Tinjau Ulang Nilai Ganti Rugi

Warga Minta Pemerintah Tunda Peresmian Waduk Sei Gong
Oleh : Romi Chandra
Selasa | 10-07-2018 | 20:04 WIB
foto_seigong1.jpg
M Subagyo Eko, Praktisi Hukum Lingkungan yang juga Tim Lawyer Warga Tani Seigong. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Batam - Proyek Waduk Seigong yang terdapat di Pulau Galang, Kota Batam, direncanakan akan diresmikan pemerintah tepat di hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2018 mendatang.

Namun peresmian itu diharapkan bisa ditunda karena proyek dari Kementrian PUPR dengan menghabiskan anggaran negara sekitar Rp1 triliun itu, hingga kini masih menyisakan polemik. Seperti diketahui, hingga kini, warga yang sudah menempati lahan itu selama 30 tahun lebih menolak adanya proyek tersebut karena belum ada kejelasan proses ganti ruginya.

Tidak terimanya warga, juga karena mereka akan kehilangan mata pencaharian yang selama ini mereka ambil dari hasil tani dan bercocok tanam selama puluhan tahun. Bahkan sebelum BP Batam menetapkan wilayah Seigong sebagai wilayah BP Batam.

Hal ini dikuatkan adanya bukti surat yang dikeluarkan oleh kelurahan serta surat tebas resmi dikeluarkan oleh Penghulu (Kepada Desa) yang secara tegas sah dan jelas diatur dalam undang-undang desa dan peraturan desa. Selain bukti otentik tersebut warga tani juga menjelaskan bahwa orang tua (nenek dan kakek) merekalah yang pertama kali masuk menggarap di wilayah itu dengan mendapat izin pemerintah setempat.

Sementara Tim Lawyer dari Kantor MAP LAW FIRM yang berkantor Talavera Office Park, Jalan TB Simatupang, Jakarta, setelah beberapa kali melakukan diskusi dan wawancara serta penelusuran hukum (legal audit) terhadap permasalahan yang sedang dihadapi warga, menemukan kejanggalan dalam proses ganti rugi yang akan diberikan.

Salah satu tim Lawyernya, Muhammad Anwar, menejelaskan, semestinya sebelum SK Gubernur terkait ganti rugi dikeluarkan, pemerintah setempat mestinya mengundang semua warga tani dan menentukan terlebih dahulu berapa angka atau nilai kesepakatan yang disetujui sebelum melakukan pengukuran lahan warga tani. Sehingga, tidak terkesan ditutup-tutupi proses ganti ruginya.

"Kenapa demikian, karena lazimnya proses ganti rugi atas lahan ditentukan dan sepakati terlebih dahulu, baru diakukan pemetaan lokasi dan pengukuran. Tujuannya untuk menghindari conflict of interest para pihak selama dalam proses ganti rugi berjalan," ujarnya, Selasa (10/7/2018).

"Kami menilai proses ini cacat hukum karena asas tranparansi keadilannya tidak jalan, termasuk informasi yang diberikan kepada klien kami. Karena itu, menurut kami, ganti rugi yang layak dan adil tidaklah hanya sebatas tanam tumbuh tetapi terhadap lahan (tanah) yang sudah dikuasai dan dimilik oleh klien kami, hal ini sejalan dengan ketentuan pasal 1963 KUHperdata," jelasnya.

Dalan pasal itu, ditegaakan, seseorang dengan itikad baik memperoleh suatu barang tak bergerak, atas tunjuk dengan suatu besit selama 20 tahun memperoleh hak milik atasnya dengan jalan lewat waktu, sehingga seseorang dengan itikad baik menguasai selama 30 tahun memperoleh hak milik tanpa dapat dipaksa untuk menunjukan alas haknya.

"Hal serupa ditegaskan juga dalam PP tentang pendaftaran tanah tahun 1997 yang intinya sepanjang tanah tersebut dirawat dan dikelolah dangan baik sehingga terjaga kondisi tanah dan manfaatnya serta membayar PBB, maka yang berhak atasnya untuk memiliki tanah tersebut," paparnya.

Selain itu, M Subagyo Eko, praktisi hukum lingkungan yang juga menjadi Tim Lawyer Warga Tani Seigong, menegaskan bahwa sebaiknya Kementerian PUPR, Pemerintah Daerah dan BP Batam meninjau kembali soal SK ganti rugi yang diperlakukan kepada warga tani sebelum peresmian tanggal 17 Agustus 2018 nanti.

Mengigat, hak-hak dasar warga tani Seigong yang memiliki dan tinggal bercocok tanam selama 20-30 tahun belum terpenuhi. Dikhawatrikan, akan timbul gugatan hukum kepada pemerintah sehingga proyek tersebut terhenti dan merugikan keuangan negara.

Subgyo juga melihat ada pelanggaran hukum dan manipulasi informasi yang secara nyata dalam proses alih fungsi hutan tersebut. "Sehingga, klien kami mendapatkan informasi soal status hutan wilayah Seigong simpang siur yang tujuannya hanya untuk mencari pembenaran dari pihak pemerintah," tambahnya.

Oleh karena itu dari hasil rapat internal Tim Lawyer warga tani Seigong Batam akan mengajak Pemerintah Pusat (menteri PUPR), Gubernur Kepri dan BP Batam untuk meninjau kembali nilai ganti rugi yang telah di-SK-kan Gubernur Kepri dengan cara yang adil dan bijaksana, yaitu mengundang warga tani untuk musyawarah dan mufakat sebelum peresmian waduk proyek nasional tersebut.

Bahkan menurut Hendra Dimun, salah satu Tim Lawyer lainnya yang juga politisi, jika pemerintah tidak mengindahkan imbauan itu, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi gugat dan melaporkan kepada Presiden Joko Widodo, yang menurutnya Presiden pasti akan bantu apalagi Pak Jokowi saat ini butuh dukungan rakyat dan masih mau jadi Presiden dua Periode.

Editor: Gokli