Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

MK Batalkan UU Hak Angket UUDS 1950

F-PAN : HAK Angket Bisa Tingkatkan Suhu Politik di Tanah Air
Oleh : Surya
Senin | 31-01-2011 | 18:33 WIB

Jakarta, Batamtoday - Rencana pembentukan Panitia Khusus Angket Pajak yang berawal dari usulan menyatakan pendapat (Hak Angket), yang digagas F-PG, F-PDIP, F-PKS, F-PPP, F-Gerindra dan F-Hanura, dinilai F-PAN dapat membuat suhu politik di tanah air kembali memanas.

Namun, F-PAN masih bimbang untuk menyatakan mendukung atau menolak usulan Hak Angket Perpajakan, seperti F-PD dan F-KB yang sudah terang-terangan menyatakan menolak usulan Hak Angket  tersebut.

"Bila Panitia Khusus Angket Pajak nanti terbentuk, maka akan membuat suhu politik di Tanah Air kembali memanas. Kapan kita punya energi positif?, ini jelas merugikan kita," kata Tjatur Sapto Edi, Ketua F-PAN di Jakarta, Senin 31 Januari 2011.

Menurut Tjatur, keberadaan Panitia Kerja Perpajakan di Komisi XI Bidang Keuangan sudah cukup efektif, jika  tujuannya ingin menaikkan penerimaan di sektor pajak yang beberapa tahun ini tidak tercapai. Panja Perpajakan, katanya, dapat mengungkap kebocoran penerimaan negara di sektor pajak.

Sementara Panja Mafia Pajak di Komisi III yang baru bekerja pekan lalu, tegas Wakil Ketua Komisi III DPR,  bisa mengungkap jaringan dan praktik mafia di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak selama ini.

"Saya khwatir Pansus Angket Pajak nantinya akan berbenturan dengan kerja kedua Panja itu," katanya.

Dengan begitu, apakah F-PAN menyatakan menolak usulan Hak Angket Pajak, Tjatur masih bimbang memberikan jawaban pasti karena belum arahan dari Ketua Umum PAN Hatta Radjasa.

"Sampai sekarang belum ada larangan bagi anggota Fraksi PAN yang ingin mendukung Angket itu. Kalau ada teman-teman yang mendukung, kami persilakan," katanya.

Putusan MK Soal Hak Angket

Secara terpisah, mantan inisiator Hak Angket dari F-PD Sutjipto terlihat membagi-bagikan press release hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kepastian hukum dalam tata cara pelaksanaan Hak Angket DPR RI kepada wartawan.

Tidak diketahui secara jelas motif Sutjipto membagi-bagikan hasil putusan MK tersebut, padahal F-PD telah menyatakan menolak usulan Hak Angket Pajak tersebut.

Putusan MK No.8/PUU-VII/20010 itu membatalkan UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. Pada sidang putusan yang digelar Senin 31 Januari 2011, MK berkesimpulan UU yang dibentuk dengan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Namun, penggunaan Hak Angket tetap tidak dibatalkan oleh MK, tapi merujuk pada UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).

Pemohon uji materi UU tentang Hak Angket adalah Bambang Supriyanto, Aryanti Artisari, Jose Dima Satria, serta Aristya Agung Setiawan yang mengaku sebagai simpatisan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono.

“Menyatakan, mengabulkan permohonan para pemohon dalam pengujian materil UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap,” kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan amar putusan.

Sebelum putusan diucapkan, Mahkamah menguraikan pendapat dan pertimbangannya. Menurut Mahkamah, para pemohon dalam permohonannya mempersoalkan dasar hukum pembentukan UU Nomor 6 Tahun 1954 yang berdasar pada UUDS 1950. Padahal, UUDS 1950 sudah tidak berlaku.

Bertentangan dengan UUD 1945

Mahkamah juga berpendapat, adanya perbedaan ketentuan mengenai hak angket DPR yang diatur UU Nomor 6 Tahun 1954 dengan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Inknsistensi itu antara lain terlihat pada pasal 23 UU 6 Nomor Tahun 1954 yang menyebut bahwa segala pemeriksaan oleh Panitia Angket dilakukan dalam rapat tertutup.

Selain itu, ditegaskan pula bahwa anggota-anggota Panitia Angket wajib merahasiakan keteranganketerangan yang diperoleh dalam pemeriksaan, sampai ada keputusan lain yang diambil oleh rapat pleno tertutup Dewan Perwakilan Rakyat yang diadakan khusus untuk itu.

Namun UU Nomor 27 Tahun 2009 tidak mengatur tentang proses persidangan apakah berlangsung tertutup atau terbuka untuk umum.

Perbedaan lain adalah tentang batas waktu pelaporan pelaksanaan tugas angket.

UU tentang MD3 mengatur bahwa Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 hari sejak dibentuknya panitia angket. Selanjutnya, rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket.

"Namun UU No 6 tahun 1954 tidak mengatur tentang batas waktu pelaporan pelaksanaan tugas angket," beber Mahkamah.

Dalam pertimbangan lainnya, Mahkamah juga melihat bahwa pembentukan UU Nomor 6 tahun 1954 mengacu pada sistem pemerintahan parlementer berdasar UUDS 1950, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan atau kepastian hukum terhadap panitia angket jikalau presiden membubarkan DPR.

“Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam pasal 28 UU Nomor 6 Tahun 1954, yang menyatakan bahwa kekuasaan dan pekerjaan panitia angket tidak tertunda oleh penutupan sidang-sidang atau pembubaran DPR yang membentuknya, sampai DPR baru menentukan lain,” kata hakim MK, Akil Mochtar saat membcakan pertimbangan MK.

Oleh karena itu, ketentuan tersebut jelas berbeda atau tidak sejalan dengan UUD 1945 yang menganut sistem pemerintahan presidensil yang tidak memungkinkan presiden membubarkan DPR. Karenanya menurut MK, UU Nomor 6 Tahun 1954 termasuk UU yang tidak dapat diteruskan keberlakuanya karena terdapat perbedaan sitem pemerintahan yang dianut dari kedua konstitusi yang mendasarinya.

“Sehingga materi muatan UU a quo bertentangan dengan UUD 1945. Apabila UU No 6 tahun 1954 tetap dipertahankan akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan  UUD 1945” kata hakim dalam pertimbanganya lagi.