Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kisah Bayi Disuntik Darah HIV Oleh Ayah Kandungnya
Oleh : Redaksi
Jum'at | 21-10-2016 | 08:00 WIB
brryan_jacksonbybaileyekinney.jpg Honda-Batam

Brryan Jackson, 24 tahun, berharap ayahnya mendekam di balik jeruji besi selama mungkin. (Foto: BBC)

ADAKAH ayah yang menyuntik bayinya sendiri dengan darah terinveksi HIV? Ternyata ada! Ayah macam apakah itu? Simak kisah Brryan Jackson yang telah menjebloskan ayahnya ke penjara setelah menyuntikkan jarum suntik penuh darah dan terinfeksi HIV, saat ia masih bayi.

Sang ayah rupanya berharap tidak akan pernah melihatnya dirinya tumbuh seperti sekarang. Namun, siapa sangka, 24 tahun kemudian, ia akan berhadapan dengan Brryan -yang sudah tumbuh menjadi anak muda tegap- di pengadilan untuk mendengar tentang dampak penderitaan atas kejahatan yang dilakukannya di masa lalu.

Waktu menunjukkan jam makan siang di Missouri Department of Corrections. Brryan Jackson terlihat gugup ketika dibimbing dari ruang tunggu penjara melewati pintu masuk yang berdenting memecah kesunyian ruang sidang.

Di ujung lain dari sebuah ruangan, ada seorang pria yang mengenakan seragam tahanan putih tengah menunggunya. Meski mereka belum pernah bertemu lagi sejak ia masih bayi, pria ini, Bryan Stewart, adalah ayahnya.

Jackson berada di sini untuk membacakan sebuah pernyataan yang berisi harapan dan memastikan bahwa ayahnya akan tetap mendekam di balik jeruji besi seumur hidup.

Sebagian orang tidak percaya bahwa Jackson bisa memiliki kesempatan untuk membaca pernyataan ini, pasalnya tahun 1992 ia didiagnosis terjangkit "AIDS stadium akhir". Ketika itu, pihak rumah sakit tidak sanggup menanganinya dan memulangkannya ke rumahnya dalam keadaan sekarat.

Sambil memegang selembar kertas yang diketik, Jackson duduk dengan tenang di samping ibunya, yang berjarak lima kursi dari ayahnya. "Saya mencoba untuk menjaga agar pandangan mata saya tetap lurus. Saya tidak ingin menatap matanya," kata Jackson.

Ia bisa melihatnya dari sudut mata, meski hanya sekilas. "Saya mengenalinya dari foto yang ada di kantor polisi, tapi saya tidak memiliki hubungan dengan dia," kata Jackson. "Saya bahkan tidak mengenalinya sebagai ayah saya."

Majelis pembebasan bersyarat menyerukan kepada dirinya untuk membacakan pernyataan dengan lantang. Jackson pun menghela napas, berhenti sejenak.

"Saat itu saya bertanya-tanya apakah saya melakukan hal yang benar, tapi ibu saya selalu mengajarkan saya agar menjadi berani.

"Saya mencoba untuk mengingatkan diri sendiri bahwa Tuhan menyertai saya. Apapun hasil sidang ini, Tuhan lebih besar dari saya, lebih besar dari ayah saya, lebih besar dari ruangan atau bahkan Departemen Kehakiman."

Ia mengambil napas dalam-dalam, menatap majelis pembebasan bersyarat dengan mantap dan mulai menceritakan kisahnya.

Kisah ini dimulai saat ibu dan ayahnya bertemu di sebuah fasilitas pelatihan militer di Missouri, di mana mereka berdua mengikuti pelatihan sebagai petugas medis. Lalu, mereka pindah dan lima bulan kemudian, pada pertengahan tahun 1991, ibunya mengandung.

"Ayah sangat bahagia saat menyambut kelahiran saya, tapi semuanya berubah ketika ia pergi ke operasi militer Desert Storm di Arab Saudi. Namun, sekembalinya dari sana, sikapnya berbeda sama sekali terhadap saya ," kata Jackson.

Stewart mulai menyangkal bahwa Jackson adalah putranya. Dia menuntut tes DNA sebagai bukti bahwa dirinya adalah ayah Jackson, dan ia pun menyerang sang ibu secara fisik dan verbal.

Ketika ibu Jackson akhirnya meninggalkan suaminya, pasangan ini bertengkar sengit soal biaya tunjangan anak, Stewart menolak untuk menafkahi. Selama perselisihan itu, ayah Jackson melontarkan ancaman yang menyeramkan.

