Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kasus Joki- Napi

Johnson Panjaitan: Sudah Berlangsung Lama dan Sistematis
Oleh : Tunggul Naibaho
Selasa | 04-01-2011 | 12:08 WIB
Johnson-Panjaita.gif Honda-Batam

Johnson Panjaitan

Jakarta, batamtoday - Kasus joki-napi di lapas-lapas Indonesia sudah berlangsung lama dan terjalin secara sistimatis karena negara hadir sebagai fasilitator. Kalaupun dalam kasus joki-napi di Lapas Kelas II A Bojonegoro terbongkar, itu semata-mata karena koordinasi di kalangan mafia hukum setempat kurang rapi.

Demikian dikatakan pengacara aktivis Johnson Panjaitan kepada batamtoday pertelepon, Senin (4/1).

"Saya tidak sependapat dengan Patrialis Akbar yang menyatakan ini modus baru. Tidak, ini sudah modus lama," kata Jhonson yang juga Ketua Indonesia Police Watch (IPW).

Johnson melihat kasus joki-napi ini terangkai dengan peran mafia hukum di dalamnya, mulai dari pengacara, jaksa, hakim, polisi, dan petugas lapas.

"Transaksional joki-napi ini berlangsung sistematis, dan negara memfasilitasi," ujar Johnson seraya mencontohkan transaksi joki three in one di jakarta yang transaksinya bersifat individual.

"Yang ditertima joki-napi itu tidak seberapa, dibanding dengan yang dibayarkan sang napi, karena banyak pihak yang harus dibayar sang napi. Napi juga harus membayar negara, kan, mulai dari jaksa, petugas lapas, dan lain sebagainya," ujar Johnson lagi.

Mantan Ketua PBHI ini juga menuturkan bahwa ada joki-napi yang bersifat sementara namun ada juga joki-napi yang menjalani masa tahanan sampai selesai masa tahanan sang napi selesai.

Sumber batamtoday di Batam mengatakan, kasus joki-napi juga terdapat di Lapas Batam. Jika ada pemeriksaan, maka sang petugas lapas segera memasukan lagi sang napi ke dalam sel tahanan, dan kemudian melepas kembali dan menggantikanya kembali dengan sang joki.

"Kalau ada inspeksi, sang napi dimasukan lagi, mas," ujar sumber yang mengaku pernah dekat dengan salah seorang napi yang memakai jasa joki untuk menggantikan dirinya di dalam sel tahanan,

Menurut Johnson hanya napi-napi berduit tebal yang mampu memakai jasa joki, seperti koruptor dan pemain narkoba, karena yang harus dibayar bukan cuma jasa si joki, tetapi juga kewenangan para penegak hukum dan aparatur hukum.

"Artinya, sang napi juga harus membayar 'negara', selain membayar sang joki, " cetus Johnson. Jadi biayanya sangat mahal, tambahnya.

Bayar Rp 10 juta

Seperti diberitakan batamtoday, seorang napi bernama Kasiem (55) membayar seorang joki bernama Karni (50) sebesar Rp 10 juta untuk menggantikan eksekusi dirinya di Lapas Kelas II A Bojonegoro. Kasiem diantar oleh pengacara sang napi, Hasmono, dan salah seorang staf kejaksaan Widodo Priyono.

Pada Senin 27 Desember 2010 napi Kasiem dibawa Hasmono dan Widodo ke Lapas Bojonegoro, namun napi Kasiem ditukar dengan joki bernama Karni, sehingga Kasiem menghirup udara bebas, sebaliknya joki Karni masuk ke dalam Lapas menggantikan Kasiem dengan imbalan Rp 10 juta.  

Namun 4 hari kemudian akal-akalan ini berhasil tercium oleh petugas lapas lainya, setelah mendapati napi yang masuk bukanlah Kasiem terpidana kasus pupuk bersubsidi yang divonis 3 bulan 15 hari. Maka Lapas Bojonegoro pun geger.

Bojonegoro geger, Jakarta kebakaran jenggot

Jaksa Agung Basrief Arief segera memerintahkan Jamwas Marwan Effendy untuk mengusut kasus joki-napi di Bojonegoro tersebut. Sebagai pihak yang mengeksekusi tahanan, Basrief merasa sangat tertampar kulit pipinya.

"Jamwas sudah melaporkan bahwa dia sudah minta Asisten Pengawasan Jawa Timur untuk sementara melakukan pemeriksaan, para pelakunya pasti kami tindak tegas," tandas Basrief.

Demikian pula dengan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, diapun langsung meminta Kanwil Kemenhukham jawa Timur untuk mengusut kasus ini. Namun begitu Patrialis berdalih bahwa soal joki-napi itu berada diluar pengetahuan pihaknya, karena pihak lapas hanyalah menerima,s edangkan yang lebih mengetahui adalah pihak kejaksaaan sebagai pihak eksekutor.

Patrialis menjelaskan, dalam proses eksekusi itu ada verifikasi data dan foto terpidana. Menurut dia, Kementerian Hukum dan HAM percaya penuh pada petugas kejaksaan yang melakukan eksekusi. "Kami kan hanya menerima laporan dari kejaksaan. Siapa orangnya pun saya tidak tahu. Masak kami tidak percaya kejaksaan," kata Patrialis.

Seperti atasannya, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur, Mashudi, tak ketinggalan mencak-mencak. Kepada wartawan, dia menyatakan ada mafia hukum yang ikut bermain. Tak jelas siapa yang dia maksud. "Kami turunkan tim untuk melakukan investigasi di Lapas,” katanya.

Mashudi berdalih penyelundupan joki-napi itu bukanlah tanggung jawab aparat lembaga pemasyarakatan. "Kami ini sifatnya pasif hanya menerima. Jadi, itu merupakan kesengajaan pihak yang mengantar. Saya protes keras dan meminta instansi terkait untuk mengusut sampai tuntas," katanya berapi-api.

Toh demikian, Mashudi mengakui petugas LP Bojonegoro bisa dikenai sanksi karena teledor dan baru mengetahui kejadian tersebut selang beberapa hari.

"Karena ini sudah bermalam beberapa hari baru diketahui. Apalagi tingkat kepadatan LP Bojonegoro tidak begitu tinggi. Saya minta semua yang terlibat diperiksa, termasuk Kepala LP, karena penerimaan dan pelepasan napi menjadi tanggung jawabnya," katanya.

Namun begitu, Jhonson Panjaitan merasa aneh dengan sikap terkejut yang ditunjukan Patrialis Akbar maupun Basrief Arief."Enggak usah pake kaget-kagetanlah, Kasus joki-napi itu sudah berlangsung lama dan sistematis. Dan untuk itu perlu pembenahan sistem secara total, dan para mafia hukum harus diberantas tuntas." tegas Johnson.