Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kembalikan Hak Kuliah 7 Mahasiswa Unair
Oleh : Shodiqin
Jum'at | 23-09-2011 | 13:12 WIB
fam_unair.jpg Honda-Batam

Aksi teatrikal mahasiswa Unair Surabaya. Kamis (22/9/2011).

SURABAYA, batamtoday - Aksi keprihatinan tolak DO ilegal mahasiswa Unair di patung Pringgodigdo, depan Fakultas Hukum Unair, berlangsung damai. Para mahasiswa melakukan simbolisasi teatrikal menutup mata patung Pringgodigdo.

Penutupan mata patung Pringgodigdo merupakan simbol butanya pejabat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya terhadap hukum yang ada dengan tindakan semena-menanya mengeluarkan mahasiswa.

Seperti diketahui, ada tujuh mahasiswa Unair yang di drop out (DO), yang hingga kini urusan tersebut menimbulkan polemik.

Beragam komentar dan tanggapan bermunculan terkait kasus tersebut. Ada yang mendukung mahasiswa yang di DO, ada yang menyalahkan mahasiswa atau bahkan menyalahkan posisi FAM Unair yang mendampingi korban dengan satu alasan klasik bahwa “Orang Bodoh Kok Dibela”. Alasan pejabat rektorat Unair bahwa evaluasi studi mahasiswa dilakukan dengan tujuan menjaga mutu kualitas pendidikan di kampus Unair.

Namun demikian, kami mempunyai pandangan berbeda terkait kasus tersebut. Pertama, sanksi pengeluaran mahasiswa itu seolah menyamakan mahasiswa seperti orang yang melakukan perbuatan kriminal, asusila ataupun narkoba sehingga pantas untuk di keluarkan dari kampus.

Padahal jatuhnya nilai mahasiswa mestinya menjadi bahan koreksi atau evaluasi terhadap kurikulum pendidikan, metode pengajaran dosen ataupun fasilitas belajar mengajar di kampus, yang sekarang ini kurikulumnya sangat padat dan mengedepankan proses target belajar. Apalagi di antara mereka yang dikeluarkan adalah mahasiswa yang baru setahun berkuliah di Unair.
 
Kedua, peraturan sanksi akademis seolah memposisikan Unair ini sebuah universitas yang 100% PTN, yang mana mahasiswa tidak keluar uang sekalipun. Padahal kenyataannya mahasiswa selama ini dipungut dengan biaya kuliah yang sangat mahal.

Setahu kami, peraturan pengeluaran mahasiswa dengan alasan nilai hanya bisa dilakukan di institusi perguruan tinggi yang seratus persen ditanggung pemerintah dan ketika lulus mahasiswa bersangkutan mendapat jaminan kepastian kerja. Dalam hal ini kita bisa melihat di Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN) atau Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).

Ketiga, tiadanya transparansi dalam proses evaluasi tersebut dan bahkan terkesan sangat ditutup-tutupi. Selain itu terjadi diskriminasi dalam proses evaluasi ini, karena yang menjadi obyek evaluasi dan kemudian ada sanksi akademis pengeluaran hanya diberlakukan secara ketat pada mahasiswa. Di tingkatan dosen dan juga pejabat sendiri, selama ini para mahasiswa tidak bisa mengevaluasi balik terhadap kinerja mereka.   

Keempat, pengeluaran mahasiswa adalah korban cacat secara hukum. Di mana 5 orang mahasiswa sampai saat ini tidak diberi SK Rektor, serta 2 orang diberi SK yang menurut kami adalah SK Palsu karena tidak ada tanda tangan asli Rektor, stempel Universitas dan hanya salinan fotocopy-an bukan lembaran SK asli. Terparah, kasus yang menimpa kawan Richo Hariyono, dia sudah membayar SPP tapi tetap dicekal saat mengurus akademik kuliah.

Kelima, tindakan yang dilakukan pejabat Unair tersebut bertentangan dengan filosofis dari Pembukaan UUD 1945, aturan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003 atau bahkan peraturan Evaluasi Studi dari Rektor Unair sendiri, yang mana dalam mengeluarkan mahasiswa harus ada SK Rektor resmi.

Sungguh sebuah kejadian yang cukup menggelikan atau mungkin sangat memalukan bagi kita semua, sekelas pejabat Unair ternyata tidak paham soal perundang-undangan atau aturan hukum yang berlaku.

Maka dari itulah, kami Forum Advokasi Mahasiswa Universitas Airlangga dalam aksi “Aksi Keprihatinan Bersama” pada Kamis (22/9/2011) menyatakan sikap:

Menuntut kepada Pejabat Unair untuk bertindak arif bijaksana dengan segera mengembalikan hak mahasiswa korban untuk berkuliah karena tindakan pengeluaran mahasiswa titu sangat tidak mendidik dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Lalu, "Kami menyerukan kepada seluruh civitas akademika Unair untuk bersolidaritas terhadap para mahasiswa yang dikeluarkan karena apa yang mereka alami saat ini adalah mutlak kesalahan dari penerapan sistem pendidikan yang sangat kapitalistik dan komersil di kampus Unair," ujar Humas Acara Ketut Sandy Swastika, sebagaimana tertuang dalam rilis FAM Unair, yang diterima batamtoday, Jum'at (23/9/2011).