Jackson mengatakan, "Ia sering mengatakan hal-hal seperti, Anakmu tidak akan hidup melampaui usia lima tahun, dan Ketika saya meninggalkanmu, saya tidak akan meninggalkan ikatan apa pun."

Belakangan para penyelidik menemukan bahwa Stewart yang bekerja sebagai seorang penguji darah di laboratorium, diam-diam mulai mengambil sampel darah yang terinfeksi untuk disimpan di rumah.

"Ia sering bercanda dengan rekan-rekannya dengan mengatakan, "Jika saya ingin menginfeksi seseorang dengan salah satu virus ini, mereka bahkan tidak akan pernah tahu apa yang menimpa mereka," kata Jackson.

Menyuntikkan Darah Tercemar HIV

Ketika Jackson berusia 11 bulan, ayah dan ibunya sudah tidak berhubungan lagi. Tapi ketika Jackson dirawat di rumah sakit karena terserang asma, ibunya menelpon ayahnya.

"Ibu saya menelepon ayah untuk memberitahu, ia menganggap bahwa suaminya ingin tahu bahwa anaknya sakit. Ketika ibunya menelepon, rekan-rekan ayahnya mengatakan, "Bryan Stewart tidak punya seorang anak."

Di hari Jackson tak diakui sebagai anak, tak diduga Stewart mengunjungi Jackson ke rumah sakit. "Ia bukanlah seorang ayah yang sangat aktif, jadi semua orang pikir itu aneh ketika dia muncul," kata Jackson.

"Ia menyuruh ibu saya untuk minum di kantin rumah sakit sehingga ia bisa berdua dengan saya." Saat istrinya pergi, Stewart mengambil botol darah yang tercemar HIV dan menyuntikkan ke anaknya.

"Ia berharap saya mati jadi ia tidak harus membayar tunjangan anak," kata Jackson.

Saat ibunya kembali dari kantin, Jackson menjerit dalam pelukan ayahnya. "Organ-organ penting saya diserang bukan hanya karena darah HIV yang ia suntikkan, namun juga darah itu tidak sesuai dengan saya."

Menyadari adanya virus mematikan yang kini mengalir dalam tubuhnya, mereka menormalkan denyut nadinya, suhu dan pernapasan lalu menyuruhnya pulang, dengan harapan ia bisa menjalani kehidupan dan sehat.

Namun, keadaan Jackson semakin memburuk dari minggu ke minggu. Sang ibu merasa putus asa dengan berbagai diagnosa selama empat tahun.

Jackson mengatakan ibunya membawa dia ke "berbagai dokter" dan memohon untuk mencari tahu apa yang membuatnya hampir mati. Berbagai tes dilakukan, namun hasilnya nihil. Saya ingat terbangun di tengah malam dan berteriak, "Ibu, tolong jangan biarkan saya mati!"

Meskipun ia masih kecil, Jackson menyadari situasinya sangat menakutkan. "Saya ingat terbangun di tengah malam dan berteriak, "Ibu, tolong jangan biarkan saya mati!" Katanya.

Suatu malam, dokter anak Jackson menelepon dan meminta mereka untuk tes HIV.

"Saya didiagnosis dengan AIDS stadium lanjut dan tiga infeksi akut." Para dokter berkesimpulan bahwa tidak ada harapan bagi kelangsungan hidupnya.

"Mereka menginginkan saya menjalani hidup normal sebisa mungkin," katanya. "Jadi mereka memberi saya kesempatan selama lima bulan untuk hidup dan menyuruh saya tinggal di rumah."

Gangguan Pendengaran

Para dokter terus merawat Jackson, meskipun, dengan dengan obat-obatan yang terbatas. Ia mengatakan masa kecilnya bisa berubah dalam "satu hari". "Suatu hari saya akan tampak baik-baik saja, satu jam berikutnya saya bisa bergegas kembali ke rumah sakit karena infeksi lain," katanya.

Ia menderita gangguan pendengaran sebagai efek samping dari obat-obatan yang ia konsumsi. Tidak seperti anak-anak lainnya yang tidak mampu bertahan hidup, kesehatan Jackson justru makin membaik dan inilah yang membuat para dokter tercengang.

Akhirnya, ia dinyatakan cukup sehat dan dapat bersekolah, dan mulai belajar di kelas paruh waktu dengan membawa tas ransel yang dipenuhi obat-obatan yang disuntikkan melalui pembuluh darah.

Jackson adalah seorang anak kecil yang ramah, dan ia tidak menyadari stigma sosial seputar penyakitnya. "Tragedi kehidupan di sekolah saya adalah ketika sekolah tidak menginginkan saya. Mereka takut.

Sumber: BBC Indonesia
Editor: Dardani