatan Akte Kelahiran bagi anak yang melampaui batas 60 hari sejak tanggal kelahiran.

Penolakan pemohonan penetapan kelahiran anak itu dilakukan PN Tanjungpinang sejak hari ini, Rabu (1/5/2013), pasca penetapan penghapusan pasal 32 ayat 2 UU nomor 23 tahun 2006, Tentang Administrasi Kependudukan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor:18/PUU-XI/2013 pada 30 April 2013 lalu, karena pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Atas adanya putusan MK ini, maka sejak hari ini, Rabu (1/5/2013), permohonan penetapan akte kelahiran bagai anak yang terlambat mencatatkan kelahirannya, kita tolak dan sudah tidak kita terima lagi," ujar Mulyadi, Panitera PN Tanjungpinang.

Sementara sejumlah permohonan yang sebelumnya sudah terlanjur diregistrasi dan menunggu pelaksanaan penetapan melalui proses sidang akan dicabut dan seluruh biaya administrasi yang dibayarkan pemohon akan dikembalikan.

"Hingga saat ini, data permohonan penetapan akte kahiran anak yang sempat sudah diajukan baik secara kolektif maupun perorangan di PN ada 71 berkas, mencakup, Bintan 50 berkas permohonan dan perorangan dari Tanjungpinang sebanyak 21 orang Semuanya akan kita cabut dan kembalikan pada pemohon agar segera dapat melaksanakan pengurusan langsung permohonan akte kelahiran anaknya di Dinas Catatan Sipil tanpa melalui penetapan dari PN lagi," kata dia.

Untuk hari ini saja, kata dia, masih ada 4 pemohon yang mau mendaftarkan diri, serta sejumlah pemohon yang akan disidangkan. Namun dengan adanya keptusan MK yang membatalkan pasal 32 ayat 1, dan menyatakan penetapan permohonan akte kelahiran dapat langsung diuruskan kepada pejabat pencatat akte kelahiran hingga ditolak oleh PN Tanjungpinang.

Dikuti dari situs Metro TV, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan gugatan UU Administrasi Kependudukan terkait pengurusan akta kelahiran apabila mengalami keterlambatan lebih dari 60 hari.

"Pasal 32 ayat 2 UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kata 'persetujuan' dalam pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai 'keputusan'," kata Ketua MK Akil Mochtar saat membacakan putusan dalam sidang terbuka untuk umum di Gedung MK Jakarta, Selasa (30/4).

Putusan ini atas permohonan Muntholib, warga RT 5/8 Desa Sawunggaling, Wonokromo, Kota Surabaya. Sementara pasal yang digugat berbunyi 'pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri'.

Dengan demikian, tambah Akil, Pasal 32 ayat 1 selengkapnya menjadi 'laporan pelayanan kelahiran sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat 1 yang melampaui batas 60 hari sejak tanggal kelahiran pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan kepala instansi pelaksana setempat'.

Dalam pertimbangannya, MK mengutip Pasal 28 ayat (1) UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan pelayanan akta kelahiran merupakan kewajiban pemerintah di bidang administrasi kependudukan yang diselenggarakan dengan sederhana dan terjangkau.

Pada sisi lain, setiap penduduk wajib melaporkan setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya, termasuk kelahiran.

"Akta kelahiran adalah yang sangat penting. Dengan adanya akta kelahiran seseorang mendapat pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum karena dirinya telah tercatat oleh negara," demikian pendapat MK.

Selama ini pelayanan akta kelahiran dinilai menjadi rumit dan berbelit-belit akibat kelahiran yang terlambat dilaporkan kepada Instansi Pelaksana setempat yang melampaui batas waktu 60 hari hingga satu tahun dan harus dengan persetujuan Kepala Instansi Pelaksana setempat.

Ditambah lagi, lanjutnya, jika lewat satu tahun harus dengan penetapan pengadilan seperti diatur Pasal 32 ayat (2). Karena itu, frasa "persetujuan" dalam Pasal 32 ayat (1) UU Adminduk dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam proses penerbitan akta kelahiran karena persetujuan bersifat internal di Instansi Pelaksana.

"Demi kepastian hukum yang adil, dicatat atau tidak dicatatnya kelahiran yang terlambat dilaporkan seperti dimaksud Pasal 32 ayat (1) perlu keputusan dari Kepala Instansi Pelaksana," kata Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.

Editor: Dodo