Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Soal Gratifikasi dari Perusahaan Rusia, Presiden Jokowi Diduga Langgar UU KPK
Oleh : Irawan
Minggu | 30-10-2016 | 09:30 WIB
gratifikasi rusia.jpg Honda-Batam

Gratifikasi cendera mata dari perusahaan minyak asal Rusia, Rosneft Oil Company yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Direktur Centre for Budget Analysis, Uchok Sky Khadafi mengatakan Presiden Jokowi diduga telah melanggar UU 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pelanggaran itu dilakukan Jokowi, karena Jokowi telah melewati batas waktu pemberian laporan gratifikasi yang telah ditentukan yaitu paling lambat 30 hari setelah dia menerima gratifikasi tersebut.

“Seperti yang diungkapkan Kepala Sekretariat Presiden, Darmansjah Djumala di gedung KPK Jakarta, Jumat (28/10/2016), Presiden menerima cendera mata dari perusahaan minyak asal Rusia, Rosneft Oil Company, yang diterima Jokowi melalui pihak ketiga, seusai melakukan kunjungan kerja ke Rusia pada 20 Mei 2016 lalu. Namun Jokowi baru menyerahkan barang tersebut ke KPK pada Jumat 28 Oktober lalu, atau lebih dari 6 bulan kemudian,”ujar Uchok di Jakarta, Sabtu (29/10/2016).

Menurut Uchok dalam Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 sebagaimana telah diubah dalam UU No. 20/2001, berbunyi Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya., namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

“Jelas ini sudah pelanggaran UU. Tapi anehnya KPK kok yah tidak bersuara mengenai pelanggaran UU yang dilakukan pihak istana ini. Sangat disayangkan jika KPK menerima apapun sikap dan perilaku presiden yang melanggar hukum. Harusnya kan ini KPK yang bersuara bukan saya. KPK harusnya menjelaskan bahwa ini sudah melanggar UU. Ada apa dengan KPK?,” ujarnya heran.

Uchok juga menyinggung pelanggaran-pelanggaran UU lainnya yang sebelumnya dilakukan Jokowi seperti pada saat pengangkatan Menteri ESDM Archandra Tahar yang memiliki dua kewarganegaraan.

“Sudah sering sekali presiden melanggar, tapi sayangnya DPR sekarang diam saja dan membiarkan pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan presiden,” tegasnya.

Seperti diketahui Presiden menerima cendera mata dari perusahaan minyak asal Rusia, Rosneft Oil Company. Tak ingin ada masalah, Jokowi pun menyerahkan barang yang diduga gratifikasi itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (28/10/2016).

Kepala Sekretariat Presiden, Darmansjah Djumala di gedung KPK Jakarta menjelaskan, hadiah-hadiah tersebut diberikan melalui pihak ketiga, yaitu PT Pertamina. Total hadiah yang diserahkan Rosneft kepada Jokowi mencapai tiga bentuk yakni sebuah lukisan, satu set cangkir warna putih bersepuh emas, dan sebuah miniatur pompa pada kilang minyak yang juga bersepuh emas.

Barang-barang mewah tersebut dipamerkan kepada wartawan setelah Darmansjah Djumala secara resmi menyerahkannya kepada KPK. "Tiga barang itu diberikan secara berkala atau bertahap. Tiga barang itu juga yang kami laporkan langsung ke Pak Agus (Ketua KPK)," ujar Darmansjah.

Barang tersebut berupa Tea set yang terbuat dari keramik berwarna dasar putih dan berhiaskan motif bunga warna emas. Di dalam kotak itu juga terdapat enam alas cangkir berwarna senada. Selain itu, terdapat tiga teko berbeda-beda ukuran yang warnanya juga senada.

Di antara cangkir, terdapat empat sendok kecil berwarna emas. Barang lainnya adalah sebuah lukisan panorama berukuran 45 x 75 sentimeter. Lukisan tersebut dilengkapi sebuah map berisi sertifikat. Barang ketiga yang dikembalikan adalah trofi berlogo Rosneft Oil Company. Trofi berwarna emas tersebut berbentuk pompa pada kilang minyak pada masa lalu.

Kunjungan Jokowi ke Rusia pada bulan Mei lalu tampaknya memiliki arti penting bagi Rosneft. Setelah pulang ke Tanah Air, Jokowi memberikan persetujuan atas kerja sama Pertamina dan Rosneft dalam pembangunan kilang Tuban, Jatim. Pihak Rosnef sendiri sampai saat ini belum menjelaskan tentang alasannya memberikan hadiah kepada Presiden Jokowi.

Seperti diberitakan, Rosneft dan Pertamina telah sepakat bekerja sama untuk membangun kilang minyak di Tuban, Jawa Timur, dengan total investasi 13 miliar dolar AS dan kapasitas produksi 320 ribu barel per hari.

Sementara dalam situs Kementerian PAN RB (http://rb.pom.go.id/id/content/delapan-area-perubahan/penguatan-pengawasan/memahami-gratifikasi) tertulis penjelasan mengenai tindak pidana gratifikasi diatur dalam UU 31 tahun 1999 dan UU 20 tahun 2001. Dalam UU 20 tahun 2001 diatur sanksi pidana tindak pidana gratifikasi, yaitu pada pasal 12 dimana ancamannya adalah dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.

Pengertian Gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001, adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Lantas siapa saja yang dimaksud dalam aturan hukum ini, sebagai pihak penerima gratifikasi, berdasarkan ketentuan Pasal 12C, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 adalah :

Pegawai negeri/Aparatur Sipil Negara (ASN) atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Pegawai negeri/ Aparatur Sipil Negara (ASN) atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri. Yang dimaksud dengan pegawai negeri sudah jelas adalah PNS baik pusat maupun daerah.

Sedangkan penyelenggara negara adalah setiap orang yang bertugas dalam kaitan proses kegiatan bernegara, baik secara langsung atau tidak, yang dalam melaksanakan kegiatan pekerjaannya dibiayai oleh APBN atau oleh BUMN. Dapat disimpulkan subjek yang dapat berperan sebagai penerima gratifikasi ini demikian luas.

Editor: Surya