Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Belajar Sederhana dari Sang Legenda Hidup
Oleh : Saibansah
Senin | 01-08-2016 | 09:22 WIB
pakoyeng.jpg Honda-Batam

Sajian menu unggulan Restoran Pa Oyeng Sukajadi Bandung. (Foto: Saibansah)

NAMANYA, Haji Besar Sudjana. Tapi, di Bandung Jawa Barat, khususnya di Jalan Sukajadi, pria yang memulai jualan es campur tahun 1954 itu, lebih terkenal dengan panggilan Pa Oyen. Dialah sang legenda hidup yang mengajarkan kesederhanaan dari resep kulinernya yang juga telah melegenda di Bandung. Kesederhaan apa yang bisa kita petik dari sang legenda itu? Berikut catatan wartawan BATAMTODAY.COM, Saibansah, seusai mencicipi menu gulai dan sate kambing muda serta es kelapa ala Pa Oyen. 

 

Restoran Pa Oyen di Jalan Sukajadi Bandung, berada tepat di pinggir jalan utama. Posisinya yang hanya berjarak satu meter dari jalan raya itu, menutup bagian tengah dari Hotel Zest. Hotel jaringan bisnis Swiss-in itu telah berusaha "mengusir" Pa Oyen agar memindahkan restorannya. Bahkan untuk itu, Manajemen Hotel Zest telah "merayu" Pa Oyen dengan uang bergepok, Rp4 miliar!

Tapi rayuan empat miliar itu tak berhasil meruntuhkan kesetiaan Pa Oyen pada jualan es, bakso dan gulai serta sate kambing. Kesetiaan pada bisnis yang dirintisnya sejak 62 tahun lalu itulah yang membuat para pelanggannya tetap setia mengunjungi kedai Pa Oyen yang sederhana itu.

"Sekarang yang mengelola restoran ini anak Pa Oyen, Yana," ujar seorang karyawan resotoran Pa Oyen menjawab BATAMTODAY.COM, Jumat, 29 Juli 2016 lalu. Alhamdulillah, lanjutnya, Pa Oyen masih hidup dan sehat wal fiat.

Dengan cabang yang tersebar di beberapa lokasi di Bandung, salah satunya di Buah Batu, restoran Pa Oyen tetap eksis di tengah desakan berbagai restoran cepat saji dan tradisional di sepanjang Jalan Sukajadi Bandung.

Para pelanggan setia Pa Oyen dari berbagai generasi terus berdatangan, siang itu. Bahkan, saya harus rela menikmati sajian gulai dan sate kambing muda di lantai dua. Itu pun dengan meja panjang dan kursi plastik tanpa sandaran.

Gulai kambing disajikan di mangkok kecil berwarna putih, mangkok lawas yang sering dipakai orang tua kita dulu. Dipadu dengan acar dan cabe, membuat makan siang itu menjadi makin "panas". Ditambah lagi sajian sate kambing yang ditaburi bumbu kacang yang gurih.

"Dagingnya empuk dan rasanya gurih," ujar Nizamul, seorang pecinta kuliner yang mencoba menu unggulan Pa Oyen.

Dengan rasa yang "nendang", tapi Pa Oyen tak mau aji mumpung. Mumpung terkenal dan menu kulinernya disukai pelanggan, terus patok harga mahal.

"Harganya menarik, sesuai dengan hidangan yang disajikan, sesuailah," lanjut Nizamul.

Rasanya, kurang afdhol berkunjung ke Bandung, tanpa "mencicipi" kesederhanaan dari perjalanan hidup seorang Pa Oyen.

Editor: Dardani