Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Cerita Empati Polisi dan Gas Air Mata
Oleh : Redaksi
Jum'at | 01-07-2016 | 18:56 WIB
polsek.jpg Honda-Batam

Gerbang Polsek Duren Sawit Jakarta (Sumber foto: CNN)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - “Gue kena tipu belanja online nih. Mestinya sepeda yang gue pesen dianter malam ini, tapi sudah jam segini kakak gue bilang sepeda belum sampai.”

Dia, Megiza, seorang karib yang membeli sepeda lipat di sebuah toko online pekan lalu. Dia mentransfer uang Rp1,75 juta dari rekening Bank Mandiri ke rekening BRI melalui SMS Banking, Minggu sore (26/6).

Setelah mentransfer, penjual menjanjikan mengantar sepeda sore itu juga. Hingga jam 9 lewat 30 menit malam, sepeda tak kunjung diantar ke rumah kakaknya.

Ketika dihubungi, penjual online sudah tidak lagi menjawab teleponnya. Sang penjual menghilang begitu saja.

Megiza segera menghubungi customer service BRI, melaporkan rekening diduga penipu. Seperti sudah diketahui, Call Center BRI meminta bukti laporan polisi untuk menindaklanjuti permintaan blokir yang disampaikan Megiza.

Karena itulah, Megiza bersama empat rekannya, termasuk saya, bergegas mendatangi Polsek Duren Sawit, Jakarta Timur, kantor polisi terdekat dari rumah Megiza. Butuh waktu sekitar 30 menit dari lokasi kami saat itu, Kuningan, Jakarta Selatan, untuk tiba di polsek.

Setiba di Polsek, kami bergegas menuju Ruang Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK). Seorang petugas polisi berpangkat Aiptu menerima laporan Megiza dengan santai, mungkin sesantai orang-orang yang tidak menghadapi masalah.

Bersama Megiza, ada seorang laki-laki berusia sekitar 40-an yang juga hendak melapor kehilangan motor Vixion. Berhadap-hadapan dengan petugas polisi, Megiza mendapat pertanyaan-pertanyaan standar: lapor apa? Kapan kejadiannya? Bagaimana ceritanya? Sudah mencoba menelepon penjualnya lagi?

Pertanyaan itu dijawab dengan mudah. Petugas polisi juga menanggapi acuh tak acuh, layaknya orang yang sudah biasa mendengar cerita itu-itu lagi. Tetapi menarik ketika terlontar pertanyaan, “Berapa harga sepedanya?”

“Rp1.750.000,” jawaban singkat.

“Oohh,” dengan wajah datar, sambil melanjutkan, “Ada bukti transfer?”

Megiza kembali bertutur tentang SMS Banking yang dia kirimkan, jam berapa, dari rekening bank yang berbeda, dan cerita lainnya untuk melengkapi.

“Kalau enggak ada barang bukti, enggak bisa diproses di Reskrim,” petugas polisi menimpali, semakin santai.

“Ada di handphone saya, Pak. Bisa numpang print?”

Sahut menyahut soal mencetak bukti SMS Banking berlangsung agak lama. Penipu online, mungkin makin jauh berlari. Pencuri motor Vixion milik lelaki pelapor di ruang SPK itu juga agaknya sudah jauh meninggalkan Duren Sawit.

Kalah berargumentasi, akhirnya petugas polisi mengantar Megiza ke lantai 2 kantor Polsek, tepatnya ke Ruang Subunit III Reserse Kriminal. Di ruang itu, ada tiga orang penyidik berpakaian sipil, ketiganya tengah sibuk dengan wajah menunduk menatap layar ponsel masing-masing.

Ada setumpuk berkas laporan teronggok di berbagai sudut ruangan, setidaknya dua unit mesin printer, tiga kursi dan meja, serta satu kursi kayu panjang yang agaknya disediakan untuk tamu atau pelapor. Saat Megiza menjelaskan maksud dirinya datang ke sana, para penyidik tampak tak berminat membantu.

Tanpa mengangkat wajah, mereka membolehkan Megiza menggunakan printer di meja di salah satu sudut, dengan seorang penyidik duduk di depan laptop. Ada satu pertanyaan sama seperti yang diajukan petugas di Ruang SPK: berapa harga sepedanya?

Pertanyaan tak berbeda, dijawab sama, dengan respons yang tepat seperti petugas sebelumnya: acuh.

Kesimpulan saya, ada yang salah dengan empati para petugas polisi ini. Mungkin mereka terlalu banyak menerima laporan kehilangan, kecurian, penipuan, bahkan penggelapan dengan nilai yang jauh lebih fantastis ketimbang laporan Megiza.

Urusan lapor melapor belum lagi usai. Tiba-tiba saya mendengar suara ledakan melengking di udara, disusul bau menyengat mesiu. Semua yang ada di dalam ruangan masih belum menyadari apa yang terjadi hingga saya ikut meninggalkan ruangan.

Kaca jendela di sebelah kiri pintu keluar Ruang SPK pecah. Ada lubang beberapa senti. Sisa asap mengambang di udara, disusul keriuhan kecil pasca suara tembakan—yang hingga keramaian tercipta, masih belum jelas sumbernya. Lalu satu per satu orang mulai merasa matanya pedih, tenggorokan agak kering, dan tak enak bernapas.

Oh, itu tadi tembakan gas air mata—yang (pasti) tak sengaja ditembakkan seorang petugas polisi dari dalam ruang kecil di sebelah ruang SPK. Selanjutnya suara sahut-menyahut terdengar, tak terlalu tegang, hanya keriuhan kecil, sejumlah pelapor yang keheranan diabaikan, para pemilik suara terus saja saling menyahut.

“Saya tanggung jawab,” kata sebuah suara.

“Kok itu ada isinya? Katanya enggak ada,” sambut suara lain.

“Sudah enggak apa-apa, enggak apa-apa,” yang lain juga terdengar.

Saya yang kebetulan ada di sana agak tercekat, kaget. Beruntung tembakan gas air mata itu menghantam kaca jendela—yang belakangan buru-buru diukur petugas lain untuk mengetahui luasan pecahannya.

Beruntung tidak menghantam salah satu dari lima pelapor yang sedang menunggu tak jauh dari ruangan itu. Masih beruntung.

Sejak awal masuk ke ruang SPK, salah seorang petugas polisi memang sudah merasa menjadi orang penting dan bericara di handie talkie dengan suara melengking. Petugas yang sama itulah yang tak sengaja menarik pelatuk tembakan gas air mata.

Ketidaksengajaan tentu tidak bisa disebut sebagai keteledoran. Tapi bagaimana petugas tak mampu membedakan mana selongsong yang berisi dan kosong?

Cerita di Polsek Duren Sawit mungkin hanya kisah kecil dari sejumlah ketidaksengajaan lainnya yang pernah terjadi. Tapi berhati-hati dan memupuk rasa empati, perlu menjadi perhatian penting Korps Bhayangkara. (Sumber: CNN)

Editor: Udin