Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ahok, Dana Nonbujeter, dan Praktik Culas yang (di)Hidup(kan) Lagi
Oleh : Redaksi
Minggu | 17-07-2016 | 11:30 WIB

Oleh : Edy Mulyadi)*

DULU ketika Pak Harto berkuasa, istilah dana nonbujeter (off budget) sangat populer. Kalau disebut nonbujeter, tentu ada dana bujeter (on budget). Yang disebut terakhir adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tingkat pusat dan DPRD di level daerah. 

Anggaran ini berlaku untuk jangka waktu tertentu di masa datang, biasanya setahun ke depan. Di level nasional, produk UU dana bujeter disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sedangkan di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang dikukuhkan dengan Perda, disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Nah, dana nonbujeter adalah instrumen yang diramu untuk mencari celah prosedur dan mekanisme anggaran resmi budgeting. Dalam praktiknya, ia digunakan untuk membiayai berbagai aktivitas, baik legal maupun ekstralegal yang tidak diatur dalam APBN dan atau APBD. 

Persamaan keduanya, sama-sama bersumber dari dana publik. Sedangkan perbedaan utama dana bujeter dan nonbujeter ada pada aspek akuntabilitasnya. Pada dana bujeting, rakyat dapat mengontrol sekaligus menuntut pertanggungjawaban pemerintahan dalam hal pelaksanaannya. Sedangkan pada dana nonbujeter, penggunaannya boleh dikatakan terserah selera dan kepentingan penguasa. Tidak ada standar kolektivitas dan penggunaan, tidak ada audit, dan tidak ada mekanisme pertanggungjawaban. Bahkan di era Orba, dalam banyak kasus, penerima dana nonbujeter tidak diharuskan menyampaikan permohonan tertulis, apalagi proposal dan tetek-bengek lainnya.

Ketika Seoharto berkuasa, sumber dana nobujeter ini antara lain dari “sumbangan wajib” perusahaan negara (BUMN dan BUMD, khususnya bank pemerintah). Selain itu, aliran dana juga datang dari kemeneterian dan lembaga. Dulu, penyumbang utamanya antara lain Departemen Kehutanan yang menyisihkannya dari Dana Reboisasi.

Dari kalangan BUMN, yang banyak menjadi “sapi perah” antara lain Pertamina, Bulog, dan Jamsostek. Mereka harus menyisihkan sebagian dari keuntungannya ke rekening-rekening yang telah disiapkan, terutama rekening sejumlah yayasan yang dikelola Soeharto. 

Sumber dana lainnya, berasal dari para pengusaha kroni Presiden. Waktu itu, ada sekelompok konglomerat yang biasa disebut “kelompok Tapos”. Selain mengalir ke rekening-rekening yayasan Soeharto, dana dari mereka juga digunakan untuk pembangunan industri baja, pesawat IPTN, dan menambal kerugian spekulasi valas Bank Duta. 

Dana nonbujeter juga ada pada departemen dan lembaga. Mereka berasal dari dana-dana hasil korupsi, keuntungan mark-up proyek, pungli, suap, dan rekayasa anggaran. Semuanya  dikelola dalam rekening khusus di setiap instansi tadi. 

Khusus Pertamina, Bulog, dan BUMN selain sebagai penyetor ke rekening-rekening yayasan milik Soeharto, ketiganya juga melaksanakan fungsi “dermawan”. Di sana ada dana nonbujeter yang jumlah dan penggunaannya  hanya diketahui oleh direktur utama dan Presiden. Sumber dana ini biasanya berasal dari setoran para pemasok dan rekanan.

Di masa Orba, dari mana pun sumber dana nonbujeter tersebut, praktik pengumpulannya difasilitasi dengan berbagai peraturan. Ada Keputusan Presiden (Keppres) dan Instruksi Peresiden (Inpres). Itulah sebabnya, saat itu, dana nonbujeter menjadi legal.

Dana nonbujeter di Bulog

Soal pungutan dana dari  para rekanan tadi, ada cerita menarik ketika Rizal Ramli menjadi Kepala Bulog. Saat itu, dia menemukan banyak rekening nonbujeter yang tidak jelas mekanisme pengumpulan dan penggunaannya. Tidak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 117 rekening. Dia pun memangkas dan merapikannya menjadi hanya 9 rekening. 

Sistem pembukuan di Bulog yang tidak keruan dia ubah menjadi Generally Accepted Accounting Principles. Dengan begitu, operasional Bulog bisa diaudit dan dipertanggungjawabkan. Dana off budget yang jumlahnya triliunan rupiah menjadi on budget. Artinya, tidak bisa dipergunakan seenaknya sebagaimana terjadi sebelumnya. 

Hanya dalam tempo kurang dari enam bulan memimpin Bulog, Rizal Ramli sukses merapikan ratusan rekening “siluman”. Ketika meninggalkan Bulog, dia mewariskan surplus Rp5 triliun. Sayangnya, oleh penggantinya dana  itu dipakai untuk membeli pesawat Sukhoi dari Rusia. Jejak langkah Rizal Ramli di Bulog pun seakan tersapu begitu saja. Si pengganti akhirnya masuk penjara karena korupsi.

Menabrak Undang undang

Dari rentetan fakta tadi, satu hal yang pasti, dana nonbujeter memang tidak terjamah oleh aturan pengelolaan keuangan. Ia jelas melanggar prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dana nonbujeter juga menabrak UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Praktik dana nonbujeter berakibat pada pengelolaan keuangan yang buruk (bad governance) pada institusi dan perusahaan milik negara.  Tragisnya, kultur penyelengaraan negara yang buruk) kebiasaan rezim Orde Baru sepertinya dicontek oleh pemerintahan pascareformasi. Ada semacam upaya menghidupkan kembali dana nonbujeter untuk berbagai kepentingan yang tidak  bisa dipertanggungjawabkan.

Contoh terbaru adalah praktik yang dilakukan Gubernur DKI Basuki Tjahya Purnama pada kasus reklamasi teluk Jakarta.  Dengan dalih menggunakan hak diskresi, pria yang kerap disapa Ahok ini telah membarter pembangunan fasilitas umum dengan kontribusi tambahan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. 

Kasus ini mencuat berdasarkan pengakuan Direktur Utama Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Kepada penyidik Komisi Pemberantasan korupsi (KPK), dia menyatakan ada 13 proyek reklamasi PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan Agung Podomoro, yang anggarannya akan dijadikan pengurangan kontribusi tambahan proyek reklamasi. Pengurangan terjadi kalau Agung Podomoro membangun fasilitas umum untuk DKI Jakarta.

Ahok mengklaim proyek pengurang kontribusi tambahan itu dilakukan berdasar wewenang diskresi yang dimiliki. Sampai di sini ada perbedaan mendasar praktik dana nonbjeter antara Ahok dan Rezim Orba. Ahok mengakui, ketika diskresi diputuskan pada 2014, memang belum ada dasar hukumnya. Sedangkan di zaman Orba, ada payung hukumnya, yaitu Inpres dan Keppres. 

Tapi terlepas ada dan (apalagi) tidak ada dasar hukumnya, dana nonbujeter adalah praktik penyelenggaraan keuangan negara yang serampangan dan berbahaya. Dana nonbujeter telah menabrak pasal 3 ayat (1) UU No. 17/2003,  yang mengharuskan Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. 

Pasal 5 dan 6 UU tersebut mengamanatkan semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN dan APBD. Sedangkan penggunaannya harus melalui persetujuan DPR dan DPRD seperti diatur dalam pasal 3 ayat (8).

Apa yang dilakukan Orba dan Ahok jelas melanggar prinsip-prinsip keuangan negara yang baik. Tidak transparan, tidak taat pada peraturan perundang-undangan, tidak efisien, tidak ekonomis, tidak efektif, dan tidak transparan. Kalau semua prinsip tersebut dilabrak, bagaimana mungkin kita bisa berharap para pejabat publik akan bisa mempertanggungjawabkan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Bahkan, karena tidak punya payung hukum, apa yang dilakukan Ahok jauh lebih buruk dan lebih serampangan ketimbang Orde Baru.

So, para pejabat publik harus berhenti dari praktik nonbujeter yang sama sekali tidak elok. Kalau Indonesia mau menjadi negara yang modern, transparan, dan berkeadilan, tidak bisa tidak, ya harus menerapkan sistem pengelolaan keuangan negara yang benar.  Titik! (*)

Penulis adalah Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)