Kawasan Hunian Veteran di Nongsa Hampir Sirna Akibat Penyerobotan Lahan
Oleh : Putra Gema
Selasa | 29-03-2022 | 19:12 WIB
lahan-nongsa.jpg
Lahan Milik WU di Sebelum Kavling Nongsa, Kelurahan Sambau, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. (Foto: Putra Gema)

BATAMTODAY.COM, Batam - Permasalahan lahan di Batam hingga kini terus terjadi. Salah satunya, lahan yang berada di seberang jalan hutan lindung sebelum Kavling Nongsa, Kelurahan Sambau, Kecamatan Nongsa, Kota Batam.

Hal yang sangat disayangkan. Konflik ini muncul setelah pemilik lahan berinisial MA meninggal dunia 2017 lalu, dan beragam intervensi terus dialami istrinya, WU.

Parahnya lagi, lahan tersebut diduga ingin dikuasai oleh seorang berinisial N, yang dulunya merupakan rekan dari MA semasa hidup.

Lahan seluas 6 hektar itu, sudah digarap untuk kebun sejak tahun 1986 oleh warga Nongsa bernama S. Kemudian pada tahun 2016, lahan tersebut dihibahkan kepada MA, yang notabenenya lahan tersebut tidak untuk diperjualbelikan.

MA, yang merupakan mantan TNI, berniat lahan tersebut diperuntukkan untuk TNI dan Polri serta veteran yang ingin membangun rumah. Bahkan, beberapa mantan pejabat tinggi Polda Kepri telah mendirikan rumah di lahan tersebut. Sementara sebagian besarnya dijadikan perkebunan.

"Ini tujuan mulia dari almarhum suami klien kami. Setelah mendapat hibah lahan itu, rencana hendak dibagi untuk para TNI dan Polri serta veteran agar bisa membangun rumah. Namun, malah ada teman almarhum yang ingin menguasai untuk bisnis," kata Ratna, kuasa hukum WU, saat ditemui di Kawasan Botania, Selasa (29/3/2022).

Namun karena penyakit yang dideritanya, akhirnya MA menghembuskan nafas terakhirnya pada 2017 silam. Konflik muncul tiga tahun kemudian, yakni pada tahun 2020.

"MA dulunya bergabung dengan organiasi mengataskanamakan keluarga TNI dan Polri. Saat itulah N juga bergabung dalam organisasi tersebut. Namun pada tahun 2020, N mendatangi istri MA, mengajak kerjasama agar lahan ini dijual kepada investor," ujarnya.

Namun karena ingin melanjutkan tujuan mulia dari suaminya tersebur, WU menolak. Hingga konflik di lahan seluas 6 hektar itu terus terjadi. "Selalu saja ada yang datang ke lokasi yang berujung cekcok mulut. Mereka akhirnya pergi. Kejadian ini terjadi sekitar 1 tahun," ungkapnya.

Pada 2021, lanjut Ratna WU kembali didatangi N, untuk menawarkan uang sebesar Rp 600 juta sebagai uang pembelian lahan itu. Namun lagi-lagi ditolak oleh WU.

Konflik semakin memuncak pada awal Januari 2022. Puluhan orang berseragam dan bersenjata lengkap datang ke lokasi dengan maksud mengamankan lokasi. Sehingga cekcok mulut dengan WU terjadi lagi.

Saat itu kondisi masih bisa diatasi, sehingga puluhan orang tersebut membubarkan diri. Namun pada Bulan Februari 2022, merrka kembali datang dengan jumlah lebih banyak dan membawa petugas yang mengaku dari BP Batam untuk mengukur tanah.

Saat itu, hanya ada Iwan Santoso, selaku penjaga kebun bersama satu rekannya, dan mempertanyakan surat tugas ukur kepada orang yang mengaku dari BP Batam tersebut.

Namun orang itu tidak bisa menunjukkannya. "Iwan mengatakan pada orang itu, jika belum bisa memperlihatkan surat tugasnya, lebih baik ngobrol dulu dengan WU, selaku pemilik lahan. Tetapi tiba-tiba puluhan orang itu menegur Iwan, dan meminta jangan menghalangi tujuan mereka," lanjut Ratna.

Tidak hanya sampai di sana, beberapa hari kemudian mereka datang kembali dan meratakan seluruh tanaman yang ada di kebun. "Yang kami sayangkan, kenapa mereka datang berseragam lengkap, tapi melakukannya dengan cara premanisme. Padahal kebun itu hanya dijaga dua orang. Malah sekarang penjaga kebun itu dilanggil polisi sebagai saksi. Ada yang membuat laporan telah memdirikan bangunan di lahan milik orang lain," tegasnya.

Mengetahui hal ini, pihaknya mencoba mencari tahu ke BP Batam dan disebutkan lahan itu sekarang milik Arda Regency yang notabenenya adalah N.

"Kami kaget. Padahal sejak 2016, klien kami sudah mengajukan WTO ke BP Batam, namun tidak digubris. Tapi ini tiba-tiba lahan itu disebutkan milik Arda Regency. Kami mengetahui nama itu berdasarkan surat pemanggilan dari pihak kepolisian terkait laporan yang dibuat," sesalnya.

Ia berharap, masalah ini bisa diselesaikan secara baik-baik. "Rumah klien kami juga berdiri di lahan itu. Anehnya, hanya klien kami yang dipanggil terkait kasus itu. Sementara ada 10 rumah di lahan itu, yang sebagiannya milik mantan pejabat di Polda Kepri. Jika mereka memang bisa memperlihatkan bukti kepemilikan, tentunya tidak sepanjang ini. Namun mereka tidak bisa menunjukkan. Harapan kami permasalahan ini bisa diselesaikan secara baik-baik, bukan dengan kekerasan," tutupnya.

Editor: Gokli