Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

ESAI AKHIR ZAMAN MUCHID ALBINTANI

Berkat, Pahlawan dan NLP
Oleh : DR Muchid Albintani
Senin | 23-11-2020 | 14:04 WIB
A-HANG-MUCHID8.png Honda-Batam

PKP Developer

DR Muchid Albintani. (Foto: Ist)

Oleh DR Muchid Albintani

MENGELABORASI kata (konsep) Berkat bersanding dengan kata (konsep) Pahlawan mempunyai hubungan simultan-signifikan (kebersamaan utama yang menentukan). Altar kebersamaan bersumber hebohnya pemberitaan media sosial, tak terkecuali media maenstream belakangan ini ihwal copot-mencopot spanduk.

Beralatar aktivitas copot-mencopot itulah boleh jadi banyak kalangan yang lupa terkait hubungan kata Berkat dengan Pahlawan. Variabel penting (penentu) pada hubungan simultan-signifikan kata Berkat dan Pahlawan adalah kata kemerdekaan.

Sementara NLP adalah kependekan dari Neuro Language Program. Kependekan ini merupakan sebuah program yang berhubungan dengan kecerdasan berkata-kata (berkomunikasi). Kepiawaian dalam menentukan, mengungkai, merangkai kata (konsep) dengan cerdas (mau'izah, hasanah, hikmah dan tegas). Istilah aqal sehat, gagal paham dan revolusi akhlaq, misalnya adalah bagian penting kepiawaian tersebut.

Berpangkal-punca heboh kegiatan copot-mencopot penyebab gaduh publik itulah menjadi penting mengulas-kilas hubungan simultan-signifikan kata Berkat, Pahlawan dan dan NLP.

Ketiga konsep penting ini ditengahi oleh variabel kemerdekaan. Variabel ini disandarlan sesuai Pembukaan (Preambule) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alinie ketiga yakni, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya".

BACA: Revolusi Akhlaq vs "Operasi Gatot"

Berkat rakhmat itulah melalui jasa pahlawan bangsa ini memperoleh kemerdekaan. Hanya sangat disayang-sesalkan manakala di dalam mengisi kemerdekaan, variabel dendam tak pernah punah. Realitas dendam yang bernuansa (berbau) DNA ideologis (genea-ideologis) amat sangat susah dilupakan.

Upaya rekonsiliasi para pihak pewaris negeri sehingga kini belum menemukan titik kesepahaman. Justru belakangan ini semakin mengencang. Penyetus utamanya tampak apabila RUU HIP belum dienyahkan dari prolegnas (proses legislasi nasional) pada dewan bukan perwakilan partai, melainkan rakyat.

Bersandar pada realitas kontestasi tersebut, maka perlunya upaya penyeimbang. Upaya ini berguna untuk meminimalisir perbedaan dalam kontestasi ideologi. Penyeimbangan akan dapat berlangsung, paling tidak perlu memahami tiga hal.

Pertama, ihwal keberkatan. Penyadaran bahwa kemerdekaan yang diperoleh karena keberkatan menjadi signifikan. Ini disebabkan bersandarkan sumber Qurani jika klasifikasi klas manusia hanya ada dua: orang beriman (muslim) dan orang kafir.

Dalam konteks inilah yang tak [belum] banyak disadari jika Alquran adalah kitabnya umat manusia baik yang beriman atau pun kafir. Konteks ke-manusia-an yang dimilki, hemat Saya amat sangat adil. Ini disebabkan menjadi manusia beriman dan atau kafir, tidak disandarkan pada persoalan warna kulit, kekayaan materi atau yang lainnya.

Manusia beriman atau tidak, bersandarkan pada pengakuan ihwal ke-tauhid-an kepada Allah SWT dan kerasulan Muhammad sebagai rasul-nabi akhir zaman yang diidentifikasi dengan istilah bersyahadat.

Selanjutnya, pada konteks ke-beriman-an atau kafir juga mengalami sirkulasi yang adil. Ini disebabkan, ke-iman-an dan ke-kufur-an bersirkulasi. Manusia yang telah beriman berpotensi menjadi murtad [kafir], sebaliknya manusia yang kafir sangat berpotensi menjadi beriman.

Dalam konteks kemerdekaan, keberkatan menjadi titik tolak dalam mengusir penjajahan yang dilakukan oleh 'orang-orang kafir' dalam konteks pelanggaran atau yang tidak berprikemanusiaan. Jadi konteksnya kemanusiaan (memanusiakan-manusia).

Esensinya bahwa kita (orang beriman, dan atau orang kafir) adalah sama-sama manusia. Oleh karena itu, penjajahan wajib dihapuskan dari muka bumi ini karena tidak sesuai dengan pri-kemanusiaan dan pri-keadilan.

Kedua, jasa pahlawan. Akhir zaman yang hidup dalam penjajahan paham materialistik yang 'mentuhankan' materi, istilah jasa pahlawan perlu diinterpretasikan kembali (reinterpretasi ulang).

Ihwal prilaku sogok-menyogok yang sudah menjadi kebiasaan (mendarah-daging), maka diperlukan tindakan struktural, terintegrasi dam terkendali untuk melawannya. Dalam hubungan ini mustahil dibantah jika diperlukan jasa seorang pahlawan. Menurut hemat Saya, pahlawannya adalah seseorang (sosok) yang terbukti anti rasuah. Pahlawan Anti Sogok (PAS).

Ketiga, ketokohan berbekal kemampuan ceramah (pidato) beretorika dengan diksi beretika. Mengedepannya istilah kekosongan kepemimpinan di akhir zaman, termasuk isu krusial yang terus-menerus masih diperdebatkan. Sekadar mengingatkan, jangan lupa jika pemicu kegiatan copot-mencopot yang heboh berlatar penggunaan diksi dalam sebuah ceramah. Diksi yang digunakan dinilai berlebihan oleh kalangan terentu.

Pada konteks penggunaan diksi menjadi pemicu, tidak salah, namun juga tidak dapat dijadikan pembenaran. Isu kekosongan kepemimpinan, hemat Saya mustahil untuk dibantah. Kata kosong, tidak saja menyiratkan bahkan eskplisit menunjukkan kehampaan. Oleh karena kosong dan hampa, maka sangat diperlukan figur yang dapat menjadi panutan.

Mustahil sebuah kebetulan manakala pigur yang dapat mengisi kekosongan tersebut adalah seseorang yang dinilai sebagai 'pahlawan anti sogok'. Realitas inilah yang oleh para pihak utamanya dikalangan pengendali kekuasaan pemerintahan negara belum dipahami.

Pertanyaan hikmahnya: apakah aktivitas copot-mencopot yang beraltar motivasi diperbolehkan? Jawabnya, boleh-boleh saja. Jikalau bermotivasi pastilah berklid-klindan dengan kepiawaian dalam perspektif NLP.

Sebaliknya, apakah diperbolehkan jika beraltar atas perintah? Masih sama, jawabnya, boleh-boleh saja. Apalagi perintahnya bersandar argumentasi sesuai undang-undang berembelkan 'demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa'.

Lalu pertanyaannya orang awam: siapa yang berwenang memerintahkan? Sesuai perundang-undangan (atas nama undang-undang), atau atas perintah seorang atasan?

Wallahualam bissawab. ***

Muchid Albintani adalah Associate Professor pada Program Studi Magister Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIP, Universitas Riau, Pekanbaru